Berbagi Strategi Mencermati Prospek Properti 2021
Sektor properti masih akan menghadapi tantangan di tahun 2021 ini, meski diperkirakan akan terjadi kenaikan kembali penjualan. Menghadapi situasi yang belum normal ini, berbagai strategi dibutuhkan, termasuk kolaborasi.
“If 2020 was the year that changed everything, 2021 may be the year where change becomes the new standard.“
Kutipan akhir Vivin Harsanto, Head of Advisory Jones Lang LaSalle (JLL) Indonesia, dalam “Ngobrol Property Bersama Synergy Group” secara virtual, Jumat (5/2/2021), itu, seakan menjadi titik pijak bersama sebagian besar pengembang dalam mencoba bangkit dengan mencermati prospek properti tahun 2021.
Dalam diskusi virtual yang digelar dua pekan terakhir, mulai yang digelar Synergy Grup, dilanjutkan Asosiasi Real Estate Broker Indonesia hingga DPP Real Estate Indonesia, terungkap bahwa kondisi properti tahun 2021 belum sepenuhnya bisa dihadapi dengan mudah oleh pengembang properti.
Para pengembang dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit. Melanjutkan pembangunan diterpa pembatasan sosial berskala besar, meluncurkan produk baru dihadang ketakutan konsumen. Melindungi “pasukan” penjualan properti juga sebanding pentingnya dengan melindungi konsumen.
Tantangan besar itu disikapi dengan proses adaptasi. Bermunculan inovasi dan kreativitas baik terkait penciptaan produk properti yang “akrab” dengan protokol kesehatan maupun terobosan memperkenalkan produk secara virtual tiga dimensi. Langkah-langkah strategis itu menjadi standar baru untuk kebangkitan pasar properti di Tanah Air.
Pemandangan yang tak kalah menarik adalah sikap berbagi strategi antar-pengembang dalam mencermati prospek properti 2021. Semangat kompetitif seakan diredam, tergantikan keterbukaan berbagi strategi untuk sama-sama bertahan di masa-masa sulit ini.
Direktur Utama PT Intiland Development Tbk Hendro Gondokusumo dalam HUT ke-49 REI, Kamis (11/2/2021), mengatakan, “Semua industri properti terkena dampak Covid-19. Kita tetap perlu menghadapi dan harus terus berani belajar.”
Yang perlu diyakinkan, kata Hendro, potensi pasar tetap ada, meskipun target penjualan tidak tercapai. Kuncinya, berani mencari diferensiasi properti.
Nanda Widya, Komisaris PT Metropolitan Land Tbk, pun tanpa ragu membagikan strategi bertahan pengembang properti, yakni mulai dari menjaga arus kas perusahaan dan melakukan efisiensi dengan mengurangi biaya-biaya perusahaan, menunda proyek yang membutuhkan dana besar, memprioritaskan proyek yang bisa segera dijual, dan mengurangi aktivitas operasional.
Selain itu juga melakukan negosiasi dengan bank apabila ada masalah pinjaman, menginisiasi pemasaran digital, fokus pada proyek yang nilai jualnya di bawah Rp 1 miliar hingga bekerjasama dengan agen-agen pemasaran dan melakukan kerjasama proyek sesama pengembang jika diperlukan.
Di luar itu semua, pengembang juga perlu memperbaiki sistem operasional perusahaan dan bekerjasama dengan perbankan melalui REI agar para konsumen diberikan kemudahan untuk mendapatkan KPR. Yang juga penting, para pengembang perlu mempercepat vaksinasi mandiri dengan bantuan REI dan Kadin untuk para karyawannya. “Saya kira, kita perlu 1-2 tahun untuk pasar properti normal kembali,” ujar Nanda.
Heintje Mogie, Mortgage and Secured Loan Head of Business CIMB Niaga, dengan berbekal data global, khususnya pertumbuhan sektor usaha di Indonesia 2019-2020, menegaskan, “Tahun ini belum booming (real estate), melainkan lebih tepat disebut rebound.”
Berdasarkan data BPS, semua sektor usaha terdampak Covid-19. Pertumbuhan penjualan real estate tahun 2020 mencapai 2,32 persen dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 5,76 persen. Namun, sektor lainnya menunjukkan pertumbuhan negatif, seperti industri pengolahan, perdagangan, konstruksi, pertambangan dan penggalian, transportasi dan pergudangan, akomodasi dan makanan-minuman, jasa perusahaan dan pengadaan listrik dan gas.
Potensi pasar
Vivin memaparkan peluang potensi pasar properti berdasarkan analisis JLL. Selama 10 tahun ini, penyerapan permintaan perkantoran di area CBD Segitiga Emas Jakarta relatif berada di bawah suplai. Tahun 2017-2019, banyak sekali pasokan perkantoran, sedangkan permintaan tak cukup kuat mengejarnya. Efeknya, okupansi dan penyewaan tertekan.
