Semesta Rupa Kontemporer di Museum MACAN
Seni rupa kontemporer memiliki ranah luas tanpa pagar. Mencecap karya-karya seni rupa kontemporer seperti mengarungi semesta pikiran yang tidak terbatas. Demikian juga beberapa pameran di Museum MACAN kali ini.
Seni rupa kontemporer memiliki ranah luas tanpa pagar. Mencecap karya-karya seni rupa kontemporer seperti mengarungi semesta pikiran yang tidak terbatas.
Karya seni rupa kontemporer Olafur Eliasson (54) asal Denmark berupa empat perangkat optik yang kemudian disebut kaleidoskop. Bentuk karya berjudul "Multiverse and Futures" tersebut seperti teropong terbuat dari baja nirkarat (stainless steel) dengan bentuk dinding dan penampang depan teropong berbeda-beda.
Ada Kaleidoskop Persegi, dengan penampang depan berbentuk empat persegi panjang, memiliki ukuran 186 sentimeter X 82 sentimeter X 150 sentimeter. Selanjutnya, Kaleidoskop Belah Ketupat, Kaleidoskop Segitiga, dan Kaleidoskop Heksagonal, memiliki ukuran yang hampir sama dengan Kaleidoskop Persegi.
“Eliasson melalui kaleidoskop-kaleidoskopnya menunjukkan persoalan persepsi manusia yang bisa berbeda-beda, walaupun dengan fakta yang sama,” tutur Kepala Komunikasi Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara (Modern and Contemporary Art in Nusantara/MACAN) Nina Hidayat, ketika mendampingi Kompas, Selasa (11/5/2021) di Museum MACAN, Jakarta.
Eliasson melalui kaleidoskop-kaleidoskopnya menunjukkan persoalan persepsi manusia yang bisa berbeda-beda, walaupun dengan fakta yang sama. -- Nina Hidayat
Keempat kaleidoskop karya Eliasson ditempatkan di bagian awal ruang pamer Museum MACAN. Di museum itu kebetulan ada empat pameran meliputi The Story of Nowhere oleh Citra Sasmita; Stories Across Rising Lands; Semesta dan Angan: Pilihan dari Koleksi Museum Macan; dan Melati Suryodarmo: Why Let Chicken Run? Ketiga pameran terakhir berlangsung antara 23 Januari-22 Mei 2021.
Karya Eliasson merefleksikan keseluruhan tema pameran. Di era banjir informasi seperti sekarang, suatu fakta yang dikemas menjadi sebuah informasi bisa menimbulkan beragam persepsi.
Baca juga: Metamorfosis Teater Koma
Meneropong
Tidak ubahnya teropong, kaleidoskop karya Eliasson juga digunakan untuk meneropong obyek di depannya. Bedanya, kaleidoskop itu tanpa lensa. Citra yang ditangkap akan dipantulkan dinding-dinding kaleidoskop yang terbuat dari stainless steel dan bisa memantulkan obyek layaknya seperti cermin.
Nina Hidayat ketika itu memeragakan sebagai obyek yang ingin diteropong dengan keempat kaleidoskop itu. Kaleidoskop Persegi memiliki bentuk penampang empat persegi panjang. Begitu pula, untuk penampang kaleidoskop lainnya berbentuk belah ketupat, segitiga, dan heksagonal atau segi enam.
Ketika meneropong, tercipta pantulan obyek dari dinding-dinding kaleidoskop yang seperti cermin. Ada efek pantulan cermin turut menghasilkan citra yang berbeda-beda dari setiap kaleidoskop.
Seperti itulah persepsi. Persepsi dari sebuah fakta yang sama akan menjadi berbeda-beda, ketika alat atau cara pandang yang digunakan berbeda.
Kaleidoskop ibarat alat atau cara pandang. Setiap kali menggunakan kaleidoskop yang berbeda, tentu menghasilkan hasil pandang yang berbeda-beda. Menurut Nina, karya Eliasson mengisyaratkan keadaan terkini di era banjir informasi, banjir pula cara pandang yang berbeda-beda. “Cara pandang berbeda membentuk persepsi yang berbeda pula,” tutur Nina.
