Selubung Kabut Kasus Jessica
Film dengan gaya penceritaan dokumenter yang dirilis Netflix ini mengumpulkan rekaman rentetan peristiwa yang berkaitan dengan kasus ini dan menjahitnya dengan wawancara pihak-pihak terkait.
Tujuh tahun sudah kasus Jessica Wongso berlalu bersama segenap kontroversinya. Kini, kasus itu diangkat ke dalam film berjudul Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso. Film dokumenter ini berhasil memantik penonton untuk merenungkan lagi kasus tersebut.
”No money, no justice,” tegas Yudi Wibowo, salah satu kuasa hukum Jessica Wongso, yang juga sepupunya.
Ungkapan itu terlontar dari Yudi yang terbaring sakit di ranjang. Ia mengomentari penegakan hukum di Indonesia yang karut-marut. Ini disampaikannya juga berhubungan dengan pengalamannya mendampingi Jessica yang saat itu merupakan terdakwa kasus kematian Wayan Mirna Salihin akibat kopi yang disebut diberi sianida.
Kasus yang ramai menjadi buah bibir publik negeri ini pada 2016 itu kini kembali diperbincangkan pascapenayangan film bertajuk Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso. Film dengan gaya penceritaan dokumenter yang dirilis Netflix pada 28 September 2023 ini mengumpulkan rekaman rentetan peristiwa yang berkaitan dengan kasus ini dan menjahitnya dengan wawancara pihak-pihak terkait.
Salah satunya adalah Yudi dan Otto Hasibuan yang tampil dalam film dokumenter itu sebagai perwakilan kuasa hukum Jessica. Dari sisi Mirna, ada ayahnya, Darmawan Salihin, dan saudara kembarnya, Sandy Salihin. Kemudian, ada pihak dari Olivier, restoran tempat Mirna meminum kopi yang berujung kematian.
Tak ketinggalan para ahli yang sempat bersaksi di persidangan, jurnalis yang meliput, pengamat hukum, psikolog, dan masyarakat yang berspekulasi. Selain itu, sudah pasti jajaran jaksa yang melakukan penuntutan.
Kekurangan film ini adalah tak berhasil menghadirkan beberapa sosok penting dalam alur kasus Jessica, seperti Hani dan Arief, suami Mirna. Selain itu, polisi yang menangani kasus ini juga tak dapat dimunculkan.
Pembuat film berusaha menghadirkan Jessica dalam dokumenter ini. Namun, belum lama Jessica diwawancara dan berupaya menjelaskan kasusnya, pihak lembaga pemasyarakatan menghentikannya. Akhirnya, tim pembuat film hanya mengacu pada buku harian Jessica.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham Rika Aprianti, yang dikonfirmasi seusai film itu tayang, hanya menyampaikan, liputan yang tidak terkait pembinaan seperti dalam permenkumham tidak diberikan izin.
Dalam film, tim Netflix mengungkapkan kekecewaannya dan membandingkan dengan terpidana kasus lain, antara lain teroris Imam Samudra yang bisa diwawancarai oleh media terkait kasusnya.
Sesungguhnya, tak ada yang benar-benar baru dalam film dokumenter yang disutradarai Rob Sixsmith ini. Namun, Sixsmith cukup lihai dalam memberi perspektif yang memantik wacana dalam berbagai sisi atas kasus ini.
”Kasus ini memang menarik. Kami tergerak untuk membuat dokumenter ini mengingat saat itu, pemberitaannya juga tak hanya di Indonesia. The Mail, The Sun, dan media di Australia memberitakannya. Harapannya, masyarakat mendapat sudut pandang berbeda,” ujar Sixsmith.
Dalam film itu digambarkan bagaimana banyak pihak melihat sejumlah kejanggalan sejak awal kasus dibuka dan Jessica dinyatakan sebagai tersangka. Persidangan yang melelahkan pun membuka banyak hal, antara lain yang sangat penting adalah tidak ada bukti yang terang tentang Jessica meracuni kopi Mirna dengan sianida.
