Mengubah Paradigma Sampah Perumahan
Banyak cara ditempuh pengembang untuk mewujudkan kompleks hunian yang asri dan ramah lingkungan. Di perumahan Vida Bekasi di Bekasi, Jawa Barat, ini, pengembang mengajak warga memilah sampah rumah tangga.
Pembuangan sampah selama ini menjadi salah satu masalah yang dihadapi kompleks perumahan di mana pun. Tak mau terjebak persoalan ini, pengembang perumahan Vida Bekasi, yang terletak tak jauh dari TPST Bantargebang, Bekasi, justru secara aktif mengajak warga untuk ikut serta memilah dan mengolah sampah rumah tangga. Cara ini diharapkan bisa mengurai persoalan sampah dan menghasilkan kawasan hunian ramah lingkungan.
Vida Bekasi terletak di Jalan Narogong Raya, Bekasi. Kawasan hunian terpadu ini menempati lahan seluas 140 hektar. Lokasinya hanya sekitar 6 kilometer dari Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang yang menerima 7.500 ton sampah per hari dari DKI Jakarta.
Sejak pertama kali didirikan, Vida Bekasi sudah beberapa kali mengalami perubahan nama dan pergantian pengembang. Pada 2014, PT Bina Nusantara Raya (Gunas Land) berkomitmen merancang dan membangun kawasan berkelanjutan untuk penghuninya.
Nia Kurniasih (44), waga Vida Bekasi, mengatakan banyak perubahan yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya sejak pertama kali ia tinggal pada 2008. Perubahan yang paling terasa terutama terkait pengolahan dan pengelolaan sampah rumah tangga warga.
“Kalau dulu, petugas sampah datang tidak tentu. Sampah dibiarkan menumpuk berminggu-minggu sehingga lingkungan dan jalanan jadi kotor dan banyak belatung. Sekarang, petugas datang lebih teratur dan warga diajak memilah sampah,” ujarnya, Senin (1/3/2021).
Pemilahan dan pengolahan sampah di perumahan Vida Bekasi terbagi menjadi tiga, yaitu sampah organik, anorganik, dan residu. Sampah organik dimanfaatkan sebagai pupuk kompos. Sampah anorganik didaurulang sesuai jenisnya, seperti plastik, kardus, dan kertas. Sehingga yang tersisa hanyalah residu, atau sisa pengolahan sampah, untuk dikirim ke Bantargebang.
Baca juga:
Insentif Sektor Properti Disambut Baik dengan Catatan
Lebih asri
Dampak dari perubahan pengolahan sampah ini, menurut Nia, lingkungan tempat tinggal jadi lebih asri karena tidak ada lagi sampah menumpuk. Warga, termasuk anak-anak dan remaja juga jadi lebih peduli terhadap lingkungan. Selain itu, setiap sampah yang dihasilkan memiliki nilai ekonomi yang dapat dimanfaatkan oleh warga.
Untuk mendukung perubahan, Nia dan sejumlah warga mendirikan bank sampah. “Bank sampah sudah berdiri sejak 21 Februari 2017. Menjelang Ramadhan, warga bisa mencairkan tabungan sampah mereka. Setiap warga menerima Rp 900.000 – Rp 1.400.000. Ini membuat warga senang karena bisa untuk tambahan kebutuhan menjelang Lebaran,” jelas ibu dengan tiga anakyang sehari-hari bekerja sebagai guru TK ini.
Pengolahan sampah di Vida Bekasi bekerja sama dengan Waste4Change, perusahaan pengelolaan sampah yang memiliki misi mengurangi jumlah sampah yang berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Bersama Waste4Change, pengembang tidak hanya memperbaiki sistem pengolahan sampah, tetapi juga mengedukasi warga agar peduli terhadap lingkungan.
Nia mengatakan, ketika pertama kali diminta memilah sampah banyak warga menolak karena dianggap merepotkan. Namun, dengan adanya edukasi terus menerus, lama kelamaan warga menerima perubahan ini. Apalagi, sekarang warga menyadari sampah punya nilai ekonomi.
Monica S (30), karyawan perusahaan rintisan di bidang teknologi, sudah lama mendengar soal aktivitas yang dilakukan Waste4Change untuk lingkungan. Ia merasa senang sekali ketika mengetahui perusahaan pengelolaan sampah itu bekerja sama dengan pihak perumahan. Hal inilah yang turut menjadi pertimbangan ketika ia membeli sebuah unit rumah di Vida Bekasi, pada 2018.
Menurut Monica, fasilitas yang ditawarkan perumahan sesuai dengan kebutuhan yaitu ketersediaan fasilitas keamanan, taman, dan pengelolaan lingkungan. Selain itu, ia juga mempertimbangkan soal harga, kemudahan membayar angsuran, dan lokasi dekat dengan orang tua di daerah Cibubur, Jakarta Timur.
“Ketika saya survei, saya melihat warga memilah sampah mereka sendiri. Pihak pengembang juga bekerja sama dengan beberapa pihak seperti Waste4Change dan Sekolah Seniman Pangan. Ini menjadi lingkaran ekonomi warga,” ujarnya.
Ketika menghuni rumah barunya, ia sama sekali tidak keberatan dengan aturan memilah sampah. Monica justru semakin tertantang untuk lebih menjaga lingkungan dengan mengurangi penggunaan sampah plastik. “Kebiasaan memilah sampah mempengaruhi saya, sekarang saya jadi lebih mengurangi penggunaan botol plastik sekali pakai,” katanya.
