Kasus Pelanggaran HAM Berat Paniai, Penyidik Telah Periksa 37 Orang
Penegakan hukum atas kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua, pada 2014, penting karena dapat menjadi pintu masuk untuk membangun dialog damai di bumi Papua.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Dibentuk pada 3 Desember 2021, hingga saat ini tim penyidik Kejaksaan Agung untuk dugaan pelanggaran hak asasi berat dalam peristiwa Paniai, Papua, pada 2014, telah memeriksa 37 orang dari berbagai unsur. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berharap agar kasus tersebut dapat dibawa ke pengadilan.
Peristiwa Paniai terjadi pada 7-8 Desember 2014. Dalam peristiwa tersebut, empat orang yang semuanya pelajar tewas. Setelah melakukan penyelidikan proyustisia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Februari 2020 menyatakan bahwa peristiwa Paniai sebagai sebuah tindakan pelanggaran HAM yang berat.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/2/2022) malam, mengatakan, dalam dua hari terakhir, penyidik pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung telah memeriksa enam saksi yang adalah anggota kepolisian. Tiga orang diperiksa pada Senin dan tiga orang lagi diperiksa pada hari berikutnya untuk materi yang berbeda.
Pada Senin, tiga anggota kepolisian diminta keterangan terkait dengan peristiwa penembakan di sekitar Kepolisian Sektor (Polsek) Paniai Timur dan Lapangan Karel Gobai. ”Serta menjelaskan peristiwa pemalangan jalan di Pondok Natal pada 8 Desember 2014,” kata Leonard.
Pada Selasa dilakukan pemeriksaan terhadap tiga anggota kepolisian mengenai hasil uji balistik terhadap pengujian serpihan peluru dan jenis senjata yang digunakan unsur TNI dan kepolisian. Mereka juga diminta keterangan terkait dengan peristiwa pemalangan jalan di Pondok Natal pada 8 Desember 2014.
Menurut Leonard, hingga saat ini tim penyidik telah memeriksa 37 saksi dari berbagai unsur. Mereka terdiri dari 6 warga, 13 anggota kepolisian, dan 18 orang dari unsur TNI.
”Pemeriksaan saksi dilakukan di dua tempat, yaitu Papua dan Jakarta, serta dilaksanakan dengan mengikuti secara ketat protokol kesehatan,” kata Leonard.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik ketika dihubungi, Rabu (9/2/2022), mengatakan, Komnas HAM sangat mendukung proses hukum yang tengah dijalankan tim penyidik Kejagung. Sebab, proses hukum dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai tersebut dapat menjadi pintu masuk membangun dialog damai di tanah Papua. ”Harapan saya tentu (perkara Paniai) itu bisa ke persidangan dan menghukum pelaku,” kata Ahmad.
Menurut Ahmad, koordinasi Komnas HAM dengan tim penyidik Kejagung telah dilakukan beberapa kali. Demikian pula ketika tim penyidik ke lapangan dan mengalami hambatan terkait dengan saksi perkara, Komnas HAM dan Komnas HAM perwakilan Papua turut membantu.
Secara terpisah, pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Asfinawati, mengatakan, kasus Paniai berawal dari pemukulan atau penganiayaan warga yang kemudian direspons dengan demonstrasi hingga akhirnya terjadi penembakan. Peristiwa kekerasan dengan latar belakang semacam itu, menurut dia, kerap terjadi di Papua.
”Latar belakang ini harus dilihat karena pengeroyokan dan penembakan semacam itu jamak terjadi. Dan, ini ditambah adanya nuansa rasisme, semisal ada persepsi bahwa orang Papua kasar,” kata Asfinawati.
Latar belakang peristiwa kekerasan tersebut, menurut Asfinawati, seharusnya dievaluasi terkait dengan pendekatan keamanan terhadap Papua. Pemerintah semestinya menyadari bahwa pendekatan keamanan dengan menerjunkan aparat militer ke Papua sebagaimana dilakukan selama ini merupakan sumber dari kekerasan yang terjadi di sana. Terlebih nuansa rasisme yang muncul menambah kondisi menjadi rentan atau berbahaya.
Terkait dengan proses penyidikan peristiwa Paniai yang tengah berjalan, Asfinawati melihat sebagai hal positif. Sebab, kasus itu belum lama terjadi sehingga seharusnya tidak ada hambatan berarti.
Meskipun demikian, bukan berarti proses hukum perkara tersebut akan mudah. Sebab, seandainya penyidik nantinya berhasil menetapkan tersangka dan membawa ke pengadilan, masih ada proses hukum yang terjadi di pengadilan. Berkaca pada pengalaman jalannya pengadilan HAM terhadap peristiwa Tanjung Priok, saat itu pengadilan dipenuhi dengan anggota militer yang secara tidak langsung memberikan tekanan kepada hakim. Dalam perkara itu, terduga pelaku pun divonis bebas oleh hakim.
”Jadi, jalannya masih panjang. Maka, semua pihak harus bekerja sama, baik penyidik, penuntut umum, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, juga Mahkamah Agung, untuk menjaga lembaga peradilan tetap independen,” kata Asfinawati.