Sebelum pandemi Covid-19, Teater Koma merancang pentas ulang lakon ”Sampek Engtay”. Sayangnya, pentas itu harus didesain ulang karena Koma kehilangan beberapa awaknya akibat terpapar Covid-19.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·4 menit baca
Setelah setahun memasuki masa hibernasi, Teater Koma sedang menempuh risiko besar. Sutradara N Riantiarno mempertaruhkan reputasi puluhan tahun sebagai sutradara seni pertunjukan untuk kemudian luluh memasuki dunia digital; dunia yang jauh dari imajinasinya. Sejak beberapa bulan terakhir, kelompok ini meluncurkan apa yang disebut sebagai Digitalisasi Koma.
Program ini, kata Riantiarno, telah menghasilkan beberapa pentas dalam jaringan (daring), baik berupa penayangan dokumentasi pentas-pentas Koma maupun pentas-pentas dengan naskah, aktor, sutradara, dan desain produksi baru. ”Semua ini penyikapan kreatif terhadap situasi yang tidak mudah. Pandemi mengharuskan kami untuk memeras imajinasi, bagaimana bisa tetap berkarya, tetapi tidak abai pada protokol kesehatan,” ujar Riantiarno, Kamis (6/5/2021), di Jakarta.
Sebelum pandemi Covid-19, kelompok teater yang bermarkas di Bintaro ini sedang merancang pentas ulang lakon Sampek Engtay. Sayangnya, kata Riantiarno, pentas itu harus terus didesain ulang karena beberapa faktor. Hal yang paling utama, tambahnya, Koma kehilangan beberapa awaknya akibat terpapar Covid-19. Bahkan, ”Pemeran Sampek juga turut jadi korban Covid-19. Jadi, kami harus cari penggantinya dan berlatih ulang,” katanya.
Kenyataan itu yang, antara lain, memutuskan Riantiarno untuk berkompromi dengan dunia digital. Tahun 2020 mereka mulai dengan meluncurkan program #NontonTeaterKomadiRumah. Meluncurlah kemudian lakon-lakon lawas, seperti Sie Jin Kwie Kena Fitnah (2011), Opera Kecoa (2016), dan Semar Gugat (2016), yang kemudian ditutup dengan #PentasAkhirTahunTeaterKoma mengusung lakon Cinta Semesta (2020).
Menurut Pimpinan Produksi Teater Koma Ratna Riantiarno, penayangan ulang lakon-lakon Koma itu sepenuhnya mengandalkan dokumentasi yang diberi sentuhan teknologi. ”Sentuhan itu penting agar desain produksi pada masa pandemi ini layak berbayar. Kami bekerja sama dengan Loket.com untuk menjual tiket,” kata Ratna. Hal yang mengejutkan, lakon-lakon lawas yang durasi tayangnya bisa mencapai tiga jam lebih justru diminati oleh penonton. ”Penontonnya bisa lebih dari 1.000 orang lho, dan ini menggembirakan bagi kami,” ujar Ratna.
Desain digital
Selain lakon-lakon berbayar tadi, bersama Bakti Budaya Djarum Foundation, kelompok ini juga meluncurkan program #NontonTeaterDiRumahAja lewat kanal Youtube. Mereka merilis secara gratis lakon-lakon, seperti Tanda Cinta (2005), Republik Petruk (2009), Sie Jin Kwie (2010), Opera Ular Putih (2015), dan Opera Ikan Asin (2017).
Program ini juga, kata Ratna, sangat diminati oleh penonton, ”Padahal, kan, durasi tayangnya rata-rata tiga jam, seperti lakon-lakon Riantiarno selama ini.” Dalam sekali tayang, lakon-lakon ini bisa ditonton lebih dari 1.000 orang. ”Itu artinya, orang sudah rindu menonton teater, lebih-lebih sebenarnya sudah rindu ke gedung pertunjukan,” kata Ratna.
Hasrat menonton seni pertunjukan yang besar itu, menurut Ratna, harus segera dikonversi menjadi modal dasar kreativitas. Oleh sebab itulah, sejak awal tahun 2021 Teater Koma meluncurkan program #Festival44 sebagai momentum merayakan ulang tahun ke-44 kelompok ini. Mereka akan menayangkan dokumentasi lakon-lakon Koma lawat kanal Youtube, yang bisa diakses secara gratis.
Puncaknya, tambah Ratna, Koma akan menayangkan lakon Savitri (2021) yang secara khusus direkam di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) dengan tanpa penonton. ”Ini hadiah kami pada musim pandemi, semoga menghibur dan menambah imunitas tubuh kita masing-masing,” ucap Ratna.
Aktor dan sutradara Rangga Riantiarno mengabarkan, Koma juga telah merilis empat lakon terbaru dengan desain ”new normal”, yang terangkaum dalam program #TeaterKomaPentasDiSanggar. Secara khusus N Riantiarno menulis lakon-lakon baru, seperti Pandemi, Suara-suara, Calon, Cinta Itu, Korupsi, dan Sekadar Imajinasi. Lakon-lakon ini semuanya ditulis pada 2021 oleh N Riantiarno dengan rata-rata durasi 30-40 menit.
”Saya harus kompromi dengan kemampuan kita menonton di kanal digital. Jadi, lakon-lakon ini dibuat pendek dan melibatkan sedikit orang,” kata N Riantiarno.
Selain itu, ia juga memberi kesempatan kepada aktor-aktor Koma untuk menulis lakon dan menjadi sutradara. Tampillah kemudian lakon Wabah karya Budi Ros yang disutradarai Rangga Riantiarno. Lalu lakon Cinta Itu disutradarai Ohan Adiputra dan Pandemi disutradarai Budi Ros.
Semua program ini, kata Ratna, dikerjakan di sanggar Teater Koma di kawasan Bintaro. ”Paling yang terlibat delapan orang, jadi ini enggak boleh lebih,” ujarnya.
Sebagai pentas yang dibesut di sanggar dan menggunakan platform digital, Riantiarno harus mempertimbangkan berbagai perubahan dalam caranya berkreasi, antara lain mempertimbangkan durasi, kedekatan, dan kontekstualitas. ”Pokoknya semua harus berubah,” katanya. Barangkali kelompok yang rata-rata awaknya hidup dari ”kreativitas di dunia teater ini” sedang menjalani metamorfosis, sebuah perubahan wujud ke arah baru yang lebih sesuai dengan cita rasa dunia digital.