Bualan-bualan dalam Obyektifikasi Perempuan
Dalam film horor Indonesia, hantu yang mendominasi selalu perempuan. Kenapa harus terus-menerus perempuan?
![Potongan adegan dalam film horor <i>Badarawuhi di Desa Penari</i> yang tayang pada masa libur Lebaran, 11 April 2024. Film ini digarap oleh sutradara Kimo Stamboel dan diproduksi MD Pictures. Para pemeran yang terlibat dalam film ini antara lain Aulia Sarah, Maudy Effrosina, Jourdy Pranata, Ardit Erwandha, M Iqbal Sulaiman, Aming, dan Diding Boneng.](https://cdn-assetd.kompas.id/Hr6vgAw2QHMQlla1cj9L7EWQhMM=/1024x683/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F04%2F13%2Ff643cbab-89ca-494a-a26d-df09ff70efe3_jpg.jpg)
Potongan adegan dalam film horor Badarawuhi di Desa Penari yang tayang pada masa libur Lebaran, 11 April 2024. Film ini digarap oleh sutradara Kimo Stamboel dan diproduksi MD Pictures. Para pemeran yang terlibat dalam film ini antara lain Aulia Sarah, Maudy Effrosina, Jourdy Pranata, Ardit Erwandha, M Iqbal Sulaiman, Aming, dan Diding Boneng.
Sebegitu menakutkankah sosok perempuan sehingga sebagian besar film horor Indonesia menampilkan hantu atau roh gentayangan dalam wujud perempuan? Jangan-jangan itu hanya bualan obyektifikasi perempuan.
Berlenggak-lenggok mengenakan kemben hijau dipadu jarik, bersanggul, dan berselendang kuning, Badarawuhi menyita perhatian. Penggambarannya cantik sekaligus menggoda, tapi diam-diam ia lihai memanipulasi, licik, dan culas demi menjerat korban.
Badarawuhi ini adalah satu dari sekian banyak representasi hantu perempuan dalam film horor Indonesia seperti yang muncul di film KKN di Desa Penari (2022) dan Badarawuhi di Desa Penari (2024). Penampilan Badarawuhi lepas dari ”pakem” hantu perempuan lokal era 1980-an hingga 1990-an yang bergaun putih dengan bercak darah dan berambut kusut-panjang. Meski begitu, ”karakter dasarnya” sebelas-dua belas: sama-sama kekuatan jahat yang mengusik kedamaian.
Baca juga: Intimidasi Iblis Penari Badarawuhi
Di tengah munculnya kesadaran dan upaya membangun kesetaraan jender, banyak film horor Indonesia justru menampilkan representasi perempuan secara jomplang lewat alur cerita yang nyaris begitu-begitu saja. Hantu perempuan nyaris selalu ”bernasib serupa”. Ketika hidup dibelenggu beragam aturan, menjadi korban kekerasan, lalu mati mengenaskan. Setelah mati, rohnya gentayangan dan entah bagaimana punya kekuatan yang bisa merusak dan membunuh orang-orang yang jadi sasaran dendamnya.
Pada film horor Indonesia yang diproduksi tahun 2000, roh jahat itu biasanya menitis pada perempuan urban yang manis-manis. Lewat tubuh perempuan juga, roh itu menciptakan ketakutan dan menebar teror kematian.
![Film <i>KKN di Desa Penari</i>](https://cdn-assetd.kompas.id/9qUkylE7gByl1VouAR3sxDXnDpE=/1024x683/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F21%2Fb8f1dba1-0205-42d6-9b7b-2de93e6c3358_jpg.jpg)
Film KKN di Desa Penari
Begitulah, sosok perempuan dalam film horor Indonesia punya kekuatan luar biasa, justru ketika sudah ”menjadi setan”. Namun, kekuatan itu adalah kekuatan yang merusak keamanan dan harmoni dalam masyarakat.
