Generasi Z Rentan Alami Malanutrisi karena Pola Konsumsi Tidak Tentu
Pola konsumsi yang tidak menentu menyebabkan kalangan remaja Generasi Z rentan mengalami malanutrisi. Kondisi itu bisa berlanjut turun-temurun hingga meningkatkan risiko sejumlah penyakit kronis.
Oleh
ADITYA DIVERANTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Generasi Z atau remaja yang lahir pada periode 1996-2012 rentan mengalami malanutrisi karena pola konsumsi yang tidak menentu. Kondisi itu dapat meneruskan lingkaran malanutrisi pada generasi selanjutnya sehingga turut meningkatkan risiko pada sejumlah penyakit kronis.
Dokter spesialis gizi klinik Sheena R Angelia mengatakan, belakangan ada kecenderungan remaja melakukan pola konsumsi serta diet yang tidak sesuai dengan asupan gizi ideal. Dalam situasi pandemi Covid-19, ada pula remaja yang makin sering mengonsumsi makanan cepat saji dengan kandungan gizi tidak seimbang.
Persoalan itu juga dihadapkan dengan kondisi gizi remaja Generasi Z Indonesia yang belum cukup baik. Laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan, sekitar 25,7 persen remaja usia 13-15 tahun mengalami status gizi dengan perawakan yang pendek dan sangat pendek.
Belakangan ada kecenderungan remaja melakukan pola konsumsi serta diet yang tidak sesuai dengan asupan gizi ideal. Dalam situasi pandemi Covid-19, ada pula remaja yang makin sering konsumsi makanan cepat saji dengan kandungan gizi tidak seimbang.
Pada rentang usia yang sama, sekitar 9 persen remaja mengalami kondisi kurus dan sangat kurus. Kemudian, sekitar 16 persen remaja kalangan usia itu pun mengalami obesitas.
”Generasi Z sangat rentan mengalami malanutrisi, baik itu kasusnya kekurangan gizi maupun kelebihan asupan gizi. Sebab, malanutrisi yang menimpa mereka akan berdampak pada generasi selanjutnya sehingga meningkatkan risiko penyakit atau juga menurunkan keaktifan mereka di usia produktif,” jelas Sheena yang juga Kepala Klinik Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, Selasa (13/4/2021).
Topik ini mengemuka dalam diskusi bertajuk ”Aku, Asupanku, dan Masa Depanku” yang diselenggarakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Selasa siang. Selain Sheena, diskusi juga dihadiri Kepala BKKBN Hasto Wardoyo.
Sheena menjelaskan, keadaan malanutrisi di kalangan remaja itu kini menjadi fenomena bagi sejumlah negara berkembang. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebut hal itu sebagai Double Burden of Malnutrition. Hal tersebut dapat terjadi menahun dan turun-temurun apabila tidak ada intervensi dari pemerintah.
Sheena merinci, keadaan malanutrisi berisiko membuat perempuan melahirkan keturunan yang dalam keadaan malanutrisi. Begitu pula pada laki-laki, kondisi itu dapat menurunkan keaktifan mereka di usia produktif. ”Pada perempuan, misalnya, terlihat dalam riskesdas angka penderita anemia di kalangan perempuan meningkat dari 37,1 persen hingga hampir 50 persen,” ujarnya.
Padahal, Generasi Z pada sensus penduduk tahun 2020 mencapai 27,94 persen dari total populasi Indonesia. Artinya, sekitar 75,94 juta dari total penduduk 270,2 juta jiwa rentan mengalami malanutrisi.
Keadaan malanutrisi dalam konteks obesitas bisa menyebabkan gangguan kerja sistem paru-paru, fungsi jantung, serta pembuluh darah (kardiovaskular). Sementara malanutrisi dalam konteks kekurangan gizi bisa menyebabkan anemia hingga defisiensi vitamin.
Situasi tersebut agaknya dipengaruhi perubahan pola hidup selama pandemi. Sheena mengatakan, ada faktor seringnya pola konsumsi dari makanan dan minuman pesan antar yang cepat saji. Sebagian dari produk tersebut mengandung karbohidrat sederhana atau lemak yang berlebihan bagi tubuh.
Padahal, asupan gizi bisa dipenuhi dengan kadar karbohidrat kompleks, serat, vitamin, dan protein yang seimbang. Hal ini pun tertuang dalam Tumpeng Gizi Seimbang yang dianjurkan oleh Kementerian Kesehatan.
Adapun sumber karbohidrat kompleks memenuhi 45 hingga 60 persen kebutuhan energi sehari-hari. Hal ini dapat dipenuhi dengan nasi, jagung, kentang, ubi, dan sejenisnya.
Kebutuhan serat, vitamin, serta mineral dapat dipenuhi dengan konsumsi sayur dan buah. Dua sampai tiga porsi buah dan sayur semestinya sudah memenuhi kebutuhan dalam sehari.
Asupan protein juga memenuhi 25 persen dari kebutuhan energi sehari-hari. Sheena menyarankan, asupan protein dapat memadukan lauk hewani dan nabati. Lauk hewani berupa daging, telur, atau susu, sedangkan lauk nabati berupa tempe atau tahu.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyampaikan, persoalan malanutrisi akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Hal ini, misalnya, terlihat pada penuntasan tengkes (stunting) di Indonesia yang masih sangat sulit.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenkes bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka prevalensi tengkes 2019 sebesar 27,67 persen. Angka ini turun 3,1 persen dibandingkan dengan Riskesdas 2018. Meski begitu, total angka kasus tengkes masih lebih tinggi dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 20 persen.
”Segala macam gangguan dalam proses kehidupan kita akan berdampak ke tahapan berikutnya. Jadi, ketika masa remaja kita sudah kekurangan gizi, obesitas, atau anemia, tentu akan berdampak pada kesehatan di masa yang akan datang,” ujar Hasto.
Situasi pandemi juga diyakini memperburuk persoalan tengkes. Sebab, pandemi memengaruhi perekonomian masyarakat sehingga menghambat tumbuh kembang dan pemenuhan gizi anak. Tercatat 60 persen posyandu tidak menjalankan fungsinya dan lebih dari 86 persen program tengkes berhenti akibat pandemi.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Yayasan Kesehatan Perempuan Nanda Dwinta Sari menyampaikan bahwa masalah tengkes juga menandakan persoalan kesehatan anak dan perempuan begitu krusial. Bagi dia, perlu intervensi tingkat tinggi hingga ke pemerintah untuk mengatasinya (Kompas, 9/4/2021).