Mengurangi Kesepian Selama Pandemi
Kesepian bisa memicu berbagai masalah kesehatan, bahkan membunuh orang yang mengalaminya. Kondisi itu bisa diatasi dengan beraktivitas yang menyenangkan dan bermakna.
Kesepian melanda masyarakat segala usia, dari anak-anak hingga orang dewasa di berbagai negara. Persoalan itu memburuk selama pandemi Covid-19 lantaran banyak orang mengubah perilaku sosialnya dengan membatasi interaksi tatap muka untuk mencegah penyebaran virus korona yang mematikan tersebut.
Waktu luang selama pembatasan kegiatan masyarakat kadang turut meningkatkan kesepian. Meski demikian, studi baru tim peneliti di Penn State University, Amerika Serikat, menyatakan, terlibat aktivitas bermakna dan menantang selama waktu luang bisa mengurangi kesepian dan meningkatkan sikap positif mereka.
Tim peneliti internasional, termasuk John Dattilo, profesor manajemen rekreasi, taman, dan pariwisata di Penn State University, telah mempelajari bagaimana meningkatkan waktu luang dan mengurangi kesepian selama pandemi di antara mahasiswa internasional dan orang dewasa yang lebih tua.
Berdasarkan dua studi berbeda, sebagaimana dikutip Sciencedaily, 6 April 2022, para peneliti menemukan bahwa orang yang memiliki pengalaman bermakna dan menantang tidak terlalu kesepian, bahkan ketika tingkat kontak dan dukungan sosial yang lebih tinggi tidak tersedia.
Baca juga: Kesepian
”Ada pepatah ’waktu berlalu ketika Anda bersenang-senang’. Ini berarti waktu berjalan lambat saat Anda bosan. Riset kami menunjukkan dua ide ini benar. Dengan melakukan aktivitas bermakna saat waktu luang yang menuntut fokus, orang bisa mengurangi kesepian dan mendorong kebahagiaan sesaat,” kata Dattilo.
Dampak pandemi
Kesepian adalah perasaan sendirian, terlepas dari jumlah kontak sosial. Menurut Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, isolasi sosial merupakan kurangnya koneksi sosial sehingga memicu kesepian, tetapi sebagian orang dapat merasa kesepian tanpa terisolasi secara sosial.
Dalam artikel ”Pandemi Kesepian, Psikologi dan Biaya Sosial dari Isolasi dalam Kehidupan Sehari-hari”, yang dimuat di harvardmagazine, edisi Januari-Februari 2021, psikolog sosial mendefinisikan kesepian sebagai kesenjangan antara koneksi sosial yang ingin Anda miliki dan yang Anda rasakan.
Dengan melakukan aktivitas bermakna saat waktu luang yang menuntut fokus, orang bisa mengurangi kesepian dan mendorong kebahagiaan sesaat.
Meski teknologi dapat menghubungkan orang di mana saja dan kapan saja, riset sebelumnya menunjukkan kesepian meningkat beberapa dekade terakhir. Kesepian menyentuh orang-orang dari segala usia, termasuk kaum muda. Kondisi pandemi Covid-19 yang membatasi interaksi sosial memperburuk masalah tersebut.
Pandemi lebih dari dua tahun ini membuat kesepian jadi perbincangan publik karena orang-orang di banyak negara tinggal di rumah, takut tertular virus korona mematikan dan membantu penyebarannya. ”Pandemi menyebabkan peningkatan isolasi sosial dan kesepian,” kata sejumlah profesor di The Lancet Psychiatry.
Survei nasional 2019 oleh perusahaan asuransi kesehatan Cigna menemukan 61 persen warga AS melaporkan kesepian. Sementara survei perusahaan konsultan SocialPro terhadap 1.228 orang berusia 18 hingga 75 tahun yang di sejumlah negara menyebutkan 20 persen responden lebih kesepian akibat pandemi.
Sementara Laporan National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine (NASEM) menunjukkan, lebih dari sepertiga orang dewasa berusia 45 tahun ke atas merasa kesepian. Orang dewasa lebih tua berisiko lebih tinggi merasa kesepian dan isolasi sosial, antara lain, karena hidup sendiri, kehilangan keluarga, dan penyakit kronis.
Risiko kesehatan
Padahal, kesepian meningkatkan risiko kesehatan. Penelitian Julianne Holt-Lunstad, profesor psikologi dan ilmu saraf di Universitas Brigham Young, dan tim menyebut peningkatan risiko kematian akibat kesepian sama dengan merokok 15 batang sehari atau menjadi pencandu alkohol, dan melebihi risiko kesehatan terkait.
