Seleksi Calon Hakim ”Ad Hoc” Tipikor Kuak Persoalan Kompetensi, Kesejahteraan, dan Pengawasan
Komisi Yudisial keluhkan minimnya pendaftar calon hakim ”ad hoc” tipikor untuk tingkat kasasi. Dari 56 pendaftar, kini tersisa 11 orang. Dari segi kompetensi, juga dibutuhkan calon yang memiliki pengetahuan selain hukum.
JAKARTA, KOMPAS — Proses seleksi tiga hakim ad hoc tindak pidana korupsi Mahkamah Agung yang kini tengah dilakukan Komisi Yudisial menghadapi tantangan berupa sedikitnya peserta yang mendaftarkan diri. Fakta tersebut menampilkan kompleksitas persoalan yang terjadi selama ini, seperti kompetensi, kesejahteraan, dan pengawasan.
Setelah 3 hakim ad hoc tipikor di Mahkamah Agung pensiun pada Juli 2021, Komisi Yudisial kemudian mengadakan pendaftaran dan serangkaian proses seleksi calon hakim ad hoc tipikor di MA yang masih berjalan hingga saat ini.
”Pengumuman itu cukup lama, 10 hari, diperpanjang seminggu. Tetapi, ternyata peminatnya tidak terlalu banyak. Yang mendaftar hanya 57 orang. Setelah melalui seleksi administrasi, yang lulus seleksi itu hanya 46 orang,” kata anggota Komisi Yudisial, Siti Nurdjanah, dalam diskusi publik ”Mencari Sosok Hakim ’Ad Hoc’ Tipikor yang Berintegritas” yang diselenggarakan Transparency International Indonesia secara daring, Rabu (2/3/2022).
Setelah seleksi administratif, lanjut Siti, KY mengadakan uji kelayakan atau seleksi kualitas secara tatap muka pada Januari lalu. Dalam tahap itu, calon hakim ad hoc di antaranya diuji terkait karya atau pekerjaan sebelumnya, kemudian Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), dan pembuatan karya tulis di tempat. Mereka juga diminta membuat putusan saat uji kelayakan itu.
Baca juga: Peliknya Problem Seleksi Hakim ”Ad hoc” Tipikor
Dalam proses seleksi itu, dari 46 orang menyusut menjadi 11 calon. Saat ini uji kelayakan atau seleksi kualitas itu berlanjut dengan tes kepribadian dan kompetensi hingga pertengahan Maret mendatang.
”Setelah seleksi administrasi dan seleksi kualitas, berikutnya yang paling lama adalah penelusuran dan klarifikasi rekam jejak. Di sinilah penilaian terkait dengan integritas di samping asesmen kepribadian dan kompetensi yang dilakukan psikolog,” kata Siti.
Setelah putusan MK tentang kewenangan KY dalam melakukan seleksi hakim ad hoc di MA, kini KY cukup menyerahkan berapa pun nama yang lolos dalam proses seleksi yang dilakukan KY.
Menurut Siti, penelusuran rekam jejak calon hakim ad hoc tipikor tersebut melibatkan berbagai pihak, antara lain dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), kepolisian, kejaksaan, serta MA selaku end user. KY juga bekerja sama dengan rumah sakit yang ditunjuk untuk memeriksa kesehatan jasmani dan rohani calon hakim ad hoc tipikor.
Sebelum dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi, KY akan mengirim nama 9 calon ke DPR jika formasi yang diperlukan adalah 3 orang. Tapi, setelah putusan MK tentang kewenangan KY dalam melakukan seleksi hakim ad hoc di MA, maka kini KY cukup menyerahkan berapa pun nama yang lolos dalam proses seleksi yang dilakukan KY.
Baca juga: Krisis Hakim ”Ad Hoc” Tipikor Baru Teratasi Tahun Depan
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, di awal, pengadilan tipikor dibentuk karena ketidakpercayaan masyarakat terhadap pengadilan konvensional yang pada waktu itu dilingkupi praktik korupsi. Namun, kini, tujuan adanya hakim ad hoc tipikor untuk memutus mata rantai korupsi di lembaga peradilan semakin pudar.
”Ada 27 insan pengadilan yang terlibat perkara tipikor. Sampai 2019, 10 orang di antaranya hakim ad hoc tipikor. Maka tujuan sejak awal untuk mendapat hakim yang berintegritas dengan mengangkat dari luar itu tidak tercapai,” kata Zaenur.
Menurut Zaenur, gairah orang untuk mendaftar sebagai calon hakim ad hoc tipikor menurun karena adanya disinsentif. Disinsentif itu antara lain karena beban kerja hakim karir yang bersertifikasi tipikor tidak dibebaskan dari perkara lain. Sebaliknya, mereka yang menjadi hakim tipikor tidak diberi insentif khusus sebagai penghargaan. Demikian pula tunjangan sebesar Rp 40 juta per bulan bagi hakim ad hoc tipikor di tingkat kasasi juga dirasa kurang menarik.
