Status Tersangka Dihentikan, LPSK Penuhi Hak Perlindungan bagi Nurhayati
Status tersangka Nurhayati, pelapor dugaan korupsi di Desa Citemu, Cirebon, akan dihentikan. ICW menilai penetapan tersangka itu tetap merugikan Nurhayati dan membuat masyarakat takut melaporkan kasus korupsi.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD memastikan bahwa status tersangka Nurhayati, pelapor dugaan korupsi di Desa Citemu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, akan dihentikan. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban pun menjamin akan menindaklanjuti pengaduan Nurhayati melalui kuasa hukumnya untuk mendapatkan perlindungan.
Indonesia Corruption Watch menilai Kepolisian Resor Cirebon yang menetapkan Nurhayati sebagai tersangka telah bekerja tidak profesional. Hal itu tak hanya merugikan Nurhayati, tetapi juga membuat masyarakat takut melaporkan kasus korupsi.
Mahfud MD, melalui akun Twitter pribadi, Minggu (27/2/2022), menyatakan, Kemenko Polhukam telah berkoordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan terkait dengan status tersangka Nurhayati. Nurhayati adalah mantan Bendahara Desa Citemu yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Satuan Reserse Kriminal Polres Cirebon Kota, akhir November 2021. Padahal, Nurhayati turut mengungkap tindakan eks Kepala Desa Citemu berinisial S yang diduga menyelewengkan anggaran desa lebih dari Rp 818 juta.
”Yang bersangkutan tidak perlu lagi datang ke Kemenko Polhukam. Insya Allah, status TSK (tersangka) tidak dilanjutkan. Tinggal formula yuridisnya,” kata Mahfud.
Nurhayati ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar Pasal 66 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Nurhayati disangka memberikan dana itu langsung kepada S, bukan kepada kaur (kepala urusan) dan kepala seksi pelaksana kegiatan.
Masih melalui akun Twitternya, Mahfud mengatakan, perkara dugaan korupsi terhadap eks Kades Citemu S tetap dilanjutkan. Sebab, perkara dugaan oleh kades berbeda dengan perkara terhadap Nurhayati, yang diduga ikut menikmati atau diduga pernah membiarkan. Terkait dengan penghentian status Nurhayati tersebut, Mahfud meminta untuk menunggu formula yuridisnya dari kejaksaan dan kepolisian.
Mahfud menampik pertanyaan warganet bahwa status tersangka Nurhayati tersebut dicabut setelah viral. Menurut Mahfud, banyak kasus pemberantasan korupsi di kejaksaan dan kepolisian yang memang diproses bukan karena viral, melainkan karena temuan aparat penegak hukum. ”Pokoknya, ayo, jangan takut melaporkan korupsi,” ujar Mahfud.
Perlindungan tetap diberikan
Secara terpisah, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo, ketika dihubungi, mengatakan, pihaknya menyambut positif pernyataan Menko Polhukam yang akan menghentikan status tersangka terhadap Nurhayati. Meski Nurhayati tidak lagi sebagai tersangka, LPSK tetap akan menindaklanjuti pengaduan Nurhayati melalui kuasa hukumnya untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK.
”Jadi tetap akan memberi perlindungan karena sebagai pelapor. Dan itu tetap akan dilindungi oleh LPSK. Kalau ancaman itu juga dialami juga oleh keluarga, kami akan berikan perlindungan, termasuk jika perlu melakukan relokasi,” kata Hasto.
Meski Nurhayati tidak lagi sebagai tersangka, LPSK tetap akan menindaklanjuti pengaduan Nurhayati melalui kuasa hukumnya untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK.
Menurut Hasto, pengaduan dan permintaan perlindungan karena dijadikan tersangka sebagaimana dialami Nurhayati sudah beberapa kali terjadi. Hasto pun menyatakan penyesalannya karena di satu sisi LPSK mendorong masyarakat untuk berani melapor tindak pidana korupsi atau berani menjadi saksi dalam perkara korupsi, tetapi aparat penegak hukum justru mengambil langkah sebaliknya.