Lalu siapa yang bisa mengembalikan kedamaian dan harmoni? Dalam film horor Indonesia, sosok protagonis seperti ini umumnya ditampilkan dalam wujud laki-laki yang menjadi pemuka agama atau punya kekuatan spiritual. Sudah menjadi solusi klasik dalam banyak film horor Indonesia sejak tahun 1970-an hingga 2000-an, roh perempuan yang gentayangan bisa ”ditertibkan” oleh sosok laki-laki, apakah lewat jalur negosiasi atau dengan paksaan
Baca juga: Menjual Penasaran di Jalur Setan
Baru pada film Pengabdi Setan (2017) dan Pengabdi Setan 2 (2022), kekuatan pemuka agama justru dibikin melempem di hadapan hantu. Meski begitu, tetap saja ada sosok perempuan, yakni Ibu sebagai cantolan hantu yang menebar teror saat itu.
Tia Hasibuan dari rumah produksi Come and See Pictures yang ikut memproduksi Pengabdi Setan 2, Kamis (23/5/2024), menyampaikan, produksi terbarunya bersama Joko Anwar, yakni Siksa Kubur (2024), tak lagi menjadikan perempuan sebagai hantu. Justru di sini, perempuan menjadi tokoh utama dan penggerak cerita sejalan dengan tujuan menciptakan karakter yang simpatik dan menghadirkan penggambaran dunia yang dapat dipercaya penonton.
”Akan tetapi, di Siksa Kubur kami justru lebih ingin mengajak penonton berkontemplasi dan berpikir, baik dengan diri sendiri maupun dengan sesama penonton lain,” kata Tia.
Tia menyebut langkah tersebut sebagai kebaruan dalam film horor. Baginya, film horor Indonesia telah jauh berbenah dengan upaya menyajikan beragam kebaruan. Mulai dari tema, karakter, perlakuan (treatment), hingga hal-hal teknis lain dalam proses pembuatannya.
![Poster film <i>Pengabdi Setan 2: Communion </i>di bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (4/8/2022). Film besutan sutradara Joko Anwar tersebut tayang perdana di bioskop di seluruh Indonesia pada 4 Agustus 2022.](https://cdn-assetd.kompas.id/4-RlkxHQp8BhVplIut7AoDb0dAE=/1024x1534/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F04%2Fa58b1b36-3997-46a9-90e0-18a675962ae1_jpg.jpg)
Poster film Pengabdi Setan 2: Communion di bioskop CGV Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (4/8/2022). Film besutan sutradara Joko Anwar tersebut tayang perdana di bioskop di seluruh Indonesia pada 4 Agustus 2022.
Sederhananya, dalam konteks film horor, penonton tak lagi cukup diberi sajian adegan kejutan menakutkan (jump scare), monster seram, atau aksi berdarah-darah. Penonton juga dibuat peduli terhadap karakter, tema, dan alur ceritanya.
”Dengan adanya unsur kebaruan tadi, film horor yang kami buat akan bisa terasa segar. Hal seperti itu penting, apalagi mengingat hampir setiap bulan selalu ada judul film horor baru tayang di bioskop,” ujar Tia.
Walakin, karya semacam ini belum banyak dijumpai. Sebagian besar pemilik rumah produksi, penulis skenario, dan sutradara masih berpegang pada formula lama, yaitu memajang perempuan sebagai korban berulang kali, baik saat hidup maupun setelah mati.
Menurut Laura Mulvey dalam buku Visual Pleasure and Narrative Cinema, hal-hal semacam ini tak bisa dilepaskan dari sudut pandang pria atau akrab disebut male gaze. Ini tentu juga berkaitan dengan para pelaku industri film yang didominasi pria sehingga yang muncul adalah perspektif dan pemikiran yang ada di kepala lelaki.
![Salah satu adegan film <i>Siksa Kubur</i>](https://cdn-assetd.kompas.id/R5YNR9n4TBnf4av_YmhWMU32UeM=/1024x428/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F04%2F09%2F165a6903-48aa-4bac-950c-dc1c5f7d518e_jpg.jpg)
Salah satu adegan film Siksa Kubur
Dianggap teror
Dosen luar biasa Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan, Bandung, Annissa Winda Larasati, yang juga menulis Dominasi Hantu Perempuan dalam Film Horor Indonesia bersama rekannya, Justito Adiprasetio, menemukan, ada 338 dari 559 film horor Indonesia periode 1970-2019 yang menghadirkan sosok perempuan sebagai hantu utama. Secara persentase, jumlahnya mencapai 60,47 persen.
Selanjutnya, sosok hantu tersebut akan dilawan karakter protagonis laki-laki dalam wujud pemuka agama. Temuan Annissa dan Justito serupa dengan yang dijumpai Katinka van Heeren dalam buku Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reforms and Ghosts from the Past. Keberadaan tokoh agama melawan hantu perempuan ini mengikuti Pedoman dan Kriteria Penyensoran dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1994.
Pemuka agama dianggap sebagai pengejawantahan pemerintah yang harus dipatuhi demi ketertiban. Di sisi lain, Kode Etik Produksi Film Indonesia saat itu selalu hitam putih, yaitu yang baik selalu menang melawan yang jahat.
Dalam konteks film horor, kejahatan tersebut sering kali datang dari sosok hantu perempuan pendendam, yang oleh tokoh pemuka agama (laki-laki) didisiplinkan dalam bentuk proses pengembalian ke ”alamnya”.
Karakter perempuan kemudian hampir selalu berada di dua sisi koin, yakni sebagai hantu atau korban. Annisa membagi dua jenis korban dalam film-film ini. Pertama, perempuan berkarakter menyimpang dari norma sosial. ”Jadi, penggambarannya wanita yang ’enggak baik-baik’ atau too independent, hobi mabuk/dugem, dan sebagainya sehingga ia pantas untuk ’dimatikan’ dan hanya bisa membalaskan dendamnya ketika ia sudah mati,” kata Annissa.
Kedua, perempuan yang jadi korban tanpa alasan jelas. Namun, kategori ini diakui Annisa jarang ditemukan dibandingkan yang pertama.
Jadi, penggambarannya wanita yang ’enggak baik-baik’ atau ’too independent’, hobi mabuk/dugem, dan sebagainya. sehingga ia pantas untuk ’dimatikan’ dan hanya bisa membalaskan dendamnya ketika ia sudah mati.
Kembali pada kategori pertama, perempuan yang terlalu independen ini memang tak sejalan dengan Orde Baru ketika perempuan selalu diasosiasikan dengan istilah kanca wingking atau teman yang ada di belakang dan tak boleh menonjol dibandingkan pria.
Karena itu, perempuan mandiri menjadi ancaman dan dinilai melanggar norma. Salah satu upaya penertibannya kemudian menggunakan film bergenre horor dengan sosok perempuan yang biasanya tengah pulang malam, kemudian menjadi korban kekerasan seksual, mati, dan menjadi arwah penasaran yang balas dendam.
Ada juga perempuan yang tak mau menurut pada laki-laki sehingga dia kabur melarikan diri. Tetapi, justru lagi-lagi malah bertemu dengan gerombolan laki-laki lain yang menyiksanya. Dalam hal ini, pemerintahan Orde Baru ingin membuat perempuan tak banyak tingkah. Contoh film yang cukup legendaris adalah Si Manis Jembatan Ancol (1993). Film lain tak jauh berbeda seperti Beranak dalam Kubur (1971), Sundel Bolong (1981), Ratu Ilmu Hitam (1981), Malam Satu Suro (1988), hingga Malam Jumat Kliwon (1986).
”Saya melihat bahwa film horor yang merepresentasikan perempuan sebagai monster lebih sebagai sebuah bentuk pendisiplinan dibandingkan sebagai bentuk resistensi. Khususnya dalam film-film horor Indonesia, kalau kamu tidak berlaku sebagaimana mestinya, maka kamu mesti ’dihukum’ dan ’dimatikan’ dan menjadi sumber ketakutan yang menyengsarakan sekitarmu yang hidup,” tutur Annissa.
Baca juga: Tren Film Lebaran, dari Era Drama hingga Dominasi Horor
Selain itu, Annissa berpandangan, horor bertujuan menakut-nakuti atau membuat perasaan tidak nyaman. Umumnya, hal yang membuat tidak nyaman adalah sesuatu yang di luar kebiasaan atau di luar norma.
Seperti diketahui, bahu perempuan selalu memikul banyak norma sosial dalam kehidupan sehari-hari sehingga seolah ada konstruksi moral yang wajib diikuti, padahal tanpa disadari justru merepresi perempuan.
”Karena itu, digambarkan lebih seram karena ia berlaku di luar norma yang sudah ditetapkan. Perempuan pun menjadi source of terror. Ia mampu membunuh dengan sadis, padahal harusnya manut. Padahal, juga sesungguhnya ia seperti itu karena menjadi korban semasa hidupnya,” tutur penulis buku Memaksa Ibu Jadi Hantu: Wacana Maternal Horror dalam Film Indonesia Kontemporer ini.
![Halaman muka buku berjudul <i>Memaksa Ibu Jadi Hantu: Wacana Maternal Horror dalam Film Indonesia Kontemporer</i>](https://cdn-assetd.kompas.id/S8LezHbIeqO8F99ju4WBRugRT3k=/1024x768/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F30%2Fea12c525-318a-4ccb-921e-027d216dd80d_jpg.jpg)
Halaman muka buku berjudul Memaksa Ibu Jadi Hantu: Wacana Maternal Horror dalam Film Indonesia Kontemporer
Pasca-Orde Baru, film horor Indonesia beralih ke arah anak muda dan legenda masyarakat, seperti Jelangkung (2001) dan Tusuk Jelangkung (2003). Kedua film yang menjadi pionir kebangkitan film horor pascakelesuan industri film bioskop sejak pertengahan 1990-an ini sekaligus menawarkan hantu yang bukan perempuan.
Sayangnya, dalam periode yang sama, banyak film horor Indonesia yang kembali menjual ketakutan dan sensualitas perempuan, seperti yang terjadi pada periode 1990-an. Film-film itu antara lain Tali Pocong Perawan (2008), Air Terjun Pengantin (2009), dan Suster Keramas (2009). Mereka jualan obyektifikasi perempuan.
Beberapa tahun belakangan ini, cerita film horor mulai menyentuh doktrin agama dan budaya. Sayangnya, perempuan masih direpresentasikan sebagai korban berulang kali seperti premis film horor di zaman Orde Baru, yakni perempuan yang tak patuh pada ajaran agama atau menentang tradisi budaya akan dihukum.
Ini pekerjaan bersama untuk bagaimana menempatkan perempuan di dalam layar dengan representasi yang benar.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial Tunggal Pawestri yang juga berpengalaman sebagai produser film menyampaikan pentingnya para pembuat film untuk mampu mengubah narasi. Selama ini, film horor Indonesia tidak jauh-jauh dari kisah legenda masyarakat (urban legend).
”Kalau ditelusuri lagi, urban legend yang sudah puluhan tahun itu enggak punya keberpihakan pada perempuan karena memang munculnya, kan, dengan gambaran perempuan saat itu sesuai dengan masanya. Sekarang ini, kan, kesadaran banyak muncul dan sudut pandang juga berubah,” tutur Tunggal.
Meski ia memahami, perubahan itu artinya menggugat kenyamanan dan berpotensi mendapat penolakan. Namun, dalam konteks pemanggungan di layar yang kemudian berdampak pada pola pikir masyarakat, perubahan perspektif ini patut dilakukan.
”Ini pekerjaan bersama untuk bagaimana menempatkan perempuan di dalam layar dengan representasi yang benar,” ujar Tunggal.
Dalam beberapa film horor, sosok perempuan bisa juga dijadikan media untuk merenung, berkontemplasi, dan memikirkan hal-hal substansial. Dalam film Siksa Kubur, misalnya. Dengan kata lain, waktunya menghentikan segala bentuk obyektifikasi perempuan.
![Salah satu adegan film<i> Si Manis Jembatan Ancol</i>](https://cdn-assetd.kompas.id/Axg48UtOoFR6ohrDl5IW3vxRTWU=/1024x563/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F05%2F25%2F303f1df2-e73d-4224-b14f-3bff0eb9153b_png.jpg)
Salah satu adegan film Si Manis Jembatan Ancol
Catatan: Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi dengan peserta magang di harian Kompas, Rilanda Virasma Meiprita, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro, Semarang