Terkait dengan kompetensi, Zaenur memandang perlunya pengalaman lain selain bidang hukum bagi seorang calon hakim ad hoc tipikor. Pengalaman itu terkait dengan keuangan pasar modal, perpajakan, serta pengadaan barang dan jasa. Sebab, mereka dibutuhkan sebagai hakim tipikor karena spesialisasi atau kekhususan keahliannya, tidak hanya integritasnya.
Baca juga: Krisis Hakim Tipikor di MA, Pengamat: Seleksi di DPR Rumit dan Politis
Ketika kemudian ada hakim ad hoc tipikor yang tersangkut korupsi, menurut Zaenur, itu disebabkan para hakim tersebut sebelumnya sudah berkecimpung di dunia peradilan atau berasal dari profesi hukum yang sudah berinteraksi dengan pengadilan. Akibatnya, mereka sudah terjangkit dengan suatu kebiasaan atau budaya yang telah menjangkiti sistem itu.
”Di kasus Joko Tjandra itu terlihat sekali ada advokat, jaksa, polisi, dan diduga ada yang lain yang belum terungkap. Jadi judicial corruption itu bahkan disebut mafia,” ujar Zaenur.
Ketika kemudian ada hakim ad hoc tipikor yang tersangkut korupsi, menurut Zaenur, itu disebabkan para hakim tersebut sebelumnya sudah berkecimpung di dunia peradilan atau berasal dari profesi hukum yang sudah berinteraksi dengan pengadilan.
Di sisi lain, Zaenur menilai pengawasan terhadap hakim masih lemah. Hal ini masih terus menjadi persoalan karena jabatan hakim yang dipandang independen.
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Julius Ibrani berpandangan, mencari hakim ad hoc tipikor sama dengan mencari ”manusia setengah dewa”. Karena itu, KY seharusnya melakukan jemput bola, mencari dan menyaring nama-nama calon hakim ad hoc tipikor, bukan hanya menunggu.
Baca juga: Perpanjangan Hakim ”Ad Hoc” Tipikor pada MA Bukan Solusi
Julius juga menyoroti perihal transparansi dan akuntabilitas yang minim dalam proses seleksi yang sedang berjalan. Pihaknya dan juga masyarakat tidak tahu sosok calon hakim ad hoc tersebut. Publik juga tidak tahu tim seleksi yang dibentuk KY untuk melakukan seleksi tersebut.
”Soal partisipasi publik ini dijamin undang-undang. Tapi bagaimana masyarakat bisa memberikan pendapat kalau transparansi dan akuntabilitasnya kurang. Tidak heran publik tidak punya rasa memiliki terhadap pengadilan,” kata Julius.
Menurut Julius, dari sisi substansi seleksi hakim ad hoc tipikor, diperlukan perspektif antikorupsi yang cukup, baik dari tim seleksi maupun dari calon. Bahkan, jika perlu calon hakim ad hoc tipikor sudah semestinya berpengalaman menjadi korban kasus korupsi atau pernah mendampingi kasus korupsi. Dengan demikian, dia memiliki perspektif keadilan sosial dalam menangani perkara.
Selain itu, terdapat tren bahwa hakim ad hoc tipikor di tingkat pertama dan banding didominasi oleh mantan panitera, pegawai pengadilan, dan hakim pengadilan militer. Ketika mereka mengikuti seleksi untuk tingkat kasasi atau MA, pernah terjadi bahwa pengetahuan dan pemahaman hukumnya tidak mumpuni. ”KY punya jejaring masyarakat sipil di berbagai daerah. Pintunya sangat banyak untuk menggali pendapat masyarakat sebagai end user,” kata Julius.
Sementara itu, pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Choky R Ramadhan, berpandangan hakim ad hoc tipikor diharapkan tidak hanya seorang sarjana hukum, tetapi juga ahli di bidang lain, seperti perpajakan, keuangan, pengadaan barang, dan jasa. Sebab, mereka akan menangani perkara tipikor yang terkait dengan bidang-bidang tersebut.
Namun, terdapat dua hal yang kerap muncul dalam proses seleksi hakim ad hoc tipikor, yakni tidak memiliki pengetahuan yang mencukupi dan persoalan integritas, misalnya memiliki kaitan dengan partai politik atau konglomerasi tertentu. Di sisi lain, MA memiliki keterbatasan sumber daya untuk mengadakan pengadilan tipikor yang ideal, seperti membentuk pengadilan tipikor di setiap kabupaten atau kota.