”Jakarta vs Everybody” turut menyoroti mosaik kehidupan yang mencakup urbanisasi, kemiskinan, seksualitas, kelangsungan hidup, dan pencarian jati diri. Film ini bercerita dengan apa adanya.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
ARSIP BIOSKOP ONLINE
Salah satu cuplikan adegan dalam film Jakarta vs Everybody. Disutradarai oleh Ertanto Robby Soediskam, film ini mengisahkan perjalanan Dom yang merantau ke Jakarta untuk menjadi aktor, tetapi impian ini harus berubah menjadi pengedar narkoba. Film ini dibintangi oleh Jefri Nichol, Wulan Guritno, Ganindra Bimo, dan Dea Panendra.
Dengan gelar ibu kota negara, romantisisme Jakarta sebagai kota sejuta peluang seolah tak kunjung pudar. Namun, tak bisa dimungkiri ada kenyataan pahit yang harus ditelan perantau. Jakarta memang milik semua, tetapi bukan untuk semua.
Langkah pasti membawa Dom ke dalam bandara. Ia berhasil melewati petugas keamanan dengan mudah. Setelah mengambil tas dari mesin X-Ray, pemuda segera duduk. Bibirnya terkatup rapat, tetapi bola matanya berkelana kesana kemari.
Tak lama tangan kanannya sibuk menanggalkan plester luka di tangan kirinya. Pelan-pelan Dom menempelkan plester itu di kursi yang didudukinya. Plester luka ini telah ditempelkan plastik berisi bungkusan serbuk putih terkutuk itu. Wajahnya semakin terlihat tegang.
Sisi gelap Jakarta kembali tersorot dalam Jakarta vs Everybody (2022). Sebuah karya dari sutradara Ertanto Robby Soediskam, film ini mengisahkan petualangan perantau, Dom (diperankan Jefri Nichol), di ibu kota. Pemuda ini bercita-cita menjadi aktor sukses, tetapi mendapati realitas tak mengenakkan.
Dom berakhir sebagai pengedar narkoba setelah bertemu Pinkan (Wulan Guritno) dan Radit (Ganindra Bimo). Niat Dom untuk menggapai impiannya bergolak seusai bertemu Khansa (Dea Panendra), seorang perias mayat.
”Jakarta vs Everybody sebenarnya cerita yang real tentang kehidupan Jakarta, kota metropolitan, di mana seorang dari daerah datang ke Jakarta beradu nasib. Film ini menceritakan kerasnya Kota Jakarta bagi pendatang,” kata produser film, Peter Taslim, dalam Virtual Press Conference Film ”Jakarta vs Everybody” di Jakarta, Jumat (18/3/2022).
Jakarta masih punya daya tarik di mata perantau. Dikutip dari statistik.jakarta.go.id, bahkan selama masa awal pandemi Covid-19 niat warga untuk datang mengadu nasib tak surut. Jumlah penduduk dari luar datang ke Jakarta yang terlapor sebesar 124.177 orang pada 2020.
Sementara itu, Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta mencatat tingkat pengangguran terbuka sempat mencapai 10,95 persen per Agustus 2020 meskipun angka ini naik dua kali lipat akibat pandemi. Namun, tingkat pengangguran Jakarta memang biasa lebih tinggi dari tingkat nasional.
ARSIP BIOSKOP ONLINE
Salah satu cuplikan adegan dalam film Jakarta Vs Everybody. Disutradarai oleh Ertanto Robby Soediskam, film ini mengisahkan perjalanan Dom yang merantau ke Jakarta untuk menjadi aktor, tetapi impian ini harus berubah menjadi pengedar narkoba. Film ini dibintangi oleh Jefri Nichol, Wulan Guritno, Ganindra Bimo, dan Dea Panendra.
Secara harfiah, judul film Jakarta vs Everybody berarti Jakarta melawan semua orang. Dalam pertarungan ini, ada yang menang dan ada yang kalah.
Dom adalah representasi perantau yang ekspektasinya kandas setiba di Jakarta. Pemuda ini datang hanya bermodalkan nekat, yakni tanpa bekal akademis, pengalaman, ataupun koneksi. ”Kayaknya ini banyak banget dirasain perantau dari daerah. Dan mengenaskannya, Dom di sini justru terjebak dalam keadaan yang bikin hidupnya semakin sulit,” ujar Jefri.
