”Hoek,” bunyi mulutnya ketika mengumpulkan lendir yang lengket di tenggorokan. Setiap selesai mengumpulkannya, Rosa akan meludah ke lantai. Hal itu ia ulangi sepanjang enam sampai tujuh langkah kaki. Sedari tadi ia bolak-balik dengan gelisah di lorong rumah. Begitu melihat adik iparnya sedang menyuapi anaknya di pintu dapur, Rosa melangkah mendekat ke arah mereka, dan tanpa tedeng aling-aling, ia meludahi piring nasi yang sedang dipegang iparnya. Buih berwarna kuning bercampur hijau terlihat di antara warna putih. Ipar Rosa menjerit, badannya gemetar menahan amarah. Rosa kemudian berlalu tanpa rasa bersalah, seolah yang baru dia lakukan sekadar meludah ke tanah.
Adik Rosa, Rahmat, pulang mendapat cerita tidak mengenakkan dari istrinya. Dadanya panas seperti kawah gunung merapi yang hendak erupsi. Bergegas ia berlari menuju kamar Rosa. Ditendangnya pintu kamar itu sekeras ia mampu. Suara benturan di pintu mengagetkan Rosa. Tendangan kedua kembali dilayangkan Rahmat, tetapi suaranya tidak sekeras yang pertama. Meski begitu, cukup untuk membuat Rosa membuka kunci dan pintu kamarnya. ”Asu,” umpatnya pada Rahmat. Yang diumpat balas menampar. Kemudian melayangkan tendangan ke perut Rosa, membuat yang ditendang terjengkal tiga langkah ke belakang.
”Rizal!” teriak ibu mereka. ”Lihat adikmu ini, dia pukul kakaknya.”
Rizal berlari lalu menarik tangan Rahmat dan membantingnya ke belakang. Ia pernah belajar beberapa jenis bela diri, membuatnya dengan mudah membanting Rahmat. Rosa berlari ke dapur. Sepasang kaki kecilnya begitu lincah melangkah. Hanya butuh beberapa detik ia telah kembali dengan pisau dapur di tangan. Ia berlari ke arah Rahmat yang masih duduk di lantai. Rizal dengan cepat menghentikan dan memuntir tangannya membuang pisau itu jauh-jauh.
”Harusnya kamu ikat dia lagi,” teriak Rahmat.
”Kamu yang waras harusnya bisa tahan diri,” balas Rizal berteriak. Kemudian ia menyeret Rosa ke kamar. Menutup pintu dan menguncinya dari luar. Teriakan, jeritan, pukulan mungkin juga tendangan terdengar dari dalam kamar. Rizal meninggalkannya dan pura-pura tidak dengar. Rahmat pun demikian. Seperti biasa mereka menunggu Rosa kelelahan dan kembali tenang.
***
Enam bulan sebelum Rahmat menendang pintu kamar Rosa, Rizal mengikat Rosa di tiang kayu depan kamarnya. Musababnya sederhana, Rosa melempari rumah salah seorang tetangganya dengan batu. Batu yang dilempar Rosa melayang ke arah kaca jendela dan memecahkan jendela rumah milik Rozak, saudagar paling kaya di kampungnya. Tuan rumah yang marah melaporkan Rosa ke polisi. Tapi polisi tidak bisa berbuat apa-apa, mereka tidak bisa menahan orang gila, atau setidaknya seperti itulah pendapat orang-orang tentang Rosa.
Rosa melempar rumah Rozak dikarenakan ketika ia berjalan hendak membeli rokok ke warung, segerombol anak-anak meneriakinya orang gila. Anak-anak itu kemudian berlari ketika melihat Rosa mengambil batu. Mereka berlari riang setelah puas mengejek. Ketika salah satu anak dilihatnya masuk ke rumah Rozak, tanpa rasa ragu, Rosa melempar batu ke rumah paling mewah di kampung itu.
