Krisis Hakim Tipikor di MA, Pengamat: Seleksi di DPR Rumit dan Politis
Komisi III DPR yang melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon hakim agung dan hakim "ad hoc" di MA, berdalih calon yang dihadirkan oleh KY kerap tak berkualitas. Karena itu, sering tak disetujui DPR.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Suasana uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) terhadap calon hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi di Mahkamah Agung yang digelar secara fisik dan daring di Komisi III DPR, Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/1/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Usulan untuk menggelar pertemuan tiga pihak, yakni pimpinan Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan Dewan Perwakilan Rakyat, guna membahas perekrutan hakim ad hoc tindak pidana korupsi pada Mahkamah Agung dinilai mengandung kelemahan. Ini terutama untuk pelibatan pimpinan Mahkamah Agung.
Sesuai kode etik hakim, pimpinan Mahkamah Agung (MA) sebagai hakim agung tidak boleh bertemu dengan pihak-pihak yang berpotensi menjadi pihak berperkara. Selain itu, rentan terjadinya intervensi politik terhadap kepentingan yudisial. Di luar itu, DPR diharapkan tak terlalu dalam mencampuri persoalan perekrutan hakim agung ataupun hakim ad hoc tipikor pada MA seperti selama ini terjadi sehingga membuat kebutuhan hakim di MA sulit terpenuhi.
”Sebaiknya, memang cukup pimpinan KY (Komisi Yudisial) dan DPR saja untuk membahas bagaimana seleksi itu dilakukan untuk mengetahui di mana kendalanya sehingga calon hakim tidak lolos di tahap akhir, yakni fit and proper test (uji kelayakan dan kepatutan), yang dilakukan oleh DPR,” kata advokat publik Erwin Natosmal, Rabu (14/7/2021), di Jakarta.
Diberitakan sebelumnya, muncul usulan dari sejumlah anggota Komisi III DPR agar ada pertemuan tripartit antara pimpinan MA, KY, dan DPR dalam membangun kesepahaman antarlembaga tentang urgensi kebutuhan hakim ad hoc tipikor pada MA (Kompas, 14/7/2021). Ini menyusul akan pensiunnya lima hakim ad hoc tipikor akhir Juli ini sehingga tinggal tersisa tiga hakim. Pada 2020/2021, akan pensiunnya para hakim itu sudah coba diantisipasi dengan menggelar perekrutan. Namun, hanya satu dari sejumlah calon hasil seleksi KY, yang disetujui saat uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR.
Erwin Natosmal Oemar saat diskusi bertajuk ”Menimbang Seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi (MK): Masa Depan Penegakan HAM di Tangan Pengawal Konstitusi”, di Jakarta, Minggu (2/4/2017).
Erwin juga menggarisbawahi, kewenangan DPR dalam seleksi hakim itu pun sebatas ”menyetujui” dan bukan ”memilih”. Artinya, dengan kewenangan menyetujui ataukah tidak menyetujui, DPR seharusnya juga memberikan argumentasi kepada KY yang melakukan seleksi, kenapa calon hakim yang diajukannya tidak disetujui ataukah disetujui.
Sebab, jika dibandingkan dengan kegiatan fit and proper test lainnya, seperti saat ujian terhadap calon kepala polri dan calon kepala jaksa agung, DPR tidak pernah menyatakan ”tidak setuju” terhadap calon yang diajukan oleh presiden. Calon yang diajukan oleh presiden itu pun selalu tunggal. Namun, ketika seleksi calon hakim agung atau hakim ad hoc tipikor, sikap serupa tak ditunjukkan.
”Sudah ada putusan MK yang mengatakan kewenangan DPR dalam seleksi calon hakim agung dan ad hoc tipikor itu sebatas ”menyetujui” dan bukan lagi ”memilih”. Dengan demikian, seharusnya DPR tidak bisa terlalu dalam menerapkan kriteria calon hakim agung atau calon hakim ad hoc tipikor seperti apa yang bisa diloloskan oleh DPR, terlebih dengan bertemu dengan pimpinan MA,” kata Erwin.
Jika hal itu yang terjadi, dikhawatirkan terjadi infiltrasi kepentingan politik dalam perekrutan hakim agung dan hakim ad hoc tipikor. Sebagai lembaga politik, DPR akan memiliki kesempatan untuk menentukan kriteria hakim yang secara politik akan bisa diloloskan, sementara mekanisme seleksi dan perekrutan hakim telah dijalankan KY dengan mempertimbangkan berbagai aspek, terutama integritas dan kompetensi.
Kompas
Andi Samsan Nganro saat mengikuti seleksi calon hakim agung yang dilaksanakan oleh Komisi III DPR, Jakarta, Selasa (27/9/2011).
