Upaya MA memodernisasi peradilan patut mendapatkan apresiasi. Namun, hal tersebut harus menjamin manfaat sebesar-besarnya bagi pencari keadilan.
Oleh
SUSANA RITA
·5 menit baca
Jauh sebelum pandemi Covid-19 merebak di negeri ini, Mahkamah Agung sudah memulai langkah memodernisasi pengadilan dengan menerapkan peradilan elektronik atau e-Court pada tahun 2019 untuk perkara perdata, militer, tata usaha negara, dan agama. Layanan e-Court yang dibentuk setahun sebelumnya itu mencakup e-Filing (pendaftaran perkara secara daring), e-Payment (pembayaran panjar biaya perkara secara daring), e-Summons (pemanggilan pihak secara daring), dan e-Litigation (persidangan secara daring).
Dalam waktu yang hanya dua tahun, jumlah pengguna layanan e-Court telah mencapai 108.851 orang. Sebanyak 48.002 orang diantaranya berprofesi sebagai advokat, sedangkan 160.849 orang berasal dari kalangan perorangan, pemerintah, badan hukum, dan kuasa insidentil.
Sementara jumlah perkara yang menggunakan sistem ini jauh lebih besar. Pada 2021, jumlah perkara perdata, agama, dan tata usaha negara (TUN) sepanjang 2021 di pengadilan tingkat pertama sebanyak 225.072 perkara. Jumlah ini meningkat sebesar 20,37 persen dibandingkan tahun 2020 (sebanyak 186.987 perkara). Adapun pengguna e-Litigasi pada tahun 2021 sebanyak 11.817 perkara.
Pandemi Covid-19 memaksa adanya sistem kerja baru di segala aspek, termasuk kerja peradilan yang juga harus membuat penyesuaian. Ketua MA M Syarifuddin dalam pidato laporan akhir tahun MA, 22 Februari lalu, mengungkapkan, pandemi Covid-19 membawa hikmah tersendiri bagi dunia peradilan. “Dalam kondisi yang normal, kita tidak pernah bisa membayangkan bahwa dalam waktu dua tahun, proses migrasi dari sistem peradilan konvensional yang sudah berjalan puluhan tahun, bisa ditransformasi ke sistem peradilan elektronik. Namun, di saat kondisi yang sedang genting, ternyata semua itu dapat dilakukan. Inilah yang saya sebut sebagai hikmah di balik datangnya musibah,” ujar Syarifuddin.
Layanan e-Court pun diperluas, juga untuk perkara pidana. MA menerbitkan Peraturan MA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara Pidana secara Elektronik. Berdasarkan Perma tersebut, terdapat 129.575 perkara pidana yang diselesaikan melalui sidang elektronik.
Gambaran-gambaran di atas, dalam pandangan Ketua MA, menunjukkan bahwa sistem peradilan elektronik telah berjalan secara efektif pada semua jenis perkara di empat lingkungan peradilan yang ada di bawah MA.
Keinginan untuk memodernisasi peradilan sudah ada bahkan dari satu dekade sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dalam Cetak Biru MA 2010-2035, yang membagi modernisasi manajemen perkara pengadilan dalam tiga kelompok/tahapan yang dilaksanakan dalam setiap periode 5 tahun. Tahap pertama (hingga 2015), pengembangan diarahkan pada keterbukaan dan revitalisasi system pelaporan dengan indicator transparansi putusan, transparansi informasi perkara, integrasi informasi perkara, dan pelaporan perkara berbasis elektronik.
Tahap kedua (hingga 2020), MA menargetkan adanya modernisasi business process dan pelayanan public yakni migrasi ke manajemen perkara berbasis elektronik, pelayanan public berbasis elektronik, dan simplifikasi administrasi perkara cepat. Adapun tahap ketiga (hingga 2025), MA menginginkan adanya pelayanan hukum terintegrasi yaitu ditunjukkan dengan integrasi dengan penegak hukum lain, pengadilan online, dan sistem login tunggal bagi advokat.