Tidak berhenti dengan mengelola sampah, Vida Bekasi juga menyediakan kawasan hijau dan danau 6 – 7 hektar. Selain itu, dibangun untuk menampung air hujan untuk mengantisipasi banjir. Perumahan ini juga menyediakan Pasar Alam untuk ruang pertemuan warga.
Pertama kali Direktur Vida Bekasi Edward Kusuma melihat kawasan perumahan pada 2011 ia melihat daerah itu masih asri dengan kawasan hijau. Dengan lingkungan yang masih asri, ia ingin menciptakan kawasan hunian seperti di Ubud, Bali. Namun, di sisi lain, Edward juga melihat tantangan daerah perumahan berada berdekatan dengan TPST Bantargebang.
“Melihat fakta ini, saya ingin melakukan sesuatu. Sebagai developer saya ingin menjadi solusi bukannya menambah persoalan sampah,” ujarnya.
Untuk mewujudkan gagasannya, sejak 2014 Edward menggandeng Waste4Change. Bersama perusahaan ini, pengembang mengajak warga untuk memilah dan mendaur ulang sampah rumah tangga. Dengan pemilahan sampah warga diajak untuk mengurangi jumlah sampah non-daur ulang ke tempat pembungan sampah. Pada saat yang sama, perusahaan Waste4Change memproduksi kompos dan bahan daur ulang.
Baca juga:
Kolaborasi Membangun Kota Baru Mandiri
Mengatasi resistensi
Dalam perjalanannya, resistensi warga menjadi tantangan utama dalam pengelolaan sampah. Apalagi, sebagaian warga adalah penghuni lama yang sudah terbiasa dengan sistem sampah tanpa dipilah.
“Bayangkan saja, dulu iuran sampah hanya Rp 8.000 per bulan. Sekarang menjadi Rp 100.000 per bulan. Sudah iuran meningkat, warga diminta memilah sampah. Kami sering dimaki-maki warga karena dianggap membuat aturan yang merepotkan,” tutur Edward.
Menurut dia, problem pengolaan sampah selama ini terjadi karena ada ketidakseimbangan biaya yang diterima dan dikeluarkan untuk mengolah sampah. Iuran sampah yang terlalu minim, misalnya, menyebabkan banyak petugas sampah yang tidak mendapatkan penghasilan memadai. Selain itu, sampah jadi tidak terkelola dengan baik.
Idealnya, setiap orang mengeluarkan biaya sesuai besaran sampah yang dihasilkan. Dengan begitu, warga akan lebih cermat untuk membeli dan membuang benda. Namun, hal ini belum bisa diterapkan di Indonesia karena kesadaran itu belum terbentuk. Hal ini berbeda dengan negara lainnya, seperti Jepang, yang menerapkan aturan iuran berdasarkan volume sampah.
Head of Operational Service Waste4Change Martinus Devy Adrian menjelaskan, setiap hari pihaknya menerima 4,3 ton sampah warga di Vida Bekasi. Dengan adanya pemilahan dan pengolahan sampah, ia berharap dapat mengurangi pengiriman sampah ke Bantargebang.
“Kalau problem sampah ini tidak ditangani, masalah antrean sampah ke TPA bisa terus berulang dan menyebabkan penumpukan sampah di rumah warga,” katanya.
Ketika pertama kali menerapkan sistem pemilahan sampah banyak warga menunjukkan resistensi. Penolakan mereka ditunjukkan dalam berbagai bentuk, mulai dari bersikap cuek, hingga terang-terangan menolak. Namun, lama kelamaan sikap warga berubah. Sebagian warga kini menjadi aktor penggerak perubahan. Mereka bahkan membentuk bank sampah.
Dalam kesempatan terpisah, JLL Indonesia memaparkan bahwa selama masa pandemi ini penjualan perumahan tapak cukup stabil karena para pembeli didominasi oleh calon penghuni yang memang membutuhkan hunian. Lembaga ini mencatat sepanjang 2017 - 2020 terdapat 35.000 unit rumah baru yang diluncurkan. Pada 2020, terdapatpeluncuran 16.000 rumah tapak. Jumlah ini melonjak 1.000 unit dari tahun sebelumnya.
“Kami melihat cara bayar yang fleksibel yang ditawarkan oleh pengembang untuk target milenial menjadi daya tarik,” katanya.
Head of Research JLL Indonesia, Yunus Karim, menjelaskan, pada dasarnya pertimbangan utama dalam pembelian rumah tapak adalah keterjangkauan harga yang dikompromikan dengan luas rumah yang diperoleh dan lokasi rumah tersebut.
Selanjutnya para pembeli juga akan mempertimbangkan kemudahan untuk mencapai tempat kerja, seperti akses jalan tol atau transportasi publik, kepastian pembangunan yang berkaitan dengan reputasi pengembang dan fasilitas baik di dalam maupun di sekitar lokasi perumahan.
“Setelah faktor-faktor utama tersebut telah dipertimbangkan, maka ada kemungkinan faktor-faktor lain menjadi pelengkap seperti ramah lingkungan, berteknologi tinggi atau smart home,” jelasnya. (DNA)
Baca juga: