”Zoom fatigue” adalah kondisi ketika seseorang merasakan kelelahan yang luar biasa setelah melaksanakan pertemuan virtual. Menjaga pola kerja, pola makan, hingga olahraga menjadi penting untuk menghindari gangguan ini.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
Kehidupan hibrida (hybrid) di tengah pandemi bisa berdampak negatif jika tidak diiringi dengan gaya hidup sehat. Kelelahan akibat aktivitas daring atau zoom fatigue hingga obesitas mengancam kesehatan masyarakat yang membatasi mobilitas demi mengurangi potensi penularan Covid-19.
Kegiatan produktif yang berpindah ke ranah digital atau dikenal dengan kehidupan hibrida ini menjadi keniscayaan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Cepatnya penularan dalam kontak fisik dan sosial membuat sebagian besar kegiatan di luar ruangan berpindah ke ranah digital untuk membatasi pertemuan.
Meski dinilai mencegah penularan Covid-19, perubahan pola gaya hidup menjadi hibrida ini perlu diwaspadai. Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Siska Wiramihardja, menyatakan, perubahan aktivitas menjadi daring ini berpotensi menimbulkan kelelahan yang disebut zoom fatigue.
Siska memaparkan, kelelahan dalam aktivitas rapat dan bekerja daring ini terjadi karena menatap layar terlalu intens dan terjebak pada konsentrasi tinggi. Di samping itu, konsistensi melihat diri sendiri, mobilitas fisik yang berkurang, hingga lingkungan yang kurang kondusif untuk bekerja daring juga meningkatkan tekanan dalam bekerja.
”Untuk mengantisipasi, terus jaga keseimbangan bekerja di era hybrid ini. Atur jadwal rapat atau gunakan alternatif lain dalam menjalani aktivitas selain daring. Selain itu, jaga kesehatan mata,” ujar Siska dalam webinar ”Wellbeing in Hybrid Life”, Rabu (25/8/2021).
Dikutip dari laman news.stanford.edu, pendiri Laboratorium Interaksi Manusia Virtual (Virtual Human Interaction Lab/VHIL) Universitas Stanford, Jeremy Bailenson, menyatakan, pertemuan virtual menjadi hal yang kerap digunakan saat ini. Alasannya, protokol jarak sosial membuat orang terpisah secara fisik.
Akan tetapi, kondisi itu juga rentan menimbulkan zoom fatigue, merujuk nama program pertemuan daring, jika digunakan berlebihan. Menurut Bailenson, penamaan ini bukan berarti menjelek-jelekkan salah satu platform, tetapi menggunakan istilah ini karena sering disebut saat orang-orang akan mengadakan pertemuan virtual.
Berdasarkan penelitian Bailenson, ada empat penyebab manusia mengalami kelelahan saat menghadapi pertemuan virtual yang berlebihan. Penyebab ini antara lain kontak mata jarak dekat yang berlebihan secara intens, melihat diri sendiri selama obrolan, pengurangan mobilitas, hingga beban kognitif yang jauh lebih tinggi dari pertemuan daring.
Kontak mata jarak dekat ini tidak hanya berarti menatap layar monitor terlalu lama. Bailenson menjelaskan, dalam pertemuan virtual, kehadiran seseorang bisa diamati peserta lain meskipun tidak menjadi pembicara.
Karena itu, kondisi seakan saling menatap (eye contact) bisa dirasakan setiap peserta virtual. Hal ini berbeda dengan pertemuan langsung saat setiap peserta bisa mengamati rapat di mana saja tanpa harus diamati orang lain.
”Kecemasan sosial berbicara di depan umum adalah salah satu fobia terbesar. Ketika merasa semua orang menatap Anda, itu adalah pengalaman yang menegangkan dan memicu stres,” ujarnya.
Selain itu, seseorang melihat cerminan dirinya selama pertemuan daring. Menurut Bailenson, semua ini dapat menimbulkan tekanan yang tidak ditemukan saat pertemuan langsung.
Setiap ingin menunjukkan respons dalam video, seseorang harus melakukan anggukan yang berlebihan atau mengacungkan jempol. Itu akan menambah beban kognitif karena menggunakan kalori untuk kebutuhan mental saat berkomunikasi.
”Di dunia nyata, kondisi ini dibayangkan seperti seseorang yang beraktivitas dengan cermin. Saat berbicara, memberikan dan mendapatkan umpan balik dalam obrolan,” katanya.
Mobilitas orang-orang yang melakukan pertemuan virtual pun menjadi terbatas dan hanya berfokus di satu tempat. Bailenson berujar, hal ini membuat kebiasaan baru yang keluar dari kebiasaan ilmiah dari manusia yang butuh bergerak.
Akan tetapi, di sisi lain, beban kognitif meningkat karena komunikasi hanya terbatas secara virtual dan verbal. Padahal, dalam tatap muka normal, komunikasi nonverbal, seperti perubahan bahasa tubuh, suara, dan ekspresi, kerap dilakukan tanpa disadari.
”Setiap ingin menunjukkan respons dalam video, seseorang harus melakukan anggukan yang berlebihan atau mengacungkan jempol. Itu akan menambah beban kognitif karena menggunakan kalori untuk kebutuhan mental saat berkomunikasi,” ujarnya.
Obesitas
Untuk menghadapi beban kognisi, energi dan kalori menjadi sangat dibutuhkan. Siska menjelaskan, dalam kehidupan hybrid, orang-orang kerap bekerja sambil duduk atau berbaring dengan memakan kudapan yang kurang sehat. Di sisi lain, mobilitas luar ruangan yang terbatas mengurangi aktivitas fisik masyarakat.
”Gaya hidup tidak sehat ini dapat berdampak pada peningkatan indeks massa tubuh (IMT). Karena itu, gaya hidup sehat di era hybrid ini menjadi keniscayaan,” ujarnya.
Dokter spesialis gizi klinik Rosnah Pinontoan menjelaskan, kosumsi gula hingga makanan tinggi kalori dan rendah nutrisi menjadi tinggi di tengah pandemi. Padahal, status gizi sangat memengaruhi setiap orang untuk melakukan aktivitas setiap hari.
Karena itu, konsumsi makanan bergizi dan multivitamin sesuai kebutuhan serta berolahraga menjadi hal yang penting. Apalagi, keterbatasan aktivitas membuat orang menjadi malas bergerak dan berolahraga.
”Jangan bermalas-malasan karena hal ini dapat membuat performa fisik menurun. Makanan dengan gizi yang baik, olahraga teratur dan terukur, juga istirahat yang cukup, menjadi hal yang penting dalam kondisi pandemi seperti ini,” ujar Rosnah dalam webinar kesehatan ”Peran Gizi Seimbang dan Kesehatan Paru”, Jumat (20/8/2021).
Di tengah pandemi Covid-19, pembatasan mobilitas luar ruangan bukan berarti diam di rumah dan hanya melakukan pertemuan virtual. Dengan melakukan olahraga dan mengatur waktu, kehidupan hybrid ini bisa dilakukan tanpa harus merasakan berbagai gangguan kesehatan.