Kekerasan Seksual Meningkat, Kampanye Antipornografi di Aceh Perlu Diperkuat
Penerapan Syariat Islam di Aceh belum menyentuh pada materi di dunia digital. Kampanye antipornografi perlu masif dilakukan untuk mengurangi agar kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak bisa ditekan.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
SINGKIL, KOMPAS — Gerakan sipil untuk kampanye antipornografi di Provinsi Aceh perlu diperkuat agar kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak bisa ditekan. Bentuk kekerasan semakin meningkat dengan munculnya kasus pembunuhan yang didahului pemerkosaan terhadap anak.
Kasus terbaru terjadi pada anak berusia 14 tahun, warga Desa Lipat Kajang, Kecamatan Simpang Kanan, Aceh Singkil. Ia diperkosa dan dibunuh dua pelaku dan jenazahnya ditemukan terkubur di dekat kantor desa. Polisi menetapkan AR (34) dan HS (56), warga desa yang sama sebagai tersangka.
”AR membujuk dan mengancam korban untuk mengikuti keinginan melakukan hubungan seks. AR belum menikah, tetapi dia kerap menonton video porno melalui gawai,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Aceh Singkil Inspektur Satu Noca Tryananto yang dihubungi dari Banda Aceh, Rabu (19/5/2021).
Melihat apa yang dilakukan AR terhadap korban, HS justru ikut melakukan kekerasan terhadap korban. Seusai melakukan pemerkosaan, keduanya membunuh korban dengan memukul korban menggunakan kayu dan batu. Jasad korban dikuburkan di lokasi pemerkosaan.
Jasad korban ditemukan warga pada Rabu (12/5/2021). AR dan HS ditahan keesokan harinya dan ditetapkan sebagai tersangka setelah keduanya diperiksa sebagai saksi.
”Pelaku dijerat dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman kurungan minimal 20 tahun dan maksimal hukuman mati,” kata Noca.
Antipornografi
Ketua Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Inayatillah mengatakan, para pelaku kekerasan seksual kebanyakan dipengaruhi oleh konten yang ditonton. Untuk itu diperlukan gerakan bersama antipornografi.
Penerapan Syariat Islam di Aceh belum menyentuh pada materi di dunia digital. (Inayatillah)
”Di samping penguatan regulasi pembatasan konten pornografi, juga diperlukan gerakan sipil yang masif melawan pornografi. Selama ini edukasi tentang bahaya konten pornografi minim dilakukan,” kata Inayatillah.
Saat ini, lanjut Inayatillah, khususnya di Aceh, pemerintah belum mampu membendung konten pornografi di dunia digital. Penerapan Syariat Islam di Aceh belum menyentuh pada materi di dunia digital. ”Harapannya ada pada kementerian (terkait) agar serius menghalau konten pornografi di internet,” ujar Inayatillah.
Inayatillah menambahkan, pemerintah daerah juga perlu mengatur pembatasan penggunaan gawai bagi anak. Salah satu tempat yang bisa diterapkan kebijakan itu di sekolah. Selain itu, pengawasan orangtua terhadap anak saat mengakses internet diperlukan.
Sebelumnya, pada Januari 2021 di Kabupaten Pidie, seorang ibu rumah tangga juga diperkosa dan dibunuh. Pada Oktober 2020, seorang ibu di Kabupaten Aceh Timur diperkosa dan dibunuh di rumahnya.
Sementara pada Maret 2021, seorang siswi di Kota Langsa diperkosa oleh 10 pemuda. Data dari Dinas Pemberdayaan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh pada 2017-2020 menunjukkan 106 perempuan di Aceh menjadi korban pemerkosaan.
Komisioner Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak (KPPA) Aceh Firdaus Nyak Idin mengatakan, berdasarkan hasil observasi yang mereka lakukan, pelaku pelecehan seksual dan terdorong karena menonton konten pornografi. Kebiasaan mengakses video porno mendorong pelaku mempraktikkan.
Biasanya pelaku akan mencari korban yang lemah dan yang dekat dengannya untuk dijadikan sasaran pelampiasan. ”Keluarga dan masyarakat harus menjaga anak-anak dari ancaman pelaku kejahatan seksual,” kata Firdaus.