Film Bara ”The Flame” Kobarkan Api Perjuangan Hutan Adat di Kalteng
Suara bara api menggaung di tengah ruangan bioskop saat pemutaran film dokumenter panjang ”Bara (The Flame)”. Suara itu membuat penonton ikut membara setelah melihat perjuangan Iber Djamal, yang merintih demi hutan adat.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
DOKUMEN BARA THE FLAME
Potongan gambar pada film dokumenter Bara (The Flame) saat Iber Djamal (80) melakukan ritual adat di Hutan Adat Barasak yang ia perjuangan sejak puluhan tahun lamanya untuk mendapatkan pengakuan pemerintah. Film itu ditayangkan perdana di Kalteng pada Rabu (1/12/2021).
PALANGKARAYA, KOMPAS — Meskipun sudah 64 tahun Kalimantan Tengah menjadi provinsi, baru kali ini hutan adatnya dikukuhkan atau diakui secara hukum administrasi negara. Satu-satunya hutan adat itu ada di Desa Pilang, Kabupaten Pulang Pisau.
Iber Djamal (80) adalah salah satu pejuang di balik keberhasilan puluhan tahun itu. Kisahnya diabadikan dalam film dokumenter berjudul Bara (The Flame) karya sutradara Arfan Sabran.
Film itu diputar di XXI Palangkaraya Mall, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada Rabu (1/12/2021) sore. Pemutaran dihadiri langsung oleh Iber Djamal, Arfan Sabran, Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas, dan sebagian besar orang-orang yang mengambil peran dalam film dokumenter tersebut.
Film ini diproduksi bersama oleh Abimata Group, Cineria Film, RM Cine Makassar, dan Aljazeera Documentary Channel yang berkolaborasi dengan Yayasan Dian Sastrowardoyo juga Sejauh Mata Memandang. Sebelum tayang di Kalimantan Tengah, film dokumenter panjang ini sudah tayang di Vision du Reel Film Festival di Swiss pada April 2021, DMZ International Documentary Film Festival di Korea pada September 2021, dan Jogja NETPAC Asian Film Festival pada November 2021.
Film berdurasi 76 menit itu dimulai di tengah-tengah Kalimantan Tengah yang sedang dilanda bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan pada pertengahan tahun 2019. Iber Djamal yang merupakan tokoh adat Dayak Ngaju di desanya mulai khawatir karena api terus membesar dan bermunculan dekat dengan hutan adat yang sedang ia perjuangan, Hutan Adat Barasak, di Pulau Basarak tak jauh dari rumahnya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Tim pemadam kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah memadamkan api dengan cara tradisional ranting pohon di lahan tidur sekitar Jalan Danau Indah, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Kamis (16/8/2018). Titik panas di Kalteng terus meningkat dari hari ke hari, pada Jumat (17/8/2018) titik panas mencapai 113 titik di 11 kabupaten/kota.
Meski di tengah bencana, Iber Djamal yang tak muda lagi itu masih semangat mengumpulkan data, benda adat, dan beragam persyaratan lainnya untuk memenuhi ketentuan agar hutan adatnya diakui pemerintah. Tak hanya itu, Iber juga bercerita bagaimana ancaman yang ia dan keluarga dapatkan.
”Keluarga hampir menyerah, tetapi saya tidak mau. Itu bukan untuk saya. Untuk generasi berikutnya,” kata Iber.
Ada momen di mana Iber turun dari Jembatan Tumbang Nusa yang tingginya lebih kurang empat sampai lima meter untuk mengejar dan memadamkan api. Ia bahkan tak segan-segan melompat ke dalam rawa untuk mengambil air dengan tangannya dan berusaha memadamkan api di sekitarnya.
Adegan berbahaya itu tidak sengaja diambil karena dalam perjalanannya, Iber tiba-tiba minta turun untuk memadamkan api. Pada saat yang bersamaan, beberapa pejabat datang dan mengatakan, ”Tolong dipadamkan, ya, Pak, jangan sampai meluas,” dari atas jembatan.
Bara api akhirnya padam dengan bantuan hujan. Hal itu menggambarkan bagaimana bencana asap tertangani dengan campur tangan Tuhan.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Suasana seusai pemutaran fim Bara (The Flame) di Kota Palangkaraya, Rabu (1/12/2021). Film itu menjadi salah satu nomine film dokumenter terbaik di Indonesia.
