Eksil, Mereka yang Dipaksa Terasing
Ini tentang mereka yang dibuang rezim, tak diakui negara, dan berkelana mencari suaka. Meski begitu, cinta mereka kepada Indonesia selalu menyala.
Kuburan kami terdampar di mana-mana/kuburan kami ada yang berbatu nisan/ada yang tanpa batu pengenal/ada pula yang hilang lenyap ditelan hujan/semua ini wajah negeri Indonesia//
Sepenggal puisi dalam buku Kumpulan Puisi Mawar Merah (2008) milik Chalik Hamid, eksil yang berada di Belanda, membuka film Eksil dan menjadi pengantar menuju kisah yang menggetarkan hati. Ini tentang mereka yang dibuang rezim, tak diakui negara, dan berkelana mencari suaka. Meski begitu, cinta mereka kepada Indonesia selalu menyala.
Kini, para eksil yang semula merupakan mahasiswa yang dikirim untuk memperdalam ilmunya oleh pemerintahan orde Lama telah menua. Bahkan, banyak dari mereka telah berpulang, seperti Chalik yang meninggal tahun lalu. Lebih dari setengah masa kehidupannya dihabiskan memperjuangkan keadilan, kepastian, dan kebenaran fakta yang nyatanya tak kunjung ada titik terang.
Lola Amaria, sutradara dari film Eksil, tergerak mengabadikan babakan hidup mereka dalam gaya penceritaan dokumenter yang diharapkan dapat membuka mata khalayak dalam memandang peristiwa 1965. ”Generasi saya ke bawah diperlihatkan yang terjadi ketika 1965 itu hanya satu sisi, padahal tidak demikian,” tutur Lola seusai pemutaran Eksil di kawasan Menteng, Jakarta, Senin (25/9/2023).
Apa yang disampaikan Lola benar adanya. Generasi yang tumbuh di era Orde Baru, bahkan bisa jadi pasca-Reformasi pun, terbatas mengenal peristiwa 1965. Informasi yang diterima berupa adanya penculikan dan pembunuhan para jenderal yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selanjutnya, informasi itu kian dibumbui melalui film Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI (1984) yang diputar tiap 30 September. Film propaganda rezim itu pernah diwajibkan ditonton anak-anak sekolah sebelum Reformasi. Belakangan, runtuhnya Orde Baru menguak informasi yang bertolak belakang berisi fakta yang selama ini dibungkus rapat.
Kenyataannya peristiwa 1965 berbuntut tragedi kemanusiaan. Ribuan orang dihabisi nyawanya dengan keji berdalih memberantas PKI berlandaskan slogan Ganyang PKI yang masih coba dihidupkan lagi di era ini. Ribuan lainnya hingga kini berada di luar negeri karena pernah dilarang kembali.
Dalam Eksil, Lola memotret kehidupan eksil yang bersedia diambil gambar dan bercerita. Semula, riset dan wawancara dilakukan terhadap 20 orang sejak 2013-2014, tapi yang mau untuk masuk ke dalam film hanya 10 orang. Memang tidak mudah untuk mendekati mereka, apalagi meminta bercerita di depan kamera. Kecurigaan akibat trauma panjang yang dialami terus berdampak.
”Saat saya dan tim menjelaskan pun, mereka tetap bertanya ini siapa di baliknya? Kamu dibiayai siapa? Ini untuk apa? Banyak pertanyaan,” ungkap Lola.
Pada 2015, salah satu dari 10 orang yang bersedia, yakni Sardjio Mintardjo, meninggal. Hal ini mendorong Lola untuk segera merampungkan pengambilan gambar pada tahun yang sama. Hanya saja, pengolahannya tak mudah karena banyak data yang perlu dilengkapi. Pada 2020, pandemi memberi keleluasaan Lola untuk menyelesaikan semuanya.
Sayangnya, sebelum film ini tayang perdana pada akhir 2022 di Jogja-NETPAC Asian Film Festival, tiga orang eksil yang ada di dalam film berpulang, yakni Kuslan Budiman, Asahan Aidit, dan Chalik.
Hilang kewarganegaraan
Hartoni Ubes yang kini tinggal di Ceko muncul pertama. Ia diberangkatkan untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri pada 1962. Saat itu, semua berjalan baik-baik saja hingga pecah peristiwa 1965. Kehidupan Hartoni dan teman-temannya mendadak berubah.
Bukan tanpa sebab, I Gede Arka, salah seorang eksil, mengungkapkan, pada 1966 para mahasiswa Indonesia ini dipanggil ke Kedutaan Besar Indonesia. Saat itu, ia disodorkan surat perjanjian untuk ditandatangani. Dalam surat itu, ada dua hal yang harus disetujui, yakni mengutuk pembunuhan terhadap tujuh jenderal dan mengutuk pemerintahan Soekarno.
”Mengutuk pembunuhan tujuh jenderal, kami setuju. Namun, saat mengutuk pemerintahan Soekarno, kami tidak mau. Untuk apa juga, kan? Di situ perpanjangan paspor kami ditolak. Saat itu, hubungan kami juga putus dengan keluarga,” papar Arka yang tinggal di Belanda sejak keluar dari Moskwa setelah paspornya dicabut.
Mereka pun tak punya kewarganegaraan selama lebih dari 30 tahun. ”Selama 34 tahun tanpa kewarganegaraan. Saya tidak menyangka Soeharto itu sampai 32 tahun. Saya berpikir, ya, paling 10 atau 12 tahun. Lha, mana ada pemimpin sampai 32 tahun. Saya juga tidak berkeluarga karena saya yakin saya bisa pulang ke Indonesia,” tutur Kuslan Budiman yang kini telah berpulang.
