Inspektorat Lamandau Akui Jalan yang Bermasalah di Kinipan Sudah Selesai Dibangun
Kasus dugaan korupsi Kepala Desa Kinipan Willem Hengki terus bergulir hingga ke pemeriksaan saksi. Banyak pihak menilai kasus tersebut merupakan bentuk memutus perjuangan hutan adat masyarakat Kinipan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Sidang lanjutan kasus dugaan korupsi Kepala Desa Kinipan Willem Hengki sampai pada pemeriksaan saksi. Dalam persidangan terungkap bahwa para saksi yang dihadirkan jaksa itu menilai jalan tersebut fiktif karena tidak ada dalam anggaran pembangunan tahun 2017 saat jalan baru selesai dibangun.
Sebelumnya, Kepala Desa Kinipan Willem Hengki ditangkap dan diadili karena diduga melakukan tindak pidana korupsi terhadap proyek pembangunan jalan usaha tani di Desa Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.
Ia dinilai memperkaya orang lain, dirinya sendiri, atau kelompok karena membayar utang proyek jalan tersebut. Willem diduga merugikan negara sebesar Rp 261.356.798,57.
Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi tersebut dilaksanakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, pada Kamis (31/3/2022). Sidang dipimpin oleh Erhammudin bersama dua anggotanya. Hadir dalam persidangan itu jaksa Okto Silaen, terdakwa Willem Hengki beserta tim kuasa hukumnya.
Pemeriksaan khusus
Saksi pertama yang dihadirkan JPU merupakan anggota staf Inspektorat Kabupaten Lamandau bernama Umar. Dalam persidangan, Umar menjelaskan, pihaknya melakukan pemeriksaan khusus lantaran mendapatkan perintah dari Bupati Lamandau Hendra Lesmana. Ia melakukan pemeriksaan pada 2020 untuk anggaran tahun 2017, 2018, dan 2019.
Dalam keterangannya, ia mengungkapkan menemukan proyek jalan usaha tani tahun 2017 yang anggarannya dikeluarkan pemerintah desa pada 2019. Menurut dia, program ataupun proyek pembangunan pada 2017 harus menggunakan anggaran pada 2017.
”Jalannya sudah selesai 100 persen pada 2017, tetapi belum dibayarkan. Makanya hasil rekomendasinya itu meminta pemerintah desa untuk membayar itu dalam jangka waktu 60 hari,” ungkap Umar.
Setelah lewat setahun, lanjut Umar, rekomendasi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah desa sehingga membuatnya melaporkan kejadian itu ke aparat kepolisian. Kasusnya pun bergulir hingga saat ini.
Dalam keterangan di persidangan Umar diminta tim hukum terdakwa untuk menunjukkan bukti bahwa syarat membayar utang itu 60 hari dalam laporan resmi inspektorat yang kemudian tidak bisa ditemukan oleh saksi dalam laporannya sendiri. ”Ketentuannya memang seperti itu,” ujar Umar.
Seusai persidangan, Kompas menemui kuasa hukum terdakwa, Parlin Hutabarat, yang mengungkapkan, saksi mengakui kalau jalan di tahun 2017 itu sudah selesai dibangun. Namun, tetap menganggap penganggarannya fiktif. Saat itu, kepala desa yang bertanggung jawab pada 2017 adalah Emban, yang juga jadi saksi dalam persidangan tersebut.
”Willem Hengki yang pada tahun 2019 menjabat jadi kepala desa kemudian ditagih oleh kontraktor, dia gak bayar salah, bayar utang malah jadi begini,” ungkap Parlin.
Parlin menjelaskan, asas manfaat jalan sudah terpenuhi karena hingga saat ini jalan tersebut masih digunakan oleh masyarakat Kinipan untuk pergi ke kebun dan mengambil hasil bumi.
Mencari-cari kesalahan atau masalah yang menyeret tokoh adat araupun tokoh desa yang menjadi aktor gerakan perlawanan suatu komunitas agar konflik teralihkan sudah terlalu sering terjadi di Kalteng. (Bayu Herinata)
Persoalan anggaran, menurut Parlin, terdakwa sudah memenuhi tanggung jawabnya dengan membayar utang proyek tahun 2017, bahkan saat dirinya bukan kepala desa.
”Hukum seharusnya melihat ada upaya dan niat dari Willem Hengki untuk membayar utang desa,” katanya.
JPU dari Kejaksaan Negeri Lamandau, Okto Silaen, mengungkapkan, ada fakta baru dalam persidangan saat saksi Umar menjelaskan bahwa pihak inspektorat saat melakukan pemeriksaan kesulitan masuk ke jalan karena sudah ditutupi tumbuhan.
”Bahkan, jalan kaki saja sulit. Nah, kami tidak mau mendahului persidangan silakan dinilai sendiri soal asas manfaatnya,” ungkap Okto.
Okto menjelaskan, pihaknya masih memiliki tiga saksi fakta, termasuk kontraktor dan juga dua saksi ahli, yang akan membantu dalam persidangan tersebut. Menurut rencana, minggu depan sidang dengan agenda pemeriksaan saksi akan kembali digelar.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata, yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Kinipan, mengungkapkan, pihaknya yakin kasus Willem Hengki merupakan bagian dari upaya pelemahan gerakan masyarakat adat Kinipan dalam mempertahankan wilayah adatnya.
Bayu menambahkan, Willem Hengki bukan satu-satunya orang Kinipan yang terjerat hukum. Sebelumnya, Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing dan lima warga Kinipan lainnya pernah dituduh melakukan pencurian yang kemudian bebas.
Padahal, mereka saat itu hanya menghadang alat berat membuka hutan adat mereka dan meminta perusahaan perkebunan sawit di wilayah itu untuk berhenti beroperasi.
”Mencari-cari kesalahan atau masalah yang menyeret tokoh adat ataupun tokoh desa yang menjadi aktor gerakan perlawanan suatu komunitas agar konflik sebenarnya teralihkan sudah terlalu sering terjadi di Kalteng,” kata Bayu.