Pilpres, Keadilan Substantif, dan Kepatuhan Hukum
Hasil pilpres adalah manifestasi suara rakyat, maka harus dipastikan diperoleh dengan cara benar, jujur, dan adil.
Senin, 22 April 2024, Mahkamah Konstitusi dijadwalkan akan membacakan putusan perkara perselisihan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2024.
Putusan tersebut akan menentukan presiden dan wakil presiden Indonesia untuk masa jabatan lima tahun ke depan. Putusan MK ini sekaligus diharapkan dapat menyudahi proses politik pilpres dengan berbagai konstelasi yang melingkupinya melalui putusan hukum yang adil dan berkepastian.
Pilpres di satu sisi merupakan salah satu mekanisme yang harus dilalui dalam negara demokrasi dan di sisi lain juga merupakan titik kritis bagi integrasi dan integritas nasional. Pengalaman menunjukkan ada beberapa negara yang tidak berhasil melalui titik kritis ini. Alih-alih membentuk pemerintahan yang demokratis, pilpres justru menjadi awal terkoyaknya persatuan dan kesatuan bangsa yang mengakhiri integrasi dan integritas sebuah bangsa.
Karena itu, wajar jika putusan MK mendapat perhatian besar, baik dari masyarakat dalam negeri maupun luar negeri. Penyelesaian perkara perselisihan hasil pilpres melalui putusan MK tersebut tentu akan menentukan keberhasilan tidak hanya bagi MK, tetapi juga bagi segenap bangsa Indonesia dalam menjalani pilpres untuk menentukan pemerintahan yang akan datang.
Keberhasilan bangsa Indonesia menjalani Pilpres 2024 ini juga bentuk nyata keberhasilan menjalankan prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum.
Dalam konteks perselisihan hasil pilpres, apa pun putusan MK nanti adalah putusan akhir yang bersifat final dan mengikat.
Keadilan substantif
Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, Pasal 24 UUD 1945 menegaskan bahwa tugas utama MK adalah menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan itu dapat dimaknai bahwa orientasi utama MK dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara adalah demi menegakkan hukum dan keadilan.
Tanggung jawab konstitusional menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan itu menempatkan MK tidak semata-mata sebagai court of law, tetapi juga sebagai court of justice. Konstruksi demikian merupakan perkembangan yang tidak dapat dihindarkan.
Walaupun dari sisi teoretis ada yang membedakan antara court of justice yang dijalankan oleh pengadilan biasa dan court of law yang diperankan oleh pengadilan konstitusi, bagaimanapun antara hukum dan keadilan tak dapat dipisahkan karena tujuan utama hukum adalah menegakkan keadilan.
Selama keberadaan MK, terdapat tiga jenis permohonan perkara yang telah diterima, diperiksa, diadili, dan diputus oleh MK, yaitu pengujian undang-undang (UU), perselisihan hasil pemilu/pilkada, dan sengketa kewenangan lembaga negara. Perkara yang paling banyak diterima adalah pengujian UU dan perselisihan hasil pemilu/pilkada.
Dalam pengujian UU, perkara yang harus diperiksa, diadili, dan diputus tidak hanya terkait dengan pertanyaan apakah suatu ketentuan UU bertentangan dengan norma hukum dasar tertentu sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Banyak perkara yang mengharuskan MK menguji ketentuan suatu UU dengan nilai keadilan sebagai nilai dasar yang menjiwai UUD 1945.
Bahkan, MK juga dihadapkan pada tuntutan untuk memberikan kepastian penafsiran UU sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat atau yang selama ini dikenal sebagai keadilan substantif.
Demikian pula halnya dalam perkara perselisihan hasil pilpres, MK bergerak menjadi pengadilan yang menegakkan keadilan substantif. Di sini, MK bukan sekadar sebagai pengadilan perkara perselisihan penghitungan suara atau yang sering disebut sebagai mahkamah kalkulator. Pergerakan atau pergeseran ini terjadi bukan karena kehendak para hakim konstitusi untuk memperluas kompetensi MK, melainkan semata-mata untuk menegakkan konstitusi dan memenuhi tuntutan keadilan substantif.
Baca juga: Terobosan Hakim Konstitusi Pulihkan Kepercayaan terhadap MK
Hasil pilpres adalah manifestasi suara rakyat. Sebagai jaminannya, hasil pilpres harus dipastikan diperoleh dengan cara yang benar, jujur, dan adil. Kemudian, dihitung dengan benar, sesuai dengan prinsip one man, one vote, one value.
Karena itu, perkara perselisihan hasil pilpres tidak dapat dilihat secara sempit sebagai perselisihan penghitungan suara di atas kertas, tetapi harus dilihat pula bagaimana suara itu diperoleh.
Suara yang diperoleh dengan cara yang melanggar prinsip jujur dan adil tentu tidak dapat dibiarkan karena sama halnya dengan membiarkan terjadinya ketidakadilan, baik bagi peserta pilpres maupun bagi para pemilih itu sendiri.