Pulang diantar dua polisi, Rosa disambut oleh kakaknya. Rizal marah bukan mainan ketika mendengar cerita kedua polisi itu. Apalagi ditambah mendengar omelan Rozak yang tidak kurang-kurang diselipi makian pada keluarganya. Rozak memintanya untuk menjaga adiknya supaya tidak berkeliaran. ”Adikmu itu membahayakan warga,” sembur Rozak. Rizal yang malu kemudian menyeret tubuh Rosa ke dalam rumah. Yang dilakukannya bukan hal mudah karena Rosa, meski bertubuh kecil dan kurus, sangat beringas. Ia tidak henti memukul-mukul tubuh Rizal. Rizal berteriak memanggil Rahmat untuk mengambil tali. Menyadari apa yang dilakukan kedua saudaranya, Rosa berteriak, mengumpat, dan meludah hingga mengenai wajah Rizal dan Rahmat. Tapi, keduanya bergeming, mereka lanjut mengikat Rosa di tiang depan dapur rumah mereka.
***
Tiga tahun sebelum Rosa diikat oleh kedua saudaranya, ia memukul anak laki-laki satu-satunya dengan sebuah centong. Kepala anak laki-laki itu sampai bocor akibat tiga kali ayunan centong menghantam kepalanya. Musababnya sederhana, si anak disuruh Rosa membawa semangkuk sup ke dapur untuk diberikan kepada neneknya. Sup itu panas bukan mainan, tersebab ia baru turun dari kompor. Ketika berjalan tangan si anak goyang hingga kuah panas itu mengenai tangannya. Mangkuk berisi sup itu jatuh, suara mangkuk yang pecah saat membentur lantai, menyiram bensin yang seketika membakar dada Rosa.
Keluarga mantan suaminya mendengar cerita pemukulan itu segera bergegas mendatangi rumah Rosa. Mereka berniat mengambil anak itu. Ibu Rosa menghalangi, mengatakan kalau sebuah kejahatan memisahkan seorang anak dari ibunya. ”Sebuah kejahatan membiarkan anak berumur empat tahun tinggal dengan ibu yang seperti ini,” balas wanita yang pernah menjadi mertua Rosa. Tidak ada yang berani menjawab. Bahkan Rosa pun tidak berani. Tidak ada satu pun yang ditakuti Rosa di dunia ini melebihi mantan mertuanya.
Keluarga Rosa tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sadar diri kalau mereka miskin dan tidak mungkin memberikan penghidupan yang layak untuk si anak. Apalagi mengingat kondisi Rosa yang tidak mampu menjadi ibu untuk si anak membuat mereka mengikhlaskan anak itu dibawa pergi. Anak itu pun ketika dibawa pergi tidak melawan. Ia memang menangis, tetapi tidak sampai memberontak. Seolah-olah ia telah menerima saja apa yang hidup berikan padanya. Rosa tidak terima. Ia menjerit dan mengamuk; ia bahkan tidak peduli oleh rasa takut pada mertuanya. Tapi kedua saudaranya menahannya ketika hendak mengejar anak laki-laki satu-satunya yang sedang dibawa pergi menjauh darinya.
***
Dua tahun sebelum anaknya dibawa pergi, Rosa pulang dari Saudi. Ketika pulang, ia menemukan suaminya telah beristri sirih. Ia mengamuk, ia tidak terima, ia menggugat cerai suaminya. Lelaki itu menangis, memohon untuk perkara ini tidak dilanjutkan.
”Demi anak kita,” kata suaminya, ”jangan sampai karena masalah kita, hidup anak kita berantakan. Aku rela menceraikan Sonia saat ini juga.”
Rosa tidak peduli. Ia tidak mampu lagi mendengar suara lain di luar suara yang ada di kepalanya. Ia tetap menceraikan suaminya. Suaminya kemudian mengucap sumpah kalau ia tidak sudi melihat wajah Rosa lagi.