Bertahan hidup
Sebenarnya sudah banyak film yang mengisahkan pesona ataupun kebobrokan Jakarta. Sisi kumuh kota ini dari sudut pandang perantau telah tergali dalam Jakarta Jakarta (1978) garapan Ami Prijono, Jakarta Undercover (2006) karya Lance Laggong, dan Moammar Emka’s Jakarta Undercover (2017) dari Fajar Nugroho.
Film-film di atas mengambil sudut pandang dari berbagai profesi yang mengais hidup di Jakarta. Seorang lulusan baru, penari striptis, dan wartawan. Sekarang, giliran film karya sutradara Robby yang diproduksi Pratama Pradana Picture ini yang menceritakan Jakarta dari perspektif pengedar narkoba.
Namun, sama seperti film lainnya, garis merah dalam Jakarta vs Everybody adalah bagaimana seseorang bisa melakukan hal apa pun demi bertahan hidup kendati tindakan itu membentur norma sosial dan hukum.
”Genre film ini adalah realitas sosial sehingga ini digambarkan sedemikian real. Ini adalah jendela buat teman-teman melihat kehidupan sisi lain di kota Jakarta. Kita jadi bisa aware kalau ada penyebaran narkoba, terjadi di kehidupan dan lingkungan kita, untuk jadi pembelajaran,” ujar Wulan.
Para aktor dan aktris berhasil mengemban karakter masing-masing dengan ulung berkat riset yang total. Mereka malah langsung bertukar pikiran dengan mantan pengedar narkoba demi memelajari cara pengemasan dan distribusi di tingkat ketengan.
Jakarta vs Everybody turut menyoroti mosaik kehidupan yang mencakup urbanisasi, kemiskinan, seksualitas, kelangsungan hidup, dan pencarian jati diri. Film ini bercerita dengan apa adanya. Karena itu, tidak heran jika banyak adegan kekerasan, umpatan kasar, dan aksi vulgar untuk penonton usia 21 tahun ke atas.
Walaupun perilisannya sempat tertunda akibat pandemi, Jakarta vs Everybody cukup diapresiasi. Film ini mendapat tiga nominasi di Festival Film Indonesia 2021. Film ini telah tayang terbatas di platform Bioskop Online sejak 19 Maret 2022.
ARSIP BIOSKOP ONLINE
Salah satu cuplikan adegan dalam film Jakarta vs Everybody. Disutradarai oleh Ertanto Robby Soediskam, film ini mengisahkan perjalanan Dom yang merantau ke Jakarta untuk menjadi aktor, tetapi impian ini harus berubah menjadi pengedar narkoba. Film ini dibintangi oleh Jefri Nichol, Wulan Guritno, Ganindra Bimo, dan Dea Panendra.
Relevansi Jakarta
Jakarta vs Everybody sedikit menggelitik pertanyaan lanjutan tentang relevansi Jakarta. Ya, Jakarta adalah kota metropolitan. Ini adalah rumah bagi pusat pemerintahan (sampai saat ini) dan ekonomi. Barometer Indonesia terletak di kota ini.
Akan tetapi, Jakarta itu kadang kejam. Masih mengutip statistik.jakarta.go.id, sebanyak 157.441 orang keluar dari Jakarta pada 2020. Jumlah ini lebih banyak dari jumlah penduduk yang masuk. Beberapa faktor penyebab adalah pandemi yang mendorong pemutusan kerja banyak orang.
Bahkan, jauh sebelum pandemi, sudah ada banyak contoh kasus orang beranjak dari kota besar untuk mencari hidup nyaman di desa. Mereka memilih membangun kampung dengan potensi lokal yang ada.
Sudah saatnya Jakarta dilihat dari konsep dekonstruksi yang digagas filsuf Perancis, Jacques Derrida. Ada pandangan bahwa Jakarta adalah kota yang menjanjikan sukses. Sayang, hal ini seolah menegasikan realitas bahwa sukses juga bisa diraih mereka yang tidak hijrah. Pemaknaan Jakarta semestinya tak lagi bersifat absolut.
Ditambah lagi orang yang pergi merantau ke Ibu Kota kerap mendapat sanjungan sebab membutuhkan keberanian. Padahal, untuk tinggal, bekerja, dan membangun kampung kelahiran dengan kekuatan sendiri juga membutuhkan nyali yang sama besarnya.
Apakah Jakarta masih relevan? Semua kembali pada penilaian masing-masing.