Empat Tahun Berjuang, Masyarakat Hukum Adat Timpah di Kapuas Diakui Pemerintah
Empat tahun berjuang untuk diakui, akhirnya Masyarakat Hukum Adat Timpah Suku Dayak Ngaju di Kabupaten Kapuas mendapatkan pengakuan dan perlindungan resmi dari pemerintah melalui SK Bupati Kapuas.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KUALA KAPUAS, KOMPAS — Bupati Kapuas Ben Brahim menyerahkan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Timpah Suku Dayak Ngaju di Kuala Kapuas, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. MHA Timpah merupakan komunitas adat yang kedua diakui dan disahkan pemerintah di Provinsi Kalteng.
Penyerahan surat keputusan (SK) tersebut berlangsung di Aula Bappeda Kabupaten Kapuas, Kamis (20/1/2022). Hadir dalam acara tersebut jajaran Pemerintah Kabupaten Kapuas, Wakil CEO Yayasan Borneo Orangutan Survival (BOS) Anton Nurcahyo, Camat Timpah Yunda Noviarti, dan pejabat desa juga pejabat adat, seperti mantir dan damang.
Damang merupakan pemimpin atau kepala adat yang berwenang di suatu wilayah kecamatan, sedangkan di desa-desa dipimpin oleh mantir adat. Mantir adat yang juga merupakan perangkat adat di desa itu membantu kerja damang. Keduanya harus memiliki pengetahuan adat yang mumpuni. Damang bisa mengatur sidang adat, bahkan menjatuhkan sanksi adat kepada pelanggar aturan adat. Di beberapa desa, Kompas kerap menjumpai mantir adat yang tak hanya paham pengetahuan adat, tetapi juga tanaman obat dan pengetahuan lainnya.
MHA Timpah Suku Dayak Ngaju berlokasi di Desa Timpah, Kecamatan Timpah. Dari Desa Timpah ke Kuala Kapuas, ibu kota Kabupaten Kapuas, jaraknya mencapai lebih kurang 120 kilometer. Desa ini lebih mudah ditempuh melalui Kota Palangkaraya, ibu kota Provinsi Kalteng, yang berjarak hanya 80 kilometer.
Dalam sambutannya, Ben Brahim menyampaikan, penyerahan SK MHA Timpah diharapkan menjadi awal untuk pengakuan dan perlindungan komunitas adat lainnya di Kabupaten Kapuas. Ia berharap pemerintah daerah bersama lembaga swadaya lainnya bisa ikut membantu dalam proses pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, seperti yang dilakukan Yayasan BOS dalam mendampingi MHA Timpah.
“Kami sampaikan terima kasih kepada BOSF Kalteng dan panitia MHA Timpah yang sudah bekerja keras untuk kesejahteraan rakyat, terutama masyarakat Timpah,“ kata Ben.
Ben mengungkapkan, lahirnya MHA Timpah merupakan langkah awal untuk merintis harapan desa dalam mengelola wilayahnya, termasuk hutan adat di dalamnya. Selama ini, banyak desa dengan beragam komunitas adat di dalamnya belum memiliki legalitas, terutama hutan adat. “Ini salah satu usaha kami memperjuangkan hak adat dan hak rakyat kita. Saya setuju MHA ini dibuatkan peraturan daerah (perda) dan segera ditindaklanjuti,“ ungkapnya.
Pemerintah dan masyarakat adat, lanjut Ben, harus memiliki tekad yang sama untuk mengakui serta melindungi masyarakat hukum adat secara optimal. Pengelolaan lahan dan segala kekayaan alam dengan optimal demi kesejahteraan masyarakat adat juga harus dilakukan. Hal itu termasuk hak atas tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam yang diperoleh secara turun temurun.
Ketua Panitia Pembentukan MHA Kabupaten Kapuas yang juga merupakan Sekretaris Daerah Kapuas Septedy menjelaskan, SK Bupati Kapuas Nomor 490/DLH Tahun 2021 tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA Timpah sudah dibuat pada 5 November 2021. Namun, secara resmi diberikan langsung ke ketua adat pada Kamis sore ini. “Ini adalah MHA pertama yang terbentuk di Kabupaten Kapuas. Kami berharap ke depan akan terbentuk MHA-MHA lain di desa dan kecamatan lain,“ ucapnya.
Dengan keluarnya SK Bupati Kapuas terkait MHA ini, lanjut Septedy, pihaknya saat ini akan merampungkan rancangan peraturan daerah (raperda) yang pembuatan naskahnya didampingi oleh Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. “Masyarakat sudah memiliki payung hukum terkait kegiatan adat di masyarakat hukum adatnya. Untuk draf raperdanya, dalam waktu dekat diusulkan ke DPRD,“ katanya.
Wakil CEO Yayasan BOS Kalteng Anton Nurcahyo mengungkapkan, dalam proses mendapatkan pengakuan, MHA Timpah berjuang selama lebih kurang empat tahun. Semua itu dimulai dari damang yang menyurati Yayasan BOS untuk mendapatkan pendampingan. Pihak Yayasan BOS kemudian berupaya, bersama-sama masyarakat, untuk memenuhi syarat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Dengan diakui dan dilindungi, tata kelola hukum adat di Kalteng juga akan jauh lebih baik. Kami mengucapkan terima kasih banyak untuk semua pihak yang sudah bekerja keras sampai tahap ini,“ kata Anton.
MHA Timpah Suku Dayak Ngaju merupakan MHA kedua yang diakui pemerintah. Sebelumnya, di Kabupaten Pulang Pisau, pemerintah mengakui MHA Pilang dengan Hutan Adat Barasak yang disahkan luasnya mencapai lebih kurang 102 hektar. Di Desa Pilang, pengakuan dan perlindungan itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar pada 2019.