Merayakan Tafsir Cerpen ”Macan”
Cerpen ”Macan” karya Seno Gumira Ajidarma terpilih menjadi Cerpen Terbaik Kompas 2020. Dalang urban Nanang Hape kemudian membuat pertunjukan yang menginterpretasikan cerpen terbaik tersebut.
Meski ceritanya pendek, sebuah cerpen yang baik bakal menerbitkan imajinasi tanpa batas. Alih wahananya menjadi momentum besar untuk merayakan sebuah tafsir, sekaligus untuk merayakan segala bentuk keindahan yang semuanya bermula dari kata.
Seperti kata-kata yang dirangkai Seno Gumira Ajidarma menjadi sebuah cerpen berjudul ”Macan”. Cerpen ini dimuat Kompas Minggu, 1 Maret 2020. Cerpen ini memperoleh Anugerah Cerpen Terbaik Kompas 2020, Senin (28/6/2021), bertepatan dengan perayaan ulang tahun ke-56 Kompas.
Dalang wayang urban Nanang Hape (46) ketika mengalihwahanakan cerpen ”Macan” membuktikan bahwa cerpen mampu menyulut imajinasi tanpa batas. Nanang memulai dengan suluk, sebuah narasi yang ditembangkan. Selintas kemudian ada sebuah wayang kulit di tangannya.
Wayang kulit untuk pembuka kisah itu cukup unik. Wayang itu berupa gunungan, tetapi bolong di bagian tengahnya. Gapit atau penjepit untuk pegangan gunungan yang biasa menggunakan tanduk kerbau itu juga dibuat melipir ke pinggir kulit yang menjadi bingkai lubangnya.
”Itu gunungan bolong, Gunungan Kayon Klowong namanya. Saya mutrani (meniru dengan izin) dari penciptanya, Ki Bambang Suwarno asal Solo,” ujar Nanang, yang memiliki nama lengkap Nanang Henri Priyanto asal Ponorogo, Jawa Timur, Kamis (1/7/2021) pagi, dalam sebuah percakapan melalui telepon.
”Dari cerpen Seno ini bisa saja saya semalam suntuk tiada henti membawakan kisah yang menjadi tafsirnya. Cerpen ini memberikan keleluasaan imajinasi,” tutur Nanang, yang juga memiliki wayang gunungan favorit selain Gunungan Kayon Klowong, yakni Gunungan Kayon Hakikat.
Gunungan Kayon Hakikat memiliki ukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan Gunungan Kayon Klowong. Gunungan itu memuat simbol-simbol yang menyiratkan keberagaman keyakinan di Indonesia. Akan tetapi, Nanang tidak membawa gunungan ini pada gelarannya secara virtual pada malam Anugerah Cerpen Terbaik Kompas 2020 itu, Senin (28/6/2021).
Baca juga : Kemenangan Keempat Seno Gumira Ajidarma
Macan terkalahkan
Genggaman tangan Nanang beralih dari Gunungan Kayon Klowong ke Gunungan Gapuran. Nanang menuturkan di dalam gunungan itu terdapat macan yang berdiam, macan yang sulit untuk dimengerti, dan macan sang raja hutan yang sudah terkalahkan kebengisannya oleh para maling, seperti di dalam cerpen Seno Gumira.
Gunungan Gapuran memiliki simbol gambar hutan raya yang dipenuhi satwa liar. Di kelebatan tetumbuhan itu ada kerbau, burung, macan, dan sebagainya. Macan pun berdiam di situ. Ia memang berburu mangsa tatkala lapar demi melangsungkan hidupnya.
Ketika macan terdiam, menjadi sulit untuk dimengerti, mengapa ia begitu buasnya tatkala memangsa hewan lain. Tetapi, kebengisan macan yang dikalahkan inilah yang ingin dikisahkan.
Cerpen Seno Gumira mengisahkan dengan begitu mencekam, ketika seorang pemburu seorang diri melengkapi tubuhnya dengan persenjataan. Ia berniat masuk ke liang goa persembunyian seekor macan jantan beserta pasangan dan anak-anaknya.
Pemburu berhasil memancing keluar macan dan membawanya ke tanah lapang. Di situlah kawanan pemburu disiapkan. Macan jantan pun teperdaya dan dikeroyok hingga mati. Teramat tragis. Akan tetapi, bukan di sini roh dari kisah cerpen itu.
