Kendalikan Hasrat Makan ”Junk Food” Selama Pandemi
Tekanan psikologis akibat situasi pandemi Covid-19 yang berkepanjangan membuat makin banyak orang mengonsumsi makanan tidak sehat. Kondisi itu meningkatkan risiko mengalami sindrom metabolik.
JAKARTA, KOMPAS — Bagi sebagian orang, karantina selama pandemi Covid-19 justru meningkatkan konsumsi makanan junk food atau makanan tidak sehat yang berisiko memicu berbagai penyakit metabolik. Tekanan psikologis selama pandemi memicu orang untuk mengemil makanan tidak sehat ini.
Kajian yang ditulis psikolog Nicola J Buckland dari University of Sheffield, Inggris, dan psikolog Eva Kemps dari Flinders University, Australia, ini diterbitkan di jurnal Appetite yang dirilis pada Kamis (24/6/2021).
”Tekanan baru yang diciptakan oleh pandemi Covid-19 tampaknya terkait dengan peningkatan yang dilaporkan dalam asupan makanan ringan yang gurih dan manis secara keseluruhan,” kata Nicola.
Studi ini dilakulan melalui survei pola diet dari 588 orang selama karantina di Inggris yang pertama pada Mei-Juni 2020. Responden diminta menjawab apakah asupan makanan lezat dan berkalori (misalnya cokelat, kue, es krim, pizza) telah berubah selama penguncian. Peserta juga menyelesaikan kuesioner yang mengukur gaya makan individu.
Temuan studi menunjukkan bahwa dalam hal perubahan pola makan, tidak semua orang merespons dengan cara yang sama terhadap karantina. Lebih dari separuh responden (53 persen) melaporkan peningkatan asupan makanan ringan, 26 persen melaporkan penurunan asupan makanan ringan, dan 20 persen melaporkan tidak ada perubahan pada pola makan.
Tekanan baru yang diciptakan oleh pandemi Covid-19 tampaknya terkait dengan peningkatan yang dilaporkan dalam asupan makanan ringan yang gurih dan manis secara keseluruhan.
”Ketika kami melihat gaya makan peserta (berdasarkan tanggapan terhadap kuesioner), kami menemukan bahwa peserta yang mendapat skor rendah dalam kemampuan mengendalikan hasrat lebih cenderung melaporkan peningkatan asupan makanan ringan.”
Baca juga : Menjaga Asupan Makanan Tetap Sehat di Rumah Selama PSBB
Eva Kemps mengatakan, karantina karena Covid-19 pertama dimulai di Victoria, Australia, tepat setelah penelitian di Inggris dilakukan. Sebanyak 124 responden dalam survei di Australia juga melaporkan perubahan asupan makanan dan gaya makan selama karantina, serta tingkat stres yang mereka rasakan.
Mirip dengan temuan Inggris, dari responden Australia, 49 persen melaporkan peningkatan asupan makanan ringan selama karantina, dan responden yang tersisa melaporkan asupan makanan ringan berkurang sebanyak 25 persen dan tidak ada perubahan 26 persen.
”Peningkatan asupan makanan ringan dikaitkan dengan tingkat stres yang lebih tinggi. Mereka yang mengalami tingkat stres yang lebih tinggi melaporkan peningkatan konsumsi makanan ringan manis dan gurih,” kata Kemps.
Mirip dengan survei Inggris, responden yang tidak bisa mengontrol keinginannya kemungkinan besar melaporkan peningkatan asupan makanan ringan.
Temuan dari survei Inggris dan Australia menunjukkan, bagi sebagian orang, terutama mereka yang kesulitan mengendalikan hasrat makan, penguncian Covid-19 adalah periode waktu yang berisiko untuk peningkatan asupan makanan tidak sehat. ”Temuan kami mendukung penggunaan strategi yang dapat membantu orang mengelola keinginan mereka untuk meminimalkan risiko peningkatan asupan makanan ringan selama penguncian Covid-19.”
Dampak buruk
Istilah junk food mengacu pada makanan yang diproses tinggi dan mengandung sejumlah besar tambahan gula, lemak, dan kalori, dan di sisi lain rendah serat dan nutrisi sehat. Ini termasuk makanan seperti permen, minuman manis, makanan cepat saji, dan makanan kemasan, seperti keripik kentang.
Baca juga : Generasi Z Rentan Alami Malanutrisi karena Pola Konsumsi Tidak Tentu
Sebuah studi yang diterbitkan dalam European Journal of Clinical Nutrition (2011) menemukan bahwa individu yang minum 25 persen dari asupan kalori harian mereka dari minuman yang dimaniskan dengan fruktosa mengalami penurunan dalam tingkat metabolisme mereka. Jenis pola makan ini juga telah terbukti berdampak pada mikrobioma usus dan mendorong peradangan.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal Gut pada April 2021 menemukan bahwa makanan olahan dan makanan yang berasal dari hewan membentuk bakteri yang bersifat pro-inflamasi, sedangkan makanan nabati bersifat anti-inflamasi. Peradangan di usus dapat menyebabkan kondisi seperti penyakit radang usus (IBD) atau penyakit Crohn, yang dapat mengganggu pencernaan dan penyerapan nutrisi tubuh Anda.