Muslihat di Balik Rencana Besar
Kritik sosial politik berlandaskan kejadian nyata dibingkai dalam serial ”Rencana Besar” yang belum lama tayang. Fiksi atau nyata pun seakan tak bersekat.
Pendaftaran calon presiden dan wakilnya untuk dipilih pada 2024 segera dibuka. Setelah itu, guliran kampanye dengan aneka basa-basinya akan berserakan di penjuru negeri. Di sisi lain, persoalan yang mengakar, seperti korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia, hanya disentuh setengah hati. Lawan atau diam?
”Kemanusiaan yang adil bagi koruptor,” teriak Rifad (Adipati Dolken) mengubah salah satu sila dalam Pancasila melalui corong pengeras suara di hadapan para demonstran yang berunjuk rasa di depan Universal Bank of Indonesia (UBI).
Rifad merupakan salah seorang anggota serikat pekerja di UBI yang getol memprotes kebijakan perusahaan yang tidak sesuai dengan aturan dan jauh dari menyejahterakan karyawan. Ia memimpin barisan serikat pekerja setelah tiga pengurusnya mati mengenaskan dalam waktu yang bersamaan, yakni seusai berunjuk rasa menuntut perbaikan kesejahteraan bagi karyawan UBI pada Hari Buruh.
Belakangan ini, serikat pekerja UBI memang getol menuntut kenaikan gaji yang telah lama stagnan. Berita kenaikan upah minimum regional (UMR) yang tidak direspons positif oleh para petinggi bank dan kematian tak wajar pentolan serikat pekerja akibat diracun makin menyulut sumbu para karyawan saat itu.
Secuplik kisah di atas terasa familiar dan dekat dengan keseharian kita. Namun kali ini, itu semua menjadi adegan pembuka sebuah serial bertajuk Rencana Besar yang tayang di Prime Video sejak 5 Oktober 2023. Serial yang berasal dari sebuah novel berjudul sama karangan Tsugaeda ini menjanjikan teka-teki ala detektif dengan premis awal penggelapan dana sebesar Rp 17 miliar di UBI.
”Premis ini tetap dipertahankan. Tapi novel ini, kan, usianya sudah 10 tahun. Jadi, banyak yang harus dikembangkan agar sesuai konteks dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi saat ini. Apalagi ini masuk tahun politik. Itu yang kita rekam dan buatkan struktur baru,” ungkap sutradara Danial Rifki yang ikut menulis skenario serial ini bersama Titien Wattimena ketika dihubungi, Kamis (12/10/2023).
Karena alasan ini pula, sosok Surya Nawasena (Arswendy Bening Swara) yang merupakan Komisaris UBI digambarkan akan maju dalam pemilihan presiden sebagai calon presiden. Hal ini tak muncul dalam novelnya.
Bingkai cerita dan detail peristiwa pun disesuaikan dengan situasi terkini. Salah satunya, insiden penyiraman air keras yang dialami mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan yang diadopsi ke dalam film dengan representasi Makarim Gani (Dwi Sasono), polisi yang gencar menangani kasus korupsi. Kala itu, Makarim berupaya mengungkap sebuah perkara yang mengarah kepada Surya.
Baca juga: Selubung kabut kasus Jessica
Dalam upaya penggelapan dana Rp 17 miliar ini, Makarim juga bakal berurusan dengan Surya lagi yang tersorot dalam serial ini memiliki inisial SN. Dalam kenyataan, inisial SN pernah sangat fenomenal pada suatu masa.
Tak hanya itu, keberadaan akun anonim Tsugaide yang perlahan membongkar borok di UBI hingga kelindan bisnis narkoba juga terinspirasi dari ramai kemunculan peretas Bjorka tahun lalu. Sosok anonim ini digambarkan mengenakan topeng layaknya Guy Fawkes pada V for Vendetta. Namun, pilihan dalam serial menggunakan tokoh pewayangan, Duryodana.