***
Enam bulan sebelum pulang ke Indonesia, Rosa diusir oleh Pemerintah Saudi. Ia mulai menunjukkan gejala ketidakwarasan yang membuat keluarga majikannya risih. Rosa mulai sering berbicara sendiri, marah-marah dan mengumpat dengan bahasa yang keluarga majikannya tidak mengerti. Ia juga semakin tidak kompeten bekerja. Beberapa kali ia menjatuhkan piring, mangkuk, atau gelas milik majikannya. Jika sudah tidak kuat mendengar ocehan yang keluar dari mulut Rosa, majikannya akan memaki dan memintanya diam. Namun, itu tidak membuat Rosa diam, ia malah semakin deras meluncurkan umpatan. Akhirnya mulut Rosa yang tidak berhenti mengumpat itu ditampar olehnya. Tapi tidak ada tamparan yang mampu membungkam mulut Rosa.
Kadang jika laju emosi tidak tertahankan, majikannya akan mencambuki Rosa. Kemudian ia akan mengiikatnya di tiang atau juga dikunci di kamarnya. Pernah juga ia menyirami Rosa dengan air dingin sebelum kemudian menguncinya di kamar mandi. Rosa menggigil semalaman, tapi mulutnya yang bergetar itu tidak kurang mengeluarkan umpatan. Karena Rosa tidak berhenti mengulangi apa yang membuat majikannya marah, majikannya tidak tahan lagi dan melaporkan Rosa ke KJRI.
***
Lima bulan sebelum dilaporkan ke KJRI, adik dari majikan Rosa datang berkunjung ke rumah saudaranya. Abdul nama adik majikannya itu. Ia laki-laki setinggi 187 cm dengan pipi dipenuhi bulu. Bibirnya tebal dan hidungnya mancung. Kelopak matanya yang cekung membuat matanya terlihat selalu melotot. Setiap mata itu menatap tajam ke arahnya, Rosa dibuat menggigil karenanya. Abdul kemudian mengajak Rosa bercakap. Dengan sedikit bahasa Arab yang dikuasainya, Rosa menjawab sekenanya.
Malamnya, atau lebih tepatnya tengah malam, Abdul mendatangi kamar Rosa. Dilihatnya lampu kamar Rosa masih menyala. Hal itu sempat membuat Abdul gentar. Namun nafsunya jauh lebih besar. Derit suara pintu yang dibuka pelan-pelan, membuat dada Abdul berdebar-debar. Merasakan ada yang memasuki kamarnya, Rosa terbangun. Abdul langsung saja mengajak Rosa untuk meranjang. Rosa menolak. ”Saya punya suami di rumah, saya punya anak...” Ketika Rosa hendak melanjutkan apa yang dikatakannya, tangan Abdul membekap mulutnya. Lalu dengan mudah ia mengangkat tubuh Rosa hanya setinggi dadanya ke ranjang. Malam itu Rosa harus melayani Abdul yang menginginkan cara berhubungan badan yang bahkan tidak pernah terlintas di kepalanya.
Sejak malam itu Abdul semakin rajin berkunjung ke rumah saudaranya. (*)
Blencong, Mei-Agustus 2021
Aliurridha, penerjemah dan pengajar Toefl pada suatu lembaga. Sehari-hari menulis esai, opini, dan cerpen. Karyanya tersebar di pelbagai media cetak ataupun daring. Cerpen-cerpennya telah terbit di Koran Tempo, Republika, Suara Merdeka, Fajar Makassar, Kompas.id, Ceritanet.com, Magrib.id, dll. Aktif bergiat dalam komunitas Akarpohon.
Febi Pamungkas Sindhukusumah lahir di Subang pada 1978. Lulusan Fakultas Seni Rupa dan Design, Institut Teknologi Bandung, sekarang tinggal di Jimbaran, Bali. Beberapa kali terlibat pameran seni rupa seperti Pemeran ”Seni Rupa Lingkungan” GALI (Gabungan Anak Lukis), Gedung YPK Naripan, Bandung (1999) dan Pameran Keramik Kontemporer ”Kado untuk Kartini”, Galeri Soemardja ITB Bandung (2000).