Evaluasi
Anggota Komisi Yudisial bidang Sumber Daya Manusia, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan, Binziad Kadafi, mengapresiasi upaya modernisasi MA tersebut. Hal itu merupakan perkembangan yang menggembirakan bagi modernisasi sistem peradilan. Manfaat terbesar dari menjalankan persidangan elektronik adalah peluang lebih besar untuk menjalankan protokol kesehatan secara lebih baik di pengadilan. Tatap muka, interaksi fisik, dan potensi penumpukan orang berkurang secara signifikan.
Untuk pengadilan yang beban perkaranya besar, meski berada di zona penularan Covid-19 yang tinggi, hakim sering kali berada dalam situasi yang tidak ada pilihan. Namun dengan e-Court, hakim bisa lebih selektif dalam menentukan tahap-tahap persidangan mana yang bisa dilakukan secara virtual dan mana yang memang harus dihadiri secara fisik.
Namun, harus diakui bahwa ada tantangan dalam penerapan e-Court diantaranya, prinsip keterbukaan sidang di pengadilan, pemenuhan berbagai prinsip fair trial, serta efektivitas pembuktian dalam setting persidangan elektronik tetap harus dipenuhi dan jadi perhatian hakim dan pengadilan.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Liza Farihah juga memberikan sejumlah catatan, tentu selain apresiasi atas upaya yang sudah dilakukan MA. Dalam upaya ini, harus diakui bahwa MA lebih maju dari segi ide dan tindakan modernisasi peradilan.
Namun, menurut Liza, perlu juga disoroti bagaimana MA menjawab tantangan soal dukungan infrastruktur dan fasilitas untuk menjamin terus terlaksananya modernisasi peradilan. Selain itu, pertanyaan paling pentingnya adalah untuk siapa modernisasi peradilan masyarakat tersebut? Apakah dengan modernisasi peradilan yang terus digadang-gadang tersebut masyarakat merasakan hasilnya?
“Kalau aku jadi pencari keadilan, pertanyaannya, terus kenapa kalau ada e-Court dan e-Litigasi? Jadwalsidang aja masih sesuka hati. Mau unggah gugatan ke sistem e-Court nggak bisa-bisa. Mau protes soal e-Court nggak ada help desk-nya. Jadi poinnya adalah apakah manfaat modernisasi peradilan benar-benar dirasakan oleh para pencari keadilan?” tambahnya.
Ronny Berty Talapessy dari Kantor RBT Law mengungkapkan, ada kendala yang dihadapi saat harus menggunakan persidangan elektronik, yaitu pembelaan menjadi kurang maksimal. Sebab, tidak tatap muka dengan para hakim sehingga kadang pembelaan terbatas.
“Kita ragu hakim menerima argumentasi pembelaan kita atau tidak. Kalau sidang tatap muka, kita berusaha meyakinkan hakim atas pembelaan kita. Dengan e-Litigasi tidak bisa, karena nggak liat muka hakim,” kata Ronny sambil tertawa.
Hal tersebut berlaku untuk perkara pidana maupun perdata. Ia mengungkapkan, “Kalau pendaftaran perkara secara e-Court , tidak masalah. Tetapi kalau sidang secara daring buat kita sebagai penasihat hukum tidak maksimal,” ungkapnya.
Liza menekankan pentingnya evaluasi seberapa efektif aturan Perma No 4/2020 dan pelaksanaan sidang elektronik. Hal-hal penting dan perlu diperhatikan adalah bagaimana sidang elektronik tersebut menjamin fair trial terdakwa seperti akses kepada penasihat hukum dan penerjemah, keterlibatan korban dalam sidang pidana, dan akses publik akan persidangan yang terbuka untuk umum.
Binziad Kadafi pun berharap MA mendengar keluhan para pencari keadilan tersebut, untuk kemudian dicarikan jalan keluarnya. Sehingga, ke depan, penyelenggaraan sidang elektronik bisa lebih sempurna.