Dalam artikel ”Covid-19 Membuat Epidemi Kesepian Amerika Lebih Buruk”, yang dimuat di time.com, 8 Mei 2020, riset menunjukkan kesepian kronis berkaitan dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk demensia, depresi, kecemasan, menyakiti diri sendiri, kondisi jantung, dan penyalahgunaan zat psikotropika.
Baca juga: Terkurung dalam Cangkang Kesepian
Menurut CDC, kesepian dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian dini, depresi, kecemasan, dan bunuh diri. Kesepian di antara pasien gagal jantung terkait peningkatan risiko kematian hampir 4 kali, peningkatan risiko rawat inap 68 persen, dan risiko kunjungan gawat darurat meningkat 57 persen.
”Kesepian sangat berhubungan dengan kesehatan kita . Saat ini terjadi epidemi kesepian,” kata Dattilo. Kesehatan psikologis, emosional, dan kognitif semuanya terganggu ketika orang mengalami kesepian.
Selain itu, kesepian dikaitkan dengan depresi dan persoalan kesehatan mental lainnya. Dalam sebuah artikel baru yang dimuat di Leisure Sciences, para peneliti mengeksplorasi kesepian di antara mahasiswa internasional di Taiwan. Tim peneliti yang sama juga menerbitkan artikel tentang mengurangi kesepian di antara penghuni panti jompo pada akhir 2021.
Studi sebelumnya menunjukkan, banyak mahasiswa internasional kesepian karena keluar dari jejaring sosial dan hidup dalam budaya berbeda. Biasanya mereka menghindari kesepian dengan aktivitas sosial, tetapi banyak kegiatan berkelompok dilarang selama pandemi.
Kegiatan menyenangkan
Menurut Liang-Chih Chang dari Universitas Terbuka Nasional di New Taipei City, Taiwan, penulis utama studi tersebut, dalam keterangan tertulis, berkurangnya kesepian dikaitkan dengan keterlibatan dalam kegiatan menyenangkan yang membutuhkan konsentrasi dan keterampilan.
”Ketika asyik beraktivitas, mereka memasuki kondisi yang disebut ’flow’ (mengalir). Itu bisa dicapai dengan terlibat aktivitas mental atau fisik yang mengharuskan konsentrasi penuh untuk memakai keterampilan itu,” kata Dattilo menambahkan.
Baca juga: Isoman dan Virus Kesepian
Agar mencapai kondisi mengalir, seseorang perlu terlibat kegiatan yang membutuhkan keterampilan, tetapi tak terlalu sulit, menuntut konsentrasi, dan bermakna. Kegiatan artistik, seperti bermain piano atau melukis mendorong aliran. Begitu juga aktivitas fisik ataupun kegiatan intelektual, seperti menulis.
Kegiatan yang memicu aliran atau mengasyikkan bisa berbeda dari orang ke orang, tergantung dari keterampilan dan nilai individu. ”Ketika kita memasuki kondisi mengalir, kita jadi terserap dan fokus, serta mengalami kenikmatan sesaat. Saat meninggalkan kondisi mengalir, kita kerap terkejut dengan berapa banyak waktu berlalu,” ujar Dattilo.
Orang dengan banyak waktu luang, seperti mahasiswa yang terkurung di dalam tempat tinggal, seperti apartemen dan tempat indekos selama pandemi, atau penghuni panti jompo dapat, mencapai kondisi mengalir saat terlibat aktivitas bermakna.
”Dengan cara ini, waktu cepat berlalu bagi mereka, hidup bermakna, dan pengalaman kesepian berkurang,” kata Chang. Dukungan sosial dari teman dan kenalan menjadi cara utama seseorang mengurangi kesepian.
Namun, banyak orang masih terkendala memperoleh dukungan sosial memadai. Meski siswa dengan dukungan sosial tinggi tak terlalu kesepian, kegiatan menyenangkan lebih penting untuk mengurangi kesepian.
Menurut Dattilo, tidak ada yang salah dengan menonton televisi, tetapi biasanya, itu tidak membantu orang memasuki kondisi mengalir atau nyaman karena mereka tidak mengalami tantangan apa pun. Selain itu, orang berbeda menemukan aktivitas berbeda yang bermakna dan menyenangkan.
Baca juga: Kesepian, Kecemasan, dan Keterhubungan
”Mempelajari aktivitas mana yang memungkinkan seseorang memasuki keadaan mengalir membutuhkan pertanyaan dan mendengarkan,” kata Dattilo. Penelitian ini diharapkan dapat membantu masyarakat menjalani kehidupan yang lebih penuh, lebih bahagia, dan lebih sehat.