Konsultasi Hukum: Tak Harus Kembalikan Donasi dari Pelaku ”Money Game”
”Money game” atau permainan uang adalah penipuan bermodus investasi yang menjanjikan keuntungan yang besar kepada kliennya. Pelaku permainan uang juga dapat dikategorikan melakukan penggelapan dan melawan hukum.
Oleh
Kompas-Peradi
·5 menit baca
Pengantar: Harian Kompas dan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) bekerja sama melakukan pendidikan hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum dalam masyarakat melalui Konsultasi Hukum dan Kabar Hukum yang dimuat di Kompas.id. Kabar hukum menjadi wadah bagi anggota Peradi untuk menuangkan pemikirannya, baik berbentuk opini/artikel maupun rilis/berita. Untuk Konsultasi Hukum, warga bisa mengajukan pertanyaan terkait persoalan hukum melalui e-mail: hukum@kompas.id dan kompas@kompas.id, yang akan dijawab oleh sekitar 50.000 anggota Peradi. Untuk Kabar Hukum, anggota Peradi bisa mengirimkannya pada alamat e-mail yang sama. Terima kasih
Pertanyaan: Kami tahun lalu mempunyai kegiatan sosial yang melibatkan sponsor dan donatur. Semua hasil sponsor dan donasi dipakai untuk membiayai kegiatan itu, termasuk memberikan honorarium kepada pemateri dan pengisi acara, tetapi tidak ada yang menjadi penghasilan atau diterima oleh panitia. Ternyata tahun ini ada salah seorang donatur dari acara itu ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan dan money game oleh kepolisian. Ada indikasi pula dana yang didonasikan untuk kegiatan kami berasal dari tindak pidana itu. Memang belum ada putusan pengadilan karena masalahnya masih berproses. Apakah yang harus kami lakukan? Secara hukum, apakah kami harus mengembalikan donasi yang diberikannya? Kepada siapa? Apakah kami juga harus melaporkan kepada Kepolisian, jika menerima donasi dari donatur yang menjadi tersangka itu? Terima kasih. (Anton, Jakarta Selatan)
Terima kasih kepada saudara Anton dari Jakarta Selatan untuk pertanyaannya. Ada tiga pertanyaan dari saudara, yaitu apa yang harus dilakukan atas persoalan di atas. Kedua, apakah harus mengembalikan donasi yang diberikan, dan ketiga apakah harus melaporkan menerima donasi itu.
Untuk ini terlebih dahulu yang harus dipenuhi adalah aspek hukum para pegiat kemasyarakatan dalam melakukan kegiatan sosial, terutama dalam hal pengumpulan dana atau donasi dari donatur. Dalam hal ini kita berpedoman kepada Undang-Undang (UU) Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang. Dalam Pasal 1 menerangkan bahwa pengumpulan uang atau barang diartikan sebagai setiap usaha mendapatkan uang atau barang untuk pembangunan dalam bidang kesejahteraan sosial, mental/agama/kerohaniaan/kejasmanian, dan bidang kebudayaan.
Untuk menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang tersebut diperlukan izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Hal ini tertuang dalam Pasal 2 UU No 9/1961 tersebut. Pejabat berwenang yang dimaksud di atas yang memberikan izin pengumpulan uang atau barang tertuang dalam Pasal 4 UU itu adalah Menteri Kesejahteraan Sosial, Gubernur, dan/atau Bupati/Wali Kota. Dalam Pasal 3 UU Pengumpulan Uang atau Barang disebutkan izin dapat diberikan kepada perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan dengan maksud agar tidak bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan, maka izin tidak diberikan kepada individu atau perseorangan, tetapi hanya kepada perkumpulan dan/atau organisasi.
Penjelasan Pasal 3 UU No 9/1961 menegaskan, perkumpulan dan organisasi tersebut selain organisasi yang didirikan sesuai peraturan yang berlaku, juga perkumpulan/amal yang dibentuk dengan cara cara yang lazim serta oleh pemberi izin pengurusannya dianggap mempunyai nama baik dan bonafide, seperti lembaga sosial agama dan kepanitiaan. Surat permohonan mendapatkan izin pengumpulan uang atau barang dalam Pasal 5 UU Pengumpulan Uang atau Barang diajukan langsung kepada pejabat pemberi izin dengan mencantumkan secara jelas: a. Maksud dan tujuan pengumpulan uang atau barang; b. Cara menyelenggarakan; c. Siapa yang menyelenggarakan; d. Batas waktu penyelenggaraan; e. Luasnya penyelenggaraan (wilayah, golongan); dan f. Cara penyalurannya.
Apakah harus mengembalikan donasi dari donatur yang terganjal kasus penipuan atau money game? Dalam Pasal 6 UU No 9 /1961 menyebutkan, surat keputusan pemberian izin memuat syarat penyelenggaraan dan kewajiban penyelenggara untuk memberi pertanggungjawaban kepada pemberi izin. UU itu tidak menyebutkan adanya kewajiban mengembalikan donasi dari donatur yang terlibat masalah atau tindak pidana. Namun, penyelenggara diwajibkan melakukan dan menyerahkan laporan pertanggungjawaban atas kegiatan sosial yang dilakukan tersebut kepada pemberi izin.
Kemudian Pasal 7 UU No 9/1961 menerangkan adanya sanksi pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000 bagi barang siapa, yang 1. Menyelenggarakan, menganjurkan atau membantu menyelenggarakan pengumpulan uang atau barang dengan tidak mendapat izin lebih dahulu seperti dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) UU No 9/1961; 2. Tidak memenuhi syarat dan perintah yang tercantum dalam keputusan pemberian izin; atau 3. Tidak menaati ketentuan dalam Pasal 7 UU No 1/1961.
Pasal 8 UU No 9/1961 menyebutkan, tindak pidana ini dianggap sebagai pelanggaran dan uang atau barang yang diperoleh akan disita dan dipergunakan sedapat mungkin untuk membiayai usaha kesejahteraan atau sejenisnya.
Namun, ada juga beberapa penyelenggaraan pengumpulan uang atau barang yang tak memerlukan izin berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengumpulan Uang atau Barang, meliputi: 1. Zakat; 2. Pengumpulan didalam tempat peribadatan; 3. Keadaan darurat di lingkungan terbatas; 4. Gotong royong di lingkungan terbatas, seperti di sekolah, kantor, rukun warga atau rukun tetangga, kelurahan atau desa atau nama lain; dan/atau 5. Dalam pertemuan terbatas atau spontan.
Money game atau permainan uang adalah penipuan bermodus investasi yang menjanjikan keuntungan yang besar kepada kliennya. Banyak sekali kasus pelaku praktik money game yang belakangan sedang viral dan banyak ditayangkan di media sosial atau media massa di Tanah Air. Pelaku permainan uang juga dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana yang diatur dalam Pasal 372, 374, dan 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 372 KUHP menyebutkan, barang siapa dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, dihukum karena penggelapan dengan hukuman penjara selama-amanya 4 (empat) tahun.
Pasal 374 KUHP menerangkan, penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Selanjutnya Pasal 378 KUHP menyebutkan, barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang, hal ini juga mendapat sanksi pidana yang tertera dalam Pasal 105 UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang menyebutkan pelaku usaha distribusi yang menerapkan sistem skema piramida dalam mendistribusikan barang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10 miliar.
Demikianlah penjelasan dan jawaban yang dapat kami berikan, semoga bermanfaat.