Di balik sosok anonim ini, ada Reza (Chicco Kurniawan), ahli IT di UBI, yang ayahnya dikriminalisasi ketika kondisi perekonomian hancur pada tahun 1998. Akun anonim ini pun mendadak populer karena kerja Amanda Suseno (Hanggini), karyawan pemasaran UBI yang juga merupakan pemengaruh dan memiliki pasukan siber yang aktif meramaikan isu tertentu. Ada kalanya juga isu pesanan. Buzzer (pendengung), katanya.
Sementara itu, konteks 1998 yang juga disinggung di dalam novel dihidupkan lewat Ayumi (Prisia Nasution). Ayumi diceritakan memiliki kakak yang merupakan korban pelanggaran HAM pada tragedi Mei 1998. Ibunda Ayumi pun digambarkan rutin mengikuti aksi kamisan di depan Istana Negara, serupa ingatan yang lekat pada sosok Ibu Sumarsih yang teguh berdiri di setiap Kamis (Kamisan) demi mencari keadilan untuk anaknya yang tewas tertembak di depan Universitas Atmajaya, Jakarta.
Kait-mengait tiap isu yang bertumpuk dalam serial ini pun sebenarnya mirip dengan kondisi riil di Tanah Air yang bermuara pada korupsi dan lobi-lobi elite politik. Posisi rakyat jelas tertindas.
Kita tidak ingin jatuh pada politik praktis. Kita mau tangkap keresahannya, yaitu soal korupsi yang dari dulu sampai sekarang belum selesai
”Kita tidak ingin jatuh pada politik praktis. Kita mau tangkap keresahannya, yaitu soal korupsi yang dari dulu sampai sekarang belum selesai. Sudut pandangnya rakyat. Bagaimana ketika rakyat bisa membalas penguasa atau pejabat yang korup,” ujar Danial.
Hanya saja, serial yang cukup apik dalam menggambarkan suasana melalui color grading dan paduan latar musiknya ini terkesan terburu-buru mengeksekusi setiap episodenya yang berdurasi 38 menit. Sensasi teka-teki detektif yang dijanjikan pun jadi tak terasa dalam keseluruhan enam episodenya meskipun ada pelintiran alur.
Walakin, kehadiran serial ini tetap patut diapresiasi mengingat masih jarang serial yang bermain dengan isu semacam ini dan digarap dengan rapi. Terakhir, tema semacam ini mampir di layar kaca Indonesia pada 2006 lewat serial Dunia Tanpa Koma yang dibintangi Dian Sastro.
Elaborasi
Secara terpisah, pengamat budaya pop Hikmat Darmawan menuturkan, perkembangan tema di serial semacam ini cukup bagus. Namun, ia juga menyayangkan pesan yang ingin disampaikan dari film ataupun serial semacam ini selalu terasa tanggung.
”Kurang menukik kritiknya. Ini untuk semua pelaku industri sinema, masuklah lagi ke masyarakat dan rasakan apa yang menjadi kebuntuan masyarakat. Baru kemudian formulasikan dengan cerita yang memadai,” tutur Hikmat.
Ia tak menutup mata keberadaan film dan serial memang dibuat sebagai hiburan. Namun untuk produk yang sengaja memilih tema berupa kritik semacam ini, ia berharap mampu memilih subyek yang jelas dan mendalaminya secara saksama. Tentu juga dielaborasi agar tidak kehilangan pijakan. ”Jadi, bukan sekadar eskapisme saja,” ujarnya.
Baca juga: Eksil, mereka yang dipaksa terasing
Kondisi semacam ini sebenarnya tak bisa dilepaskan dari dampak sensor muatan kritis yang dialami ketika era Orde Baru. Akibatnya, para sineas pun berhati-hati memasukkan konten kritik yang diinginkan dan hal ini masih terbawa. Ini sejalan dengan apa yang ditulis Ariel Heryanto dalam bukunya bertajuk Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia.
Kembali pada serial Rencana Besar, Danial menyatakan memang tak ingin bermain pada politik praktis. Akan tetapi, kehadiran serial yang merekam satu per satu kisruh di negeri sendiri, yang acap kali tak berakhir dengan solusi ini, tanpa sadar bisa menjadi referensi yang membuka mata jelang kontestasi elektoral. Toh, mengutip kata-kata Rifad, kebenaran tidak akan bisa dibungkam.