Padahal, seorang pelapor seharusnya dilindungi oleh undang-undang. Dengan demikian, dugaan atau penetapan tersangka terhadap pelapor sudah seharusnya dinomorduakan oleh aparat penegak hukum.
Hasto menuturkan, terkait dengan pengaduan dari Nurhayati kepada LPSK, kuasa hukum Nurhayati telah mendatangi kantor LPSK. Kemudian, kuasa hukum Nurhayati juga telah membuat pengaduan secara tertulis dan kini sedang diproses LPSK. Ketika tim dari LPSK hendak melakukan investigasi ke Cirebon, ternyata Nurhayati terpapar Covid-19. Oleh karena itu, komunikasi dilakukan dengan sambungan telepon.
Selain memberikan perlindungan bagi Nurhayati, lanjut Hasto, LPSK akan memberikan layanan atau konsultasi hukum kepada Nurhayati. Sebab, kasus tersebut mesti menjadi pengingat bagi aparat penegak hukum bahwa kedudukan pelapor dilindungi undang-undang.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat, kejadian yang menimpa Nurhayati pernah terjadi sebelumnya. Pada akhir tahun 2020, seorang mahasiswa di Universitas Negeri Semarang juga menerima skors selama enam bulan setelah melaporkan rektor kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal, terdapat tiga peraturan perundang-undangan yang menjamin peran serta masyarakat untuk memastikan penyelenggaraan negara dapat berjalan bersih dan bebas dari korupsi. Peraturan itu adalah Pasal 5 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK), Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, serta Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Terkait dengan korupsi dana desa, menurut catatan ICW, Tren Penindakan Korupsi Semester I Tahun 2021, diketahui sektor dana desa paling rawan dikorupsi dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 35,7 miliar. Hal ini sejalan dengan kesimpulan bahwa lembaga yang paling sering ditangani oleh aparat penegak hukum adalah pemerintahan desa. Selain itu, aparatur desa juga masuk dalam 10 besar aktor paling banyak terjerat kasus korupsi.
Tidak profesional
Ketika dihubungi, peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, berpandangan, penghentian status tersangka Nurhayati tersebut memperlihatkan ketidakprofesionalan Polres Cirebon yang menetapkan Nurhayati sebagai tersangka. Sebab, lanjut Kurnia, sejak awal ICW telah mencium kejanggalan dalam proses penetapan tersangka tersebut dengan merujuk pada bukti dankonstruksi hukumnya sebagaimana disampaikan Polres Cirebon.
Penghentian status tersangka Nurhayati tersebut memperlihatkan ketidakprofesionalan Polres Cirebon yang menetapkan Nurhayati sebagai tersangka.
Oleh karena itu, Kurnia berharap agar Kepala Polri menindak tegas Kepala Polres Cirebon dengan cara mencopot dari jabatannya. Sebab, tindakannya tersebut telah mengecilkan dan mengancam peran serta masyarakat dalam mendukung pemberantasan korupsi.
”Harapan kami, tidak selesai dengan pemberian SP3 (surat pemberitahuan penghentian penyidikan). Sebab, dalam konstruksi hukum, Ibu Nurhayati telah dirugikan dengan pemberian status tersangka dan secara lebih luas hal itu membuat masyarakat takut untuk melaporkan kasus korupsi,” ucap Kurnia.
Sebelumnya, dalam jumpa pers, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Ahmad Ramadhan menyebutkan, kasus dengan tersangka S dan N atau Nurhayati yang ditangani Polres Cirebon telah menjadi perhatian pimpinan Polri. Oleh karena itu, pada Jumat (25/2/2022), dilakukan gelar perkara terhadap kasus tersebut.
Dari gelar perkara, lanjut Ahmad, disimpulkan bahwa berkas perkara atas nama inisial S akan terus dilanjutkan. Sementara untuk tindak lanjut berkas perkara tersangka berinisial N atau Nurhayati akan dikoordinasikan dengan jaksa penuntut umum terlebih dahulu.
”Nanti, setelah dikoordinasikan dengan jaksa penuntut umum, kita akan sampaikan kembali kepada teman-teman media,” ujar Ahmad.