Polisi dan jaksa berpegang pada circumstantial evidence atau bukti tak langsung, seperti keberadaan Jessica dan gerak-geriknya dianggap cukup, lalu disandingkan dengan keterangan saksi.
Selain itu, ada beberapa lubang lain dalam kasus ini, antara lain tidak adanya otopsi, kandungan sianida yang baru muncul dalam sampel di hari ketiga pascakematian Mirna dengan kadar 0,2 mg, hingga pendeportasian saksi ahli toksikologi Beng Beng Ong yang dihadirkan pihak Jessica.
”Kami harus melakukan sesuatu. Sampai akhirnya kami pun melakukan plot twist. Kami laporkan ahli tersebut dengan pelanggaran imigrasi,” ujar Jaksa Sandhy Handika dalam film itu. Diceritakan, sebelumnya Sandhy bersama tim penuntut umum melakukan riset terlebih dulu atas temuan Beng yang menyebutkan kematian Mirna bukan karena sianida.
Sandhy pun dengan terang menyatakan, pihaknya harus menang dalam kasus ini karena berkaitan dengan reputasi institusinya. Hal ini serupa dengan yang dilakukan kepolisian ketika proses penyelidikan dan penyidikan, di mana Jessica konon dipaksa mengaku sebagai pelaku karena keberhasilan bagi polisi adalah bisa menghadirkan pelaku, entah tepat atau tidak prosesnya.
Hal seperti ini sebenarnya tidak hanya muncul dalam kasus Jessica. Dari data Kontras periode 2019-2022, tercatat 27 dugaan rekayasa kasus yang dilakukan Polri. Bentuk rekayasanya berupa tindakan salah tangkap dan kekerasan dalam upaya mendapatkan pengakuan tersangka.
Media dan warganet
Di sisi lain, sidang tak hanya berjalan di pengadilan. Awak media yang semestinya berbasis data dan fakta banyak yang terjebak membuat berita sensasional dengan sumber sepihak. Akibatnya, khalayak pun seolah disetir untuk terpolarisasi. Bukan semata kasusnya, tapi bahkan mengarah pada pelecehan fisik.
”Mirna, kan, cantik, jadi banyak yang mendukung. Jessica, lihat itu wajahnya saja aneh,” ujar ayah Mirna berapi-api dalam film itu.
Ditambah lagi, ada teori seorang ahli di persidangan yang menegaskan raut wajah orang bisa menentukan sifat dan sikap seseorang. Sebagian besar media menggoreng habis-habisan isu ini. Selain itu, warga makin gencar menghakimi melalui media sosial.
Di sisi lain, dorongan dari warganet dan media kadang diperlukan untuk membongkar perkara selama berbasis data dan fakta, bukan asumsi. Masalahnya, mana yang fakta dan asumsi, bahkan fantasi, telanjur bercampur baur.
”Membunuh tanpa bukti, 20 tahun penjara. Itulah saya, saya bisa meyakinkan jaksa dan hakim. Saya menang,” ujar ayah Mirna yang juga sempat berkata di makam Mirna bahwa dirinya telah mengeluarkan uang untuk perkara ini.
Psikolog forensik Reza Indragiri, yang kerap memberikan pendapat ketika kasus bergulir, pun mengaku sempat diberi uang terkait kasus itu, yang kemudian diserahkannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Ungkapan no money, no justice pun benar terasa.
Kasus Jessica sudah mencapai tahap terakhir ketika upaya peninjauan kembalinya ditolak Mahkamah Agung pada 2018. Keberadaan film ini sebatas membuka ingatan kita tentang tebalnya selubung kabut dalam kasus Jessica. Mana yang benar? Si pembuat film menyerahkan kepada penonton untuk membuat kesimpulan sendiri.