”DPR tidak bisa masuk terlalu dalam seleksi dan perekrutan hakim agung dan hakim ad hoc tipikor karena DPR hanya punya kewenangan menyetujui dan bukannya hak veto. Seharusnya tidak ada banyak ganjalan saat fit and proper test di DPR. Tetapi, pada praktiknya itu berbeda sehingga itulah yang membuat seleksi hakim agung dan hakim ad hoc tipikor kita menjadi rumit dan politis,” kata Ketua Bidang Hubungan Masyarakat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) itu.
Kalaupun perlu dibuat kesepahaman antara MA, KY, dan DPR dalam pemenuhan kebutuhan hakim ad hoc tipikor, pimpinan MA cukup bersurat. Adapun DPR dapat melakukan rapat konsultasi atau pertemuan dengan KY, sebagai lembaga yang memang bertugas menyeleksi calon hakim agung dan hakim ad hoc tipikor.
Dilema Komisi III DPR
M Paschalia Judith J untuk Kompas
Trimedya Panjaitan
Dihubungi terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) Trimedya Panjaitan, mengatakan, selama ini pertemuan dengan pimpinan MA memang terkendala dengan posisi MA sebagai lembaga yudikatif.
Sebagai pimpinan lembaga yudikatif yang juga seorang hakim, pertemuan dengan setiap pihak yang berpotensi menjadi pihak yang beperkara memang tidak diperbolehkan.
Namun, dengan adanya kondisi kekurangan hakim ad hoc tipikor di MA saat ini, menurut dia, sikap seperti itu mestinya dipertimbangkan kembali. ”Komunikasi itu sesuatu hal yang wajar dan saya pikir Mbak Puan (Ketua DPR Puan Maharani) tidak akan keberatan dengan itu semua, demi mencari jalan keluar dari persoalan seleksi calon hakim ad hoc tipikor di MA ini,” kata Trimedya.
Menurut Trimedya, yang juga mantan advokat ini, dalam beberapa tahun terakhir, kualitas calon hakim agung dan hakim ad hoc tipikor di MA yang diusulkan oleh KY, menurun. Hal ini menimbulkan dilema bagi DPR, khususnya Komisi III, yang bermitra dengan KY dan MA.
”Kalau calon yang seperti itu diloloskan, kami yang akan disalahkan karena kualitas hakim tidak baik. Namun, kalau tidak diloloskan, kondisi hakim ad hoc tipikor di MA saat ini kurang,” katanya.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/2/2020). Salah satu agenda rapat pemberian persetujuan terhadap sembilan calon hakim yang terdiri dari lima orang calon hakim agung, empat calon hakim ad hoc pada Mahkamah Agung, dan satu calon hakim ad hoc industrial pada Mahkamah Agung.
Untuk menuntaskan persoalan ini, pertemuan tripartit dipandang mendesak dilakukan. Di satu sisi, dalam pertemuan itu, KY dan MA akan dapat memahami kriteria calon hakim agung atau hakim ad hoc tipikor yang akan diloloskan oleh DPR. Pertemuan itu juga bisa menjadi sarana menyamakan persepsi antara KY, MA, dan DPR dalam menyikapi kebutuhan hakim ad hoc tipikor di MA.
”Bisa saja pimpinan MA berkomunikasi juga dengan pimpinan komisi atau apakah juga jika memungkinkan berkirim surat,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mengatakan, dalam sejumlah uji kelayakan dan kepatutan calon hakim, Komisi III kerap menjumpai kurang baiknya rekam jejak para calon. Beberapa di antaranya bahkan diketahui tidak jujur saat pernah menerima suatu pemberian dari pihak yang beperkara.
Dalam salah satu kasus, seorang calon hakim diketahui pernah menerima pemberian uang dari kantor advokat salah satu anggota yang pernah duduk di Komisi III DPR, ketika calon hakim itu menjadi hakim ad hoc tipikor di daerah atau saat menjadi hakim di pengadilan negeri.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Arsul Sani
Senada dengan Trimedya, Arsul juga menekankan agar pimpinan MA mau membuka pintu komunikasi dengan pimpinan DPR guna mengatasi problem kekurangan hakim di MA. Pimpinan DPR selanjutnya dapat meneruskan pesan pertemuan itu kepada pimpinan Komisi III DPR yang selama ini bertugas melakukan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim.
Adapun nggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Rano Al Fath mengatakan, selama ini DPR melaksanakan uji kelayakan dan kepatutan calon hakim berdasarkan ketentuan yang ada. Pemberian persetujuan atau tidak dari DPR terhadap calon hakim yang diajukan oleh KY merupakan kewenangan DPR.
”Calon hakim agung diproses dulu KY, nanti hasilnya kami yang akan menentukan melalui fit and proper test calon-calon yang sudah lolos seleksi di KY,” ujarnya.