Persepsi pada akhirnya melatari sebuah tindakan. Jika yang terbentuk adalah persepsi negatif, dikhawatirkan menghasilkan tindakan-tindakan yang negatif pula.
Hampir senada dengan Eliasson, seniman Tanah Air, Bandu Darmawan (32), menampilkan persoalan persepsi di dalam karya yang diberi judul "Jalan Raya Foton" (2017) Ia menghadirkan proyeksi video yang menampilkan bayangan hitam seorang laki-laki. Di dekat layar, Bandu menempatkan dua kursi yang saling berhadapan.
Kedua kursi itu diperuntukkan bagi dua pengunjung. Dari sinar proyeksi video, kedua pengunjung tadi juga membentuk bayangan hitam di layar.
Layar yang semula menampilkan video bayangan satu orang, pada akhirnya menampilkan bayangan tiga orang. Ketiganya duduk dan seperti dalam posisi sedang bercakap-cakap.
Di layar itu Bandu membangkitkan persepsi dari hasil rekaman video bayangan satu orang di masa lampau, bertemu dengan bayangan dua orang di waktu seketika (real time). Citra layar menampilkan seolah-olah ada tiga orang dalam waktu yang bersamaan.
Bandu mengisyaratkan, persepsi menjadi hal yang bisa begitu mudah untuk dipermainkan, ketika tampilan fakta atau kenyataan bisa dimanipulasi.
Baca juga: Seni untuk Berbagi
Asia Tenggara
Dari bagian pameran yang diberi tajuk, Stories Across Rising Lands, muncul metafora karya-karya seni rupa kontemporer lainnya. Menurut Direktur Museum MACAN, Aaron Seeto, pameran ini sebagai pameran survei terhadap karya seni rupa kontemporer di Asia Tenggara.
Pameran ini didukung KONNECT ASEAN dan ASEAN – Republic of Korea Cooperation Fund dan dikuratori Asep Topan dan Jeong-ok Jeong dari Korea. Dipamerkan karya delapan seniman meliputi Cian Dayrit (Filipina), Ho Rui An (Singapura), Kawita Vatanajyankur (Thailand), Saleh Husein (Indonesia), Lim Kok Yoong (Malaysia), Souliya Phoumivong (Laos), Maharani Mancanagara (Indonesia), Nge Lay (Myanmar), dan karya kolaborasi antara Tan Vatey dan Sinta Wibowo (Kamboja/Belgia). Semua seniman sebagai satu generasi yang terlahir di era 1980-an.
Beberapa di antaranya, karya seniman Kawita (34) asal Thailand, menyuguhkan seni performance merajut yang tidak lazim. Kawita menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya untuk merajut benang hingga membentuk rajutan lingkaran mengitari tubuhnya di lantai. Ini sebuah metafora eksploitasi tenaga perempuan di bidang industri tekstil.
Di dalam catatan kuratorial, disebutkan Kawita menirukan mesin rajut dan menggunakan tubuhnya sebagai gelendong raksasa. Kawita mengikat dan memutar benang merah di antara dua belas tiang dengan kaki, tangan, bahkan giginya.
Ketika melakukan performance ini secara langsung, Kawita merasa pusing, vertigo, dan akhirnya pingsan saat karyanya selesai. Kawita memperlihatkan rasa sakit yang tidak disadari sebagai beban kerja manual yang selama ini dikerjakan perempuan.
Maharani Mancanagara (30) menampilkan karya yang diberi judul "Hikayat Wanatentrem" (2018). Ini sebuah instalasi yang menggunakan beragam media seperti kotak putar, vitrin, lukisan dengan cat akrilik di atas kayu, serta lukisan dengan arang di atas kayu.
Maharani mengisahkan kehidupan sejumlah tahanan politik yang diasingkan di Pulau Buru. Akan tetapi, Maharani menggunakan karakter kancil, serigala, domba, bajak laut, dan burung, sebagai metafora narasinya.
Baca juga: Kepak Sayap Nuarta