Lahan terbakar itu merupakan lahan gambut. Iber Djamal tahu persis, salah satu penyebabnya adalah proyek lahan gambut sejuta hektar 25 tahun lalu yang membuat gambut mengering dan mudah terbakar.
Hal itu yang mendorong Iber memperjuangkan wilayah adat di desanya. Ia tak mau tanah itu dirampas dan dipergunakan sesuka hati oleh orang lain. Ia mau hutan itu dinikmati dengan cara masyarakat adat menikmatinya.
”Hutan itu punya roh yang juga harus dijaga, hutan Pahewan namanya. Bukan sembarang hutan, di situ tempat orang Dayak menyembuhkan orang sakit dan juga sumber hidup kami,” kata Iber saat berbincang dengan para penonton seusai pemutaran film.
Hutan itu punya roh yang juga harus dijaga. (Iber Djamal)
Iber tak sendiri, dalam film itu juga diperlihatkan bagaimana Iber mendapatkan bantuan dari banyak orang juga lembaga untuk memperjuangkan hutan adatnya.
Pada bagian menuju akhir film tampak adegan tangan Iber bergetar, air matanya jatuh ke pipi, saat mendengar langsung bahwa perjuangannya tak sia-sia. Seluas 102 hektar lahan Hutan Adat Barasak diakui pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar yang disampaikan salah satu pejabat dinas di Pulang Pisau.
”Itu bukan reka adegan. Memang pada saat itu sudah ada informasi bahwa ini sudah berhasil, tetapi momen dalam film itu benar-benar kami tangkap karena untuk pertama kalinya Pak Iber mendengarkan langsung informasi tersebut dari pejabat,” kata Arfan.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
(Ki-ka) Sutradara film Bara (The Flame) Arfan Sabran, Iber Djamal, dan Ketua Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas memberikan keterangan seusai pemutaran film di Kota Palangkaraya, Rabu (1/12/2021).
Dengan pengambilan gambar dan alur cerita yang cukup lambat, sutradara bersama timnya ingin menggambarkan bagaimana perjuangan Iber yang memang sudah lansia itu terjadi. Penonton merasa berada di dalam film.
”Saya tidak membuat setting-an. Jadi, gambar saya ambil itu melalui survei visual sebelumnya. Saya tinggal di situ dan membutuhkan waktu dua tahun untuk merampungkannya,” kata Ishak Iskandar, sinematografi film tersebut.
Ishak menceritakan pengalamannya saat mengambil gambar dan video film tersebut di rumah Iber. Iber dan istrinya kerap kaget karena Ishak tiba-tiba muncul sebelum mereka beraktivitas.
”Ibu suka kaget, mau ke dapur memasak saya udah di situ ngambil gambar,” katanya diikuti gelak tawa.
Film tersebut menggambarkan bagaimana sulitnya memperjuangkan hutan adat juga ancaman yang dihadapi saat ini.
Arie Rompas menyampaikan, perubahan iklim itu ada di depan mata. Film ini menyajikan pesan bagaimana perubahan iklim akibat aktivitas eksploitasi lahan berdampak buruk pada kerusakan lingkungan, salah satunya kebakaran hutan dan lahan.
”Saya paham betul bagaimana Pak Iber berjuang sejak proyek sejuta hektar di lahan gambut masuk, ini menggambarkan juga bahwa dampak pembangunan yang dilakukan pemerintah itu membuat kerusakan yang sangat fatal,” ungkap Arie.
Film yang sarat akan pesan menjaga lingkungan dan gambaran perubahan iklim ini selanjutnya akan tayang perdana di Singapore International Film Festival pada Desember 2021 nanti. Film The Flame juga berhasil meraih nominasi Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori film dokumenter panjang terbaik.
Tak hanya itu, film itu juga berhasil mengobarkan api semangat penonton yang menyaksikannya petang itu, untuk berjuang demi masa depan hutan yang lestari. ”Ini tamparan dan pukulan bukan hanya untuk pemerintah, tetapi kalian yang masih muda,” kata Iber Djamal.