Tahun 2021, suplai diperkirakan makin meningkat. Padahal, suplai tahun lalu mencapai sekitar 222.600 meter persegi, sementara permintaannya hanya sekitar 33.000 meter persegi. Tahun 2021, permintaan diperkirakan sedikit meningkat. Okupansi pada tahun 2020 sekitar 74 persen.
“Kita positif terhadap permintaan. Yang menyejukkan tahun 2020, tetap ada penyerapan pasar perkantoran. Siapa dia? Inilah konsumen dari perusahaan teknologi maupun e-commerce yang butuh beraktivitas di kantor,” ujar Vivin.
Untuk kawasan non-CBD, JLL melihat tahun 2013-2014 merupakan puncak pasar antara penyewaan dan okupansi. Tahun 2020 suplai baru mencapai 99.000 meter persegi, tetapi permintaan hanya 22.000 meter persegi dengan okupansi 76 persen. Tenant non-CBD rata-rata lebih menjaga penataan bisnis untuk bertahan hidup.
Sektor ritel, terutama di Jakarta, cukup stabil. Tahun 2011, pemerintah menerapkan moratorium pembatasan pembangunan mal. Selama 10 tahun, okupansi stabil. Tahun 2018-2019, suplai hampir tidak ada, sedangkan tahun 2020 hanya ada satu mal baru. Sementara, tahun 2021 diperkirakan ada lagi pasokan satu proyek mal.
“Dari sektor ritel, suplai baru akan meningkat. Sementara, net demand tahun 2020 terjadi minus 34.000 meter persegi karena banyak yang keluar. Sebetulnya, keluar karena department store yang mau masuk keburu (dihadang) pandemi. Kemudian, anchor tenant digantikan dengan mini anchor,” jelas Vivin.
Sektor ritel cukup menantang, karena tiga tahun terakhir ini, sektor ritel menjadi tempat masyarakat mencari hiburan. Selain untuk makan, minum, dan belanja, pusat-pusat perbelanjaan lebih digunakan sebagai tempat bersosialisasi. Dengan kondisi PSBB, ritel cukup menderita sehingga diperlukan insentif. Okupansi tahun 2020 yang mencapai sekitar 87 persen, diperkirakan akan sedikit menurun.
Sektor kondominium atau apartemen, sejak 2015 sebetulnya sudah mulai perlahan-lahan menurun. Sebab, saat itu diberlakukan pengampunan pajak (tax amnesty) dan krisis komoditas sehingga banyak investor melepas kembali aset-asetnya. Padahal, tahun 2014, ketika produk kondominium baru diluncurkan, pre-sales bisa mencapai 40 persen.
Kelesuan terjadi, karena kepercayaan pembeli turun. Hingga tahun 2020, pre-sales kondominium sangat rendah di level 10 persen, sehingga para pengembang langsung beralih ke model rumah tapak (landed house).
Tahun 2020, produk baru kondominium yang diluncurkan seluas 1.200 meter persegi, sedangkan permintaan sekitar 1.000 meter persegi. Tahun 2021, jumlah pasokan diperkirakan akan terbatas dan kondisi permintaan pun hampir mirip. Harga rata-rata tahun 2021 diperkirakan datar.
Di sektor rumah tapak, pasokan maupun permintaan di Jakarta Raya relatif stabil. Tahun 2020, pasokan baru mencapai sekitar 16.000 unit dengan total permintaan berkisar 13.000 unit. Rata-rata penjualan tahun 2020 sekitar 72 persen dan ini diperkirakan akan stabil.
JLL memandang, pembeli properti tetap elastis. Menyesuaikan kebutuhan dan keterjangkauan harga menjadi faktor kunci. Uniknya, tahun 2020 tetap ada pengembang yang bermain di level tinggi dengan harga Rp 30 miliar. Namun, reputasi pengembang, kelengkapan fasilitas dan aksesibilitas yang baik akan tetap menjadi pertimbangan konsumen.
“Kami melihat adanya sentimen kenaikan untuk landed house. Ada beberapa township baru yang diluncurkan, tetapi kuncinya tetap terletak pada fleksibilitas dan atraktif (cara) pembayarannya. Beberapa bentuk joint venture diumumkan. Jadi, kolaborasi pengembang juga menjadi kunci,” kata Vivin.
Alim Gunadi, Managing Director of Strategic Business and Services Sinar Mas Land, mengharapkan, vaksinasi Covid-19 bisa mendorong dunia industri bergerak sekaligus mendorong daya beli. Dari sana lah, orang bisa kembali berinvestasi, walaupun tahun 2020 industri properti secara keseluruhan tetap tumbuh meski kecil.
Mencermati peluang-peluang di masa sulit ini, Managing Director Ciputra Group Budiarsa Sastrawinata mengatakan, “Krisis tidak tahu kapan datang dan perginya. Karena itu, kita jaga cash flow, sambil mengidentifikasi masalah dan terobosan kreatif. Tidak lagi harus konservatif. Kita boleh bersikap progresif, tetapi tetap perlu hati-hati.”