Teror Bom Menurun, tetapi Terorisme Tetap Menjadi Ancaman
Teror bom selama dua tahun terakhir ini mengalami penurunan. Namun, bukan berarti ancaman teror dari kelompok teroris dan radikal telah hilang. Sebab, sejumlah kelompok teror masih terus bergerak.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keberhasilan Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri dalam menekan jumlah kejadian atau peristiwa bom di Indonesia memperlihatkan efektivitas dari tindakan preventif yang selama ini dilakukan. Namun, ancaman terorisme tetap ada meski dinilai melemah.
Sebelumnya, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dalam acara Senior Level Meeting Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri mengapresiasi kinerja Densus 88 Antiteror Polri dalam pengungkapan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana terorisme. Hal itu tampak dari pengungkapan dan penangkapan tersangka tindak pidana terorisme yang meningkat dari tahun 2020 sebanyak 232 orang menjadi 370 orang pada 2021.
Dengan strategi pencegahan yang diterapkan Densus 88 tersebut terjadi penurunan kejadian, khususnya kejadian ledakan bom. Jika pada 2020 terjadi 13 kejadian, maka pada 2021 menurun menjadi 6 kejadian. Listyo berharap pada 2022 tidak ada kejadian bom sama sekali atau zero attack.
”Dan, ini merupakan prestasi. Dalam kesempatan ini saya memberikan apresiasi kepada seluruh rekan-rekan,” kata Listyo.
Pencegahan terhadap terjadinya kejadian bom tersebut, lanjut Listyo, penting dilakukan mengingat Indonesia pada tahun ini mendapatkan mandat presidensi G-20 dan menyelenggarakan berbagai acara G-20 di Indonesia. Oleh karena itu, mengutip pesan Presiden Joko Widodo, Listyo meminta agar jangan sampai terjadi letupan sekecil apa pun.
Pengamat terorisme dan juga pengajar dari Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Al Chaidar, ketika dihubungi pada Sabtu (19/2/2022), mengatakan, kinerja Densus 88 Antiteror Polri untuk mencegah terjadinya aksi teror patut diapresiasi. Al Chaidar menyebut bahwa di dalam tubuh unit antiteror Polri tersebut terdapat semacam local genius yang membuatnya mampu melakukan tindakan pencegahan.
”Tindakan preemptif dan preventif adalah proses tersulit yang semua unit antiteror dunia tak mampu lakukan. Tapi, Densus 88 Antiteror Polri mampu dan tentunya sangat berisiko terhadap keselamatan petugas di lapangan. Tindakan tersebut sudah mampu mencegah collateral damage bagi publik Indonesia dan mungkin internasional,” kata Al Chaidar.
Berkaca dari pola aksi teror yang terjadi selama ini, lanjut Al Chaidar, Densus 88 Antiteror Polri harus diperkuat untuk menangani kasus terorisme tanzim. Terorisme tanzim adalah kegiatan terorisme yang dilakukan oleh organisasi teroris yang sering berpindah tempat dan menyerang target-target di luar batas kampung halamannya.
Berkaca dari pola aksi teror yang terjadi selama ini, lanjut Al Chaidar, Densus 88 Antiteror Polri harus diperkuat untuk menangani kasus terorisme tanzim.
Sedangkan untuk penanganan terorisme tamkin, seperti dilakukan Mujahidin Indonesia Timur di Poso ataupun kelompok bersenjata di Papua, hal itu lebih baik diserahkan kepada militer. Sebab, Densus 88 Antiteror Polri tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi ancaman dengan kemampuan tempur dan perang gerilya.
Masuk ke parpol atau ormas
Terkait dengan pernyataan pejabat Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bahwa keberadaan terduga teroris yang berada di sejumlah organisasi massa berbasis keagamaan, partai, hingga lembaga negara sebagai perubahan strategi yang mereka lakukan, hal itu dinilai merupakan bentuk transformasi damai yang mereka lakukan agar tidak menjadi teroris. Oleh karena itu, Al Chaidar menilai tidak ada yang perlu dikhawatirkan terkait hal itu.
”Densus 88 Antiteror Polri pasti sangat mampu menangani terorisme tanzim yang semakin melemah dan kini masuk ke partai dan ormas,” kata Al Chaidar.
Sebelumnya, Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris dalam forum diskusi mengatakan, kelompok radikal dan teroris telah mengubah strateginya dalam menyebarkan paham dan mencari simpatisan. Salah satunya dilakukan dengan masuk ke lembaga formal, partai politik, dan organsasi masyarakat.
Kelompok radikal dan teroris telah mengubah strateginya dalam menyebarkan paham dan mencari simpatisan. Salah satunya dilakukan dengan masuk ke lembaga formal.
Menurut Al Chaidar, para teroris saat ini telah mulai kehilangan akar dan basis pendukungnya sehingga harus berlindung di bawah kedok partai politik. Hal itu sebenarnya sekaligus menunjukkan bahwa mereka mengalami disorientasi dan dislokasi serta disposisi yang akut. Sebab, dari perspektif akidah tauhid yang mereka anut, partai politik adalah sesuatu yang haram.
”Masuknya mereka ke partai politik akan merusak radar kosmologi mereka sehingga membuat mereka gamang dan lemah. Demokrasi adalah instrumen yang efektif untuk melemahkan fundamentalisme dan terorisme di mana pun,” ujar Al Chaidar.