Berpuluh tahun menanti tanpa kepastian, mereka mau tidak mau memutuskan untuk menjadi warga negara di tempat yang mereka tinggali saat ini. Keputusan yang tak mudah karena mereka masih begitu mencintai Indonesia dan masih ingin menjadi warga negara Indonesia. Bagi mereka, status itu pun hanya selembar kertas untuk keperluan administrasi, hati mereka tetap Indonesia.
”Kami, kan, dipaksa sebagai orang yang tidak diakui,” ujar Asahan Aidit, adik bungsu dari DN Aidit, Ketua Umum PKI kala itu.
Harapan sempat muncul saat Abdurrachman Wahid menjadi Presiden. Gus Dur berkeinginan mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 untuk menghapus diskriminasi terhadap keturunan bekas anggota PKI dan yang terafiliasi.
Sebab, bagi Gus Dur, tindakan diskriminasi itu melanggar konstitusi mengingat semua orang punya hak yang sama sebagai warga negara. Ia pun berkomitmen menuntaskan persoalan para eksil. Namun, semua itu urung terwujud. Gus Dur kadung diminta mundur sebagai presiden.
Pupus sudah harapan. Reformasi dan ambruknya rezim Orde Baru sempat memantikkan asa, tetapi segera padam kembali. ”Orde baru masih ada sampai sekarang. Jasnya aja yang beda, dalamnya tetap sama,” ungkap Kartaprawira yang meninggalkan anak dan istrinya di Soviet ketika memutuskan pindah ke Belanda dan tak bisa menghadiri pemakaman kedua orangtuanya karena tak punya paspor.
Dalam sepi dan kembali kecewa, para eksil ini tetap setia memantau perkembangan yang ada di Indonesia. Bahkan, Sarmadji, eksil yang tinggal di Belanda, mendokumentasikan lewat kliping aneka pemberitaan di Indonesia dan menyimpan banyak buku. Sebagian besar berkaitan dengan persoalan yang membelitnya dan bahasan 1965.
”Kalau kata Pram (Pramoedya Ananta Toer), menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan,” ujarnya.
Lekatnya pantauan terhadap kabar dari Indonesia ini pula yang membuat Chalik mengetahui keluarganya di Rantau Parapat sebagian telah dibantai secara massal pada 1966-1967. Istrinya bersama anak Chalik yang masih bayi dijebloskan ke penjara. ”Pikiran saya tetap ke Indonesia,” kata Chalik.
Meski keputusan mereka untuk memiliki kewarganegaraan ini membuat mereka bisa kembali ke Tanah Air, seperti Waruno Mahdi yang bisa menghadiri pemakaman orangtuanya, sebagian masih mengalami intimidasi. Hal ini sempat dialami Asahan dan Tom Iljas. Bahkan, intimidasi yang dialami Tom yang kini tinggal di Swedia terjadi pada 2015 saat dirinya pulang kampung ke Sumatera Barat. Tom dideportasi kemudian, tanpa ada alasan.
Pelurusan sejarah
Selain kisah para eksil, Lola menjahitnya dengan memberikan fakta mengenai PKI yang bisa jadi tak banyak orang tahu. Salah satunya, PKI merupakan partai besar yang meraup banyak suara ketika Pemilu 1955. Dukungan yang besar datang dari kaum buruh dan petani yang menyandarkan harapan untuk kesejahteraannya. Jangan bayangkan partai zaman itu seperti partai masa kini yang minim pemikiran.
Namun, setelah propaganda yang disebar Orde Baru, PKI disebut-sebut sebagai partai anti-Tuhan yang ingin mengubah ideologi Pancasila. ”Dibilang tidak bertuhan. Saya benar bingung. Waktu itu, kami melihat tujuannya itu memang untuk menyejahterakan masyarakat. Kok, tidak bertuhan. Siapa yang tidak bertuhan, ya, mereka sendiri. Membunuh orang, bahkan sekarang ada Menteri Agama nyatut orang mau naik haji. Bertuhan itu harusnya enggak korupsi,” tutur Sarmadji.
Mengutip wawancara DN Aidit dengan Majalah Pembina pada 1964, Aidit juga menjelaskan PKI menerima Pancasila sebagai keseluruhan dan menentang pemretelan Pancasila. Ia juga mengatakan, dengan menerima sila Ketuhanan, berarti di Indonesia tidak boleh ada propaganda anti-agama, tetapi juga tidak boleh ada paksaan beragama. Hasil wawancara ini merupakan koleksi Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang ada di Arsip Nasional Republik Indonesia dan terbuka untuk publik.
Direktur Amnesty International Usman Hamid yang turut hadir dalam pemutaran film ini menyampaikan, perlu adanya upaya pelurusan sejarah, selain pengungkapan dan upaya permintaan maaf terhadap para korban dan keturunannya. Gagasan pelurusan sejarah ini semula masuk juga dalam rekomendasi tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM).
Walakin, saat diejawantahkan dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, upaya pelurusan sejarah ini tak dimasukkan. Padahal, upaya ini menjadi penting karena bisa sedikit mengangkat beban generasi selanjutnya.
Akademisi, Sulistyowati Irianto, juga menyayangkan hal ini. Sebab, keakuratan sejarah sangat diperlukan. ”Jangan sampai anak muda itu berpijak pada sejarah yang salah,” ucapnya.
Ya, generasi muda perlu paham mengenai sejarah. Lola berharap film ini segera bisa masuk bioskop. Tak tertutup kemungkinan juga untuk memutar di sekolah atau kampus sehingga bisa menjadi salah satu langkah koreksi sejarah.
Sudah waktunya sejarah ditulis dengan tepat. Berhenti mewariskan trauma kepada generasi yang tidak mengalaminya.