Menutup mata terhadap pilpres yang melanggar prinsip jujur dan adil sama halnya dengan membiarkan terbentuknya pemerintahan yang bukan merupakan manifestasi kehendak rakyat. Sebab, pilpres hanya akan menjadi prosedur memperoleh kekuasaan semata. Jika hal itu sampai terjadi, akan menjadi awal dari malapetaka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kepatuhan hukum
Pasal 24C UUD 1945 menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, antara lain untuk memutus perkara perselisihan hasil pilpres.
Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). Artinya, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh. Putusan MK wajib dipatuhi dan dilaksanakan. Ini adalah perintah konstitusi sebagai wujud kesepakatan bersama segenap warga negara.
Desain putusan MK bersifat final dan mengikat tentu tidak dapat dilepaskan dari hakikat keberadaan MK dalam konteks negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum. MK adalah pengadilan konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus obyek sengketa atau perkara dengan ukuran konstitusionalitas.
Dalam konteks pilpres, otoritas akhir penentu perkara perselisihan hasil pilpres diperlukan agar kontestasi pilpres yang tak berkesudahan tidak terjadi.
Baca juga: Beban Sejarah Mahkamah Konstitusi
Pilpres adalah instrumen yang diperlukan agar roda demokrasi berjalan dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk mencapai tujuan bersama. Jika proses pilpres tak berkesudahan, mekanisme demokrasi dalam pemerintahan pun tidak akan dapat berjalan sehingga tujuan nasional pun akan terabaikan.
Legalitas putusan final dan mengikat harus disertai dengan legitimasi sehingga melahirkan kepatuhan. Legitimasi itu bersumber dari proses persidangan MK, personal hakim konstitusi, dan argumentasi putusan MK.
Proses persidangan harus berjalan secara adil dan transparan, memberikan kesempatan yang sama kepada semua pihak serta dapat diikuti oleh masyarakat. Transparansi sangat penting karena putusan yang akan dijatuhkan dapat dinilai dengan rasio publik.
Legitimasi juga ditentukan oleh personal hakim konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. UUD 1945 mensyaratkan hakim konstitusi adalah seorang negarawan yang menguasai konstitusi. Negarawan memiliki makna yang luas, tetapi setidaknya dapat diartikan sebagai seseorang yang sudah terlepas dari kepentingan individu dan kelompok politik. Kepentingan bangsa dan negaralah yang menjadi orientasi satu-satunya.
Sumber legitimasi berikutnya adalah argumentasi putusan MK. Bagian utama dari putusan MK yang menjadi kekuatan legitimasi adalah argumentasi yang menjadi pertimbangan hukum putusan MK (ratio decidendi). Pertimbangan hukum putusan MK yang komprehensif, mempertimbangkan semua alat bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, serta memiliki kejelasan nalar hukum akan menjadi sumber utama legitimasi putusan MK itu sendiri.
Legalitas dan legitimasi adalah dasar bagi kepatuhan. Suatu putusan yang legal dan memiliki legitimasi kuat dengan sendirinya akan mendatangkan kepatuhan. Kepatuhan adalah kesediaan untuk menerima dan menjalankan putusan, tidak selalu terkait dengan persetujuan, apalagi kepuasan.
Terhadap perkara yang melibatkan dua atau lebih pihak yang saling berhadapan hampir tidak mungkin ada putusan yang disetujui apalagi memuaskan semua pihak.
Kita patut bangga bahwa putusan MK dalam perkara perselisihan hasil pilpres sejak 2004 sampai dengan 2019 dipatuhi oleh semua pihak, dalam arti diterima dan dihormati, baik oleh pemohon, termohon, maupun pihak terkait.
MK adalah pengadilan konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus obyek sengketa atau perkara dengan ukuran konstitusionalitas.
Kebanggaan ini tidak semata-mata milik MK, tetapi milik bangsa Indonesia yang telah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi sesuai prinsip negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum.
Kepatuhan tersebut tentu tidak mensyaratkan adanya persetujuan atau kepuasan. Artinya, bisa saja ada pihak yang masih tidak setuju atau tidak puas dengan putusan yang telah dijatuhkan, tetapi yang terpenting adalah putusan itu diterima, dihormati, dipatuhi, dan dilaksanakan sebagai hukum.
Dalam konteks perselisihan hasil pilpres, apa pun putusan MK nanti adalah putusan akhir yang bersifat final dan mengikat. Kalaupun masih terdapat proses hukum atau proses politik lain yang dilakukan, hal itu harus ditempatkan bukan sebagai forum untuk mempersoalkan hasil pilpres, melainkan lebih untuk memperbaiki penyelenggaraan pilpres di masa yang akan datang.
Hanya dengan kepatuhan seperti itulah demokrasi dapat berlanjut ke tahapan yang lebih substantif, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang senantiasa melibatkan partisipasi masyarakat. Semua pihak harus berpartisipasi, baik sebagai pemegang pemerintahan maupun sebagai penyeimbang. Keduanya harus ada dan dijalankan.
Janedjri M Gaffar,Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang