Serangan Zombi di Sinema Korea
Beberapa tahun terakhir, sinema Korea Selatan berhasil membuat formula zombi yang bisa membuat seluruh dunia terpikat. Film atau serial seperti ”Train to Busan”, ”Kingdom”, dan ”All of Us Are Dead” sukses besar di pasar.

Cuplikan adegan dalam serial All of Us Are Dead yang bercerita tentang penyebaran zombi di sekolah di Korea Selatan. Serial ini tayang di Netflix sejak Januari 2022.
Zombi tanpa henti menyerang layar lebar dan televisi Korea Selatan. ”Negeri Ginseng” ini berhasil meramu formula yang mendorong glokalisasi zombi yang lebih berciri khas Korea. Bagaimana caranya?
Ingin menonton film atau serial zombi berlatar zaman kerajaan atau modern? Ada. Zombi di zaman pasca-apokaliptik? Ada. Bagaimana dengan film atau serial zombi yang merebak di apartemen, kereta, hingga sekolah? Semua ada.
Cerita zombi tercatat konsisten membanjiri sinema Korea selama enam tahun belakangan. SebutlahTrain to Busan (2016), Rampant (2018), Kingdom (2019), Peninsula (2020), #Alive (2020), hingga Happiness (2021). Pada Januari lalu, giliran All of Us Are Dead (2022), sebuah serial tentang zombi di sekolah, masuk daftar panjang tersebut.
Zombi awalnya bukan tema populer untuk film dan serial Korea. Sama seperti di belahan bumi lainnya, penggemar horor di sana lebih tertarik pada kisah hantu atau kerasukan setan. Namun, preferensi itu berubah setelah kesuksesan Train to Busan karya Yeon Sang-ho.
Fenomena meledaknya produksi film atau serial zombi Korea itu terjadi berkat penafsiran ulang zombi agar cocok untuk penonton lokal. Pada umumnya, film zombi Barat lebih fokus pada kelangsungan hidup atau aksi melawan mayat hidup. Tren itu terlihat dari waralaba Resident Evil, I Am Legend (2007), World War Z (2013), dan Army of the Dead (2021).
Sementara itu, cerita film atau serial Korea bereksplorasi dari berbagai perspektif. Tak melulu soal aksi bertahan hidup, para pembuat film juga menggali soal kisah kemunculan zombi yang mana sebagian besar berasal dari dosa manusia, misalnya ketamakan dan penyalahgunaan iptek. Nilai kemanusiaan kembali diangkat dalam diskusi.
Sineas Korea juga membalut cerita zombi dengan isu politik, sosial, dan ekonomi di sekitar agar semakin relevan. Jika Kingdom dan Rampant seru karena intrik politik kerajaan era Joseon, #Alive menyoroti adiksi muda-mudi Korea pada teknologi digital. Begitu pula dengan All of Us Are Dead yang menyentil isu perundungan sekolah.

Suasana proses shooting film zombi Army of the Dead (2021) garapan sutradara Zack Snyder. Film ini tayang di Netflix sejak Mei 2021.
Para karakter utama dalam cerita pun tidak selalu digambarkan sebagai sosok jagoan yang pasti selamat. Ini tentu semakin meningkatkan rasa empati penonton karena film jadi terkesan masuk akal dan nyata. All of Us Are Dead adalah salah satu bukti sukses penggunaan strategi ini.
”Selain horor, keanehan, dan kecepatan, serial ini juga mencoba untuk fokus menghadirkan kesedihan dan duka menyaksikan teman sekelas tercinta mereka berubah menjadi zombi,” kata Gook Joong-yi, koreografer untuk All of Us Are Dead yang tayang di Netflix.
Transformasi modern
Dalam buku The Zombie Renaissance in Popular Culture (2015), zombi lahir dari kepercayaan voodoo dan sihir diaspora Afrika Barat yang menjadi budak di Haiti sejak abad ke-17. Mayat dihidupkan kembali dan dikendalikan bokor atau penyihir guna bertugas sebagai budak, seperti yang terlihat dalam film White Zombie (1932) dan I Walked with a Zombie (1943).
Zombi lalu bertransformasi menjadi tokoh horor berbahaya di Hollywood, seperti dalam Night of the Living Dead (1968) karya George A Romero. Berbeda dengan citra awalnya, zombi di Hollywood dan sekarang Korea adalah mayat kanibal yang aktif memburu manusia, mengisap darah, dan memakan daging. Mereka menjadi monster tanpa kesadaran diri.
Sama seperti Hollywood, zombi dalam sinema Korea muncul dan menyebar dari penyebab berbasis ilmiah. Contohnya adalah gelombang radio (A Monstrous Corpse, 1981), cacing parasit di tanaman (Kingdom), dan obat Covid-19 yang gagal (Happiness).
Akan tetapi, sineas Korea memiliki strategi khusus untuk membuat zombi mereka berbeda dari Barat. Salah satunya adalah lewat koreografi yang memukau. Zombi Korea memiliki gerakan tidak lazim karena tidak mengikuti irama dan pola gerakan manusia normal. Sendi mereka kaku, tetapi gerakannya cepat dan cenderung akrobatik.
Direktur gerakan Train to Busan, Jeon Young, menjelaskan, ide gerakan zombi dalam film ini berasal dari perilaku hewan rabies dan gerakan humanoid dalam Ghost in the Shell 2: Innocence (2004). Dari riset itu, Jeon memadukannya dengan pengetahuannya sebagai koreografer, khususnya gaya bone-breaking dari tarian jalanan flexing.
”Gerakan dari flexing membantu menciptakan transformasi zombi yang memukau dengan gerakan memutar otot dan mematahkan tulang,” kata Jeon yang juga menjadi koreografer di film zombi Korea lainnya.

Kingdom: Ashin of the North
Menurut Jeon, riset mengenai gerakan zombi dalam sinema Korea terus berkembang setelah Train to Busan. Gerakan zombi kini juga terinspirasi dari sumber lain, misalnya aksi robot, berjalan sambil tidur, dan dehidrasi.
Sineas Korea turut menambah elemen baru pada transformasi zombi modern. Dalam Happiness dan All of Us Are Dead, misalnya, tidak semua manusia langsung berubah menjadi zombi setelah digigit. Beberapa bisa beraktivitas biasa walau terinfeksi, seperti kasus positif Covid-19 pada orang tanpa gejala di dunia nyata.
Simbol penyiksaan
Zombi mempresentasikan banyak hal. Dulu, zombi merupakan simbol penyiksaan yang dialami budak di Haiti, bahkan setelah mereka mati. Sementara itu, zombi dalam budaya populer menjadi alat untuk meromantisasi fantasi eskapisme tentang akhir dunia.
Di era modern, zombi secara tersirat mewakili kegelisahan masyarakat. Film zombi bisa mengandung ketakutan soal kapitalisme, konsumerisme, manajemen krisis, kemampuan pemerintah, masyarakat yang kompetitif, ketimpangan kelas, dan pandemi. Namun, ada kalanya zombi hanya digunakan sebagai hiburan.
Popularitas zombi telah bersanding dengan tokoh horor ikonik lain dari Eropa, misalnya Monster Frankenstein, manusia serigala, dan vampir. Seiring berjalannya waktu, zombi tak lagi identik dengan kelompok ras atau etnis tertentu sehingga berkembang sebagai tokoh horor global.
Dari kacamata bisnis, zombi sebagai tokoh global bisa diterima semua khalayak. Sebagai contoh, All of Use Are Dead menjadi program televisi bukan bahasa Inggris ketiga yang paling banyak ditonton di Netflix dalam 28 hari pertama dengan total 560,78 juta jam streaming setelah Squid Games (2021) dan Money Heist: Part 4 (2020).

Cuplikan adegan dalam serial All of Us Are Dead yang bercerita tentang penyebaran zombi di sekolah di Korea Selatan. Serial ini tayang di Netflix sejak Januari 2022.
Bagaimana dengan Indonesia? Film atau serial dengan tema zombi bisa dihitung jari, antara lain Kampung Zombie (2015), Reuni Z (2018), dan Hitam (2021).
Baca juga: Kerasnya Jakarta di Mata Perantau
Dosen Jurusan Film School of Design Binus University, Ekky Imanjaya, mengatakan, penonton Indonesia menikmati film zombi dari luar negeri. Namun, produksi film zombi domestik masih terbatas, salah satunya karena animo penonton yang kurang.
”Itu berkaitan dengan budaya Indonesia sehingga film horor Indonesia lebih ke mistik supernatural. Sementara zombi itu banyak nuansa science fiction walau ada unsur horornya. Genre ini tidak berkembang di Indonesia,” tutur Ekky lewat telepon, di Jakarta, Jumat (15/4/2022).
Lebih lanjut Ekky menjelaskan, Indonesia sebenarnya sudah mempunyai zombi lokal, seperti pocong yang adalah mayat hidup dan bisa dipanggil dengan mantra. Pocong dapat menjadi subgenre dari zombi meski memang tidak memenuhi pakem zombi Barat yang memiliki fenomena penjangkitan atau antivirus.(The Korea Herald/The Atlantic)