Hollywood menghadapi tantangan kompleks dalam merepresentasikan kesehatan mental dalam film. Kondisi ini belum berubah sampai sekarang
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Kisah tentang kesehatan mental semakin banyak malang melintang dalam cerita di film-film. Namun, film-film Hollywood sekarang masih memiliki pekerjaan rumah dalam merepresentasikan topik tersebut dengan tepat di depan layar. Sinema berperan krusial membentuk persepsi tentang kesehatan mental.
Penggambaran kesehatan mental sudah bukan hal asing dalam sinema. Siapa yang masih ingat Good Will Hunting (1997)? Ini adalah salah satu film klasik tentang kesehatan mental mengenai satu lelaki jenius yang mengidap gangguan kelekatan (attachment disorder). Good Will Hunting berhasil mendapat sembilan nominasi dalam Academy Awards dan membawa pulang dua Piala Oscar pada 1998.
Sudah banyak film menarik dengan fokus pada tema serupa telah dibuat, sebutlah Girl, Interrupted (1999), A Beautiful Mind (2001), Black Swan (2010), dan The Perks of Being a Wallflower (2012). Film-film jadul ini menyajikan perspektif para tokoh dengan gangguan mental sehingga penonton bisa jadi lebih mengerti tentang kondisi mereka.
Dalam buku Movies and Mental Illness (2014), Danny Wedding menyebutkan, film sangat penting dalam memengaruhi persepsi publik tentang penyakit mental karena banyak orang yang relatif kurang informasi tentang isu ini. Media cenderung sangat efektif membentuk opini dalam situasi di mana opini yang kuat belum tersedia.
”Meskipun beberapa film menampilkan penggambaran simpatik dari orang-orang dengan penyakit mental dan para profesional yang bekerja di bidang kesehatan mental, banyak yang juga yang sebaliknya. Individu dengan penyakit mental sering digambarkan sebagai agresif, berbahaya, dan tidak dapat diprediksi,” tulis Wedding.
Bagaimana sinema merepresentasikan kesehatan mental belakangan ini? Annenberg Inclusion Initiative pada 3 Mei 2022, merilis studi bertajuk ”Mental Health Conditions Across 200 Popular Films”. Studi ini mengkaji prevalensi dan penggambaran kesehatan mental dalam 100 film terlaris pada 2019. Hasil temuan ini juga dibandingkan dengan 100 film populer pada 2016.
Studi itu menemukan, sebesar 1,5 persen dari 4.502 karakter atau hanya 68 karakter dalam film pada 2019 digambarkan memiliki kondisi kesehatan mental. Tidak jauh berbeda dengan film-film pada 2016 yang sebesar 1,7 persen. Padahal, riset National Comorbidity Survey menemukan, 21 persen orang dewasa di Amerika Serikat mengidap penyakit mental.
”Cerita dapat memberikan jendela ke dunia dan pengalaman yang berbeda, tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesehatan mental jarang menjadi titik fokus dalam film populer,” ujar Stacy L Smith, pendiri Annenberg Inclusion Initiative.
Smith melanjutkan, dengan meningkatnya kebutuhan akan perawatan kesehatan mental dan kepedulian tentang kesejahteraan, penutur cerita dan para kreator sedang kehilangan peluang penting untuk mendidik penonton.
Studi tersebut juga menguak fakta, sebanyak 55 persen film pada 2019 tidak menampilkan satu pun karakter dengan kondisi kesehatan mental. Sebagai perbandingan, jumlah film yang tidak menampilkan setidaknya satu karakter dengan kondisi kesehatan mental sebanyak 52 persen pada 2016.
Temuan lain ialah ada tujuh kondisi kesehatan mental yang terlihat di seluruh sampel. Ketujuhnya adalah kecanduan, kecemasan atau gangguan stres pascatrauma, depresi atau gangguan suasana hati, bunuh diri, gangguan dalam berpikir, gangguan kognitif, dan gangguan obsesif kompulsif.
Karakter dengan kecanduan terhadap obat-obatan atau alkohol, misalnya, bisa terlihat pada film Hustlers, Rocketman, Ready or Not, dan Judy. Sementara itu, film Joker menampilkan Arthur Fleck yang depresi dan kesepian serta Glass (film ketiga dari trilogi Unbreakable) menunjukkan Kevin Wendell Crumb mengalami gangguan kepribadian ganda.
Berkonotasi negatif
Hollywood sudah lama memiliki persoalan kompleks dalam merepresentasikan kesehatan mental di sinema dengan tepat. Banyak karakter dengan kondisi kesehatan mental memiliki konotasi negatif. Mereka identik dengan kekerasan, mendapat panggilan yang merendahkan, atau berada dalam situasi yang membuat kondisi mereka sebagai bahan lelucon.
Jika ditarik jauh ke belakang, Psycho (1960) karya Alfred Hitchcock merupakan contoh dari miskonsepsi tersebut. Sebagai film horor terbaik pada masanya, Hitchcock seolah menunjukkan bahwa karakter yang menderita gangguan kepribadian ganda adalah pembunuh psikopat.
Hasil studi Annenberg Inclusion Initiative kembali mengonfirmasi kecenderungan tersebut. Dalam beberapa kasus, karakter dengan kondisi kesehatan mental dikaitkan dengan kekerasan. Sebesar 63,4 persen karakter dengan kondisi kesehatan mental adalah pelaku kekerasan, meningkat signifikan dari tahun 2016 yang sebesar 46 persen.
Kemudian, sebanyak 45,1 persen karakter dengan kondisi kesehatan mental mengalami cemooh, khususnya tentang kesehatan mental mereka. Mereka, antara lain, disebut sebagai gila, orang aneh, idiot, psikopat, sakit, lemah, bodoh, dan orang yang butuh rehabilitasi.
Sebanyak 43,7 persen karakter menjadi objek lelucon terkait kesehatan mental mereka, meningkat dari tahun 2016 yang sebesar 22 persen. Humor bisa datang dari dialog atau dengan menciptakan situasi yang membuat penonton merasa lucu.
”Perpaduan faktor kontekstual ini berarti saat kesehatan mental disajikan dalam film, sering mendapat stigmatisasi atau direndahkan. Untuk penonton, penggambaran kesehatan mental itu kemungkinan dapat meningkatkan efek negatif di dunia nyata,” kata Smith.
Bahaya stigma
Christine Yu Moutier, Kepala Petugas Medis American Foundation for Suicide Prevention, mengingatkan, penggambaran kesehatan mental dalam film berperan penting terutama di masa krisis kesehatan mental global. American Foundation for Suicide Prevention turut mendukung studi Annenberg Inclusion Initiative.
Cerita dapat memberikan jendela ke dunia dan pengalaman yang berbeda, tetapi hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesehatan mental jarang menjadi titik fokus dalam film populer. (Stacy L Smith)
”Penggambaran (dalam film) tak hanya dapat menghilangkan stigma dan menghentikan kiasan berbahaya tentang orang dengan kondisi kesehatan mental, tetapi juga berpotensi memperdalam literasi kesehatan mental dan menginspirasi harapan,” tutur Moutier.
Kritik terhadap stigma yang muncul akibat penggambaran yang dangkal dalam film pernah terjadi setelah peluncuran film Split (2016), umpamanya. Split (film kedua trilogi Unbreakable) mengisahkan tokoh Kevin Wendell Crumb yang memiliki 24 kepribadian, tetapi menculik dan menyiksa tiga gadis.
Psikiater di Icahn School of Medicine, Garrett Marie Deckel, menyebutkan, orang dengan gangguan kepribadian ganda jarang melakukan kekerasan. Penelitian telah menunjukkan, mereka jauh lebih mungkin untuk menyakiti diri sendiri daripada menyakiti orang lain.
Namun, lanjutnya, film cenderung hanya menggambarkan aspek paling ekstrim dari gangguan tersebut. ”Ini bisa salah menggambarkan bentuk penyakit mental yang tidak dipahami dengan baik oleh masyarakat awam, dan bahkan beberapa psikiater,” kata Deckel pada 2017.
David Roe, Hector Tsang, dan Patrick W Corrigan dalam buku Challenging the Stigma of Mental Illness (2011) menulis, stigma dan upaya menghindari stigma menjadi salah satu faktor mengapa banyak orang dengan masalah mental enggan mencari bantuan. Padahal, banyak orang di luar sana yang membutuhkan pertolongan.
Sudah saatnya sinema kembali berbenah bagaimana mereka merepresentasikan kesehatan mental kepada penonton. (BBC/CNN)