Kehidupan modern identik dengan banyak duduk. Hal itu bisa memicu gangguan jantung, stroke, diabetes, serta kematian dini. Mengimbangi duduk dengan aktivitas sedang hingga berat bisa mempertahankan kesehatan.
Oleh
ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
·4 menit baca
Kehidupan masa kini membuat orang menjadi kurang gerak. Banyak pekerjaan dikerjakan dengan duduk di belakang meja dalam waktu lama. Selesai bekerja, kita seringkali terlalu letih untuk bergerak dan memilih duduk santai menonton televisi atau film di saluran daring.
Padahal, banyak duduk, kurang gerak, bisa memicu berbagai masalah kesehatan. Dari kelemahan otot dan tulang, obesitas, gangguan jantung, stroke, dan diabetes, yang meningkatkan risiko kematian.
Berbaring sama buruknya dengan duduk karena tidak aktif. Kecuali berbaring untuk tidur yang diperlukan untuk pemulihan sel-sel tubuh. Namun, durasi tidur ada batasnya. Tidur lebih dari sembilan jam sehari sama efeknya seperti kurang gerak.
Sedangkan berdiri, menurut laman Universitas Waterloo, Kanada, penelitian Jack Callaghan, Guru Besar Departemen Kinesiologi universitas itu, mendapatkan, 50 persen peserta mengalami nyeri punggung bawah ketika diminta bekerja sambil berdiri di meja ergonomis selama dua jam berturut-turut. Para peserta adalah orang sehat dan tak satu pun menderita sakit punggung sebelumnya. Karena itu, bekerja sambil berdiri terus menerus tidak disarankan. Menurut Callaghan, yang ideal adalah berdiri sekitar 30-45 menit setelah duduk satu jam.
Bagaimana kurang gerak menyebabkan gangguan kesehatan? Untuk bergerak kita menggunakan otot-otot besar. Tubuh menggunakan gula darah sebagai bahan bakar dan merangsang pelepasan biokimia yang mempengaruhi kadar kolesterol dan proses metabolisme lain. Sebaliknya, saat duduk atau berbaring santai, otot-otot besar akan mengendur, sementara kadar gula darah dan kolesterol jahat meningkat.
Penelitian Catherine R Mikus dan kolega dari Universitas Missouri, Amerika Serikat (AS), memastikan, kurang gerak menimbulkan gangguan metabolisme terkait resistensi insulin yang meningkatkan kadar gula darah. Hal itu dipublikasikan di jurnal Medicine & Science in Sports & Exercise, Februari 2012.
Penelitian melibatkan delapan laki-laki dan empat perempuan muda yang sehat dan aktif. Yakni, memiliki indeks massa tubuh (BMI) sekitar 24 dan aktif berjalan hingga 10.000 langkah per hari.
Setelah diminta mengurangi aktivitas fisik hingga tinggal sekitar 4.500 langkah per hari selama tiga hari, kadar gula darah para peserta naik dua kali lipat sehabis makan. Hasil ini memberikan bukti bahwa aktivitas fisik teratur berperan penting dalam kontrol glikemik.
Peneliti menyatakan, latihan intensitas sedang hingga kuat terbukti meningkatkan sensitivitas insulin dan menstabilkan kadar gula darah di kisaran normal pada individu yang sehat serta penderita diabetes tipe 2. Sebaliknya, pengurangan aktivitas fisik mengurangi sensitivitas insulin dan meningkatkan kadar gula darah.
Sebelumnya, Naomi M Hamburg dan kolega dari Fakultas Kedokteran Universitas Boston, AS, melaporkan di jurnal Arteriosclerosis, Thrombosis, and Vascular Biology, Desember 2007, gaya hidup kurang gerak meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dan diabetes.
Pengurangan aktivitas menyebabkan peningkatan kadar gula darah, resistensi insulin, peningkatan kolesterol total dan trigliserida serta peningkatan tekanan darah.
Peneliti mengukur sensitivitas insulin dengan tes toleransi glukosa dan fungsi vaskular pada 14 laki-laki dan enam perempuan sehat yang diminta berbaring di tempat tidur selama lima hari. Hasilnya, pengurangan aktivitas menyebabkan peningkatan kadar gula darah, resistensi insulin, peningkatan kolesterol total dan trigliserida serta peningkatan tekanan darah. Selain itu, timbul gangguan fungsi mikrovaskular pada lengan dan betis.
Gangguan memori
Duduk terlalu lama juga dikaitkan dengan perubahan di bagian otak yang penting untuk memori. Demikian hasil penelitian Prabha Siddarth dan kolega dari Universitas California, AS, yang dimuat di Plos One, 12 April 2018.
Tim peneliti merekrut 35 orang berusia 45-75 tahun. Mereka ditanya tentang tingkat aktivitas fisik dan jumlah rata-rata jam per hari yang dihabiskan untuk duduk selama seminggu sebelumnya. Setiap peserta dipindai otaknya dengan pencitraan resonansi magnetik (MRI) resolusi tinggi untuk memberikan gambaran detil pada lobus temporal medial (MTL), wilayah otak yang terlibat dalam pembentukan ingatan baru.
Para peneliti mendapatkan, kurangnya aktivitas fisik terkait dengan penipisan MTL. Penipisan itu memicu penurunan kognitif dan demensia pada orang dewasa paruh baya dan lanjut usia. Meningkatkan aktivitas fisik diharapkan meningkatkan kesehatan otak pada orang yang berisiko terkena penyakit Alzheimer.
Olahraga intensitas sedang hingga berat dapat mengurangi efek berbahaya dari terlalu banyak duduk. Demikian hasil penelitian Jeanette M Garcia dari Universitas Central Florida dan kolega dari sejumlah universitas di AS.
Penelitian yang diterbitkan di Journal of American Heart Association, 26 Juni 2019, itu memantau 3.592 orang etnis Afrika-Amerika, di Jackson, Mississippi. Para peserta melaporkan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk duduk sambil menonton televisi dan selama bekerja. Mereka juga melaporkan berapa lama berolahraga di waktu senggang. Dalam kurun waktu 8,4 tahun terjadi 129 kasus gangguan jantung atau stroke serta 205 orang meninggal dunia.
Didapatkan, mereka yang menonton televisi paling lama (4 jam atau lebih per hari) memiliki risiko 50 persen lebih besar mengalami kejadian kardiovaskular dan kematian dibandingkan yang menonton televisi kurang dari 2 jam per hari atau yang bekerja dengan duduk.
Kabar baiknya, aktivitas fisik seperti berjalan cepat atau latihan aerobik mengurangi risiko serangan jantung, stroke, atau kematian. Demikian pula pola makan sehat dan tidak merokok. Peserta yang duduk 4 jam atau lebih per hari, namun mengimbangi dengan olahraga 150 menit atau lebih per minggu, bisa tetap sehat.
Jadi, bergeraklah setelah bangun tidur. Di rumah, di kantor, di mana pun, usahakan untuk berdiri dan bergerak. Semakin banyak bergerak, semakin baik.