”Cerpen ini sebenarnya terinspirasi ketika ada berita hewan-hewan ternak yang dirampok dengan dipotong langsung di kandangnya. Tetapi, jeroan ternak itu dikeluarkan dan ditinggalkan di kandang,” ujar Seno Gumira.
Di dalam cerpen, Seno Gumira menyebutkan mereka sebagai ”para bapa maling” yang membawa mobil boks untuk merampok hewan ternak milik petani. Kebengisan mereka telah melebihi seekor macan.
Seno Gumira awalnya terperangah ketika membaca berita tentang pencurian hewan ternak dengan memotong hewan di kandangnya. Ketika ingin membuat cerita pendeknya, ia tidak tahu apa yang ingin ditulisnya.
Seno membiarkan imajinasinya berkembang, lalu bebas menuliskannya. Hadirlah kemudian tokoh macan yang dikalahkan kekejamannya oleh ”bapa-bapa maling” tersebut.
Akhir kisahnya cukup unik. Tengoklah cerpen Seno Gumira itu. Kisah berakhir dengan absurditas, berakhir dengan sesuatu yang tidak benar-benar berakhir. Seno mengakhiri, tetapi seperti membuka kisah yang baru. Kisah itu tentang satu keluarga pemburu dengan tangis bayi yang tak kunjung berhenti.
Baca juga: Macan
Lembaran kosong
Usai Nanang memainkan suluk pembuka, tampillah sosok seorang perempuan penulis di depan laptop. Perempuan itu bertutur tentang keberadaan macan. Macan yang terdiam, macan yang sulit dimengerti dan ada di Gunungan Gapuran itulah macan sesungguhnya.
Menurut dia, itulah macan paling buas yang selama ini pernah diketahuinya. Akan tetapi, macan seperti itulah yang paling tidak disukai manusia. ”Orang-orang lebih menyukai macan yang ada di kandang atau di sirkus-sirkus,” ujar perempuan penulis yang diperankan Artasya Sudirman.
Artasya terus berujar dalam kata di depan laptopnya. Sesekali tangannya terlihat menyentuh tuts kibor komputer itu. Di akhir pertunjukan yang dibuatnya, Nanang menghadirkan tampilan lembaran kosong di layar komputer penulis Artasya.
”Layar kosong seperti akhir dari cerpen Seno yang terus membuka ruang bagi imajinasi kita,” ujar Nanang, yang membuat rekaman video pementasan dengan diiringi musik yang dimainkan Tendri Yusuf.
Gelaran pementasan ditampilkan Nanang dengan membuka tiga ruang adegan yang direkam oleh Artha dan Kadek Dodik. Ketiga ruang adegan itu meliputi ruang untuk pewayangan, ruang penulis, dan ruang penari.
Ruang penari tak kalah unik. Nanang menampilkan tarian Haris Sakadian yang juga menjadi bagian tafsir cerpen Seno Gumira. Nanang merancang narasi unik dari tarian tersebut. Ia mengambil latar sepotong tari tradisi reog Ponorogo, yaitu tari kucingan.
”Tari kucingan ini dulu sering saya lihat menjadi bagian tarian reog Ponorogo. Akan tetapi, tarian kucingan ini sekarang sepertinya mulai punah,” ujar Nanang.
Tarian ini dimainkan oleh orang yang mengenakan topeng reog, tetapi topeng itu sudah dilepas dari helai-helai bulu merak yang anggun dan megah. Topeng reog berubah wujud sebagai kepala macan saja, tetapi kali ini disimbolkan bukan sebagai macan, melainkan kucing.
Penari Haris Sakadian menari seperti kucing yang berjingkatan. Ia seperti mengincar, lalu berusaha menerkam tikus. Kucing tak ubahnya sebagai pemburu. Di sinilah Nanang berkisah tentang beda antara pemburu dan maling.
”Pemburu memburu mangsa untuk melangsungkan hidupnya. Maling memburu mangsa demi keserakahannya,” kata Nanang.
Macan atau kucing adalah pemburu yang budiman. Mereka bukanlah pemburu yang serakah. Seorang pemburu yang serakah, menurut Nanang, juga akan berubah menjadi maling. Hanya manusia yang bisa melakukan hal seperti itu.
Baca juga : Lewat Cerpen ”Macan”, Seno Menjadi Macannya Anugerah Cerpen ”Kompas”