Putusan MK, Arah Dukungan Jokowi, dan Jawa Timur Bisa Menentukan
›
Putusan MK, Arah Dukungan...
Iklan
Putusan MK, Arah Dukungan Jokowi, dan Jawa Timur Bisa Menentukan
Tingkat elektabilitas Ganjar dan Prabowo yang kompetitif membuat penentuan bakal cawapres mereka bisa menentukan. Dalam hal ini, putusan MK soal batas usia capres-cawapres dan arah dukungan Jokowi cukup berpengaruh.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·4 menit baca
Dengan tingkat elektabilitas yang cukup kompetitif, penentuan bakal cawapres bagi Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto akan berpengaruh terhadap perolehan suara.
Dalam penentuan cawapres itu, putusan MK, arah dukungan Jokowi, akan menentukan.
Jawa Timur dengan 15 persen pemilih berada di sana, juga menjadi faktor penentu.
JAKARTA, KOMPAS – Meskipun bakal calon wakil presiden bisa menentukan, ada beberapa faktor lain yang juga bisa menentukan keadaan jelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden pada 19 Oktober mendatang. Faktor itu meliputi pengaruh Jawa Timur dengan 15 persen suara berada di sana dan merupakan basis Nahdlatul Ulama, arah dukungan Presiden Joko Widodo, dan putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan batas usia bakal capres dan cawapres.
Hingga saat ini, baru bakal capres Anies R Baswedan yang telah didampingi bakal cawapres, yakni Muhaimin Iskandar, yang juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa. Adapun dua bakal capres lain, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, belum mengumumkan sosok yang akan menjadi pendamping sebagai bakal cawapres.
Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda dalam paparan survei dan diskusi ”Kekuatan Politik Elektoral Menuju Pendaftaran Capres-Cawapres 2024” yang diselenggarakan secara daring oleh Poltracking Indonesia, Sabtu (7/10/2023), mengungkapkan bahwa variabel cawapres cukup penting. Meskipun, lanjutnya, berdasarkan hasil survei Poltracking terbaru yang dilaksanakan pada 3-9 September 2023, adanya bakal cawapres dinilai tidak memberikan tambahan pemilih yang signifikan karena hanya akan bertambah 2-3 persen.
Meski demikian, menurut Hanta, jumlah itu tetap penting diperhitungkan karena tingkat elektabilitas Ganjar maupun Prabowo sangat kompetitif. Pada survei Poltracking terbaru diperoleh hasil bahwa tingkat elektabilitas Prabowo sebesar 38,9 persen, Ganjar 37,0 persen, Anies sebesar 19.9 persen, serta sekitar 4,2 persen memilih tidak menjawab atau belum tahu. Dengan demikian, selisih Prabowo dan Ganjar sekitar 4 persen.
Itu pula sebabnya, menurut Hanta, Prabowo dan Ganjar belum menentukan bakal cawapres. ”Kalau keliru menentukan cawapres, nanti bisa berpotensi blunder,” ucapnya.
Hanta kemudian mengatakan, kemungkinan lainnya adalah kedua bakal capres itu belum juga menentukan bakal cawapres karena masih menunggu perkembangan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pengujian Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) soal batas usia capres dan cawapres. Dalam hal ini, Hanta mengaitkannya dengan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, yang belakangan kerap diwacanakan sebagai bakal cawapres potensial bagi Prabowo.
”Kemungkinan mereka masih menunggu perkembangan keputusan di MK terkait Mas Gibran (Rakabuming Raka),” ucapnya.
Mesin politik sukarelawan
Di sisi lain, lanjut Hanta, arah dukungan Jokowi tetap harus diperhitungkan sebagai faktor pendongkrak elektabilitas bakal capres. Tingginya tingkat kepuasan masyarakat kepada pemerintahan Jokowi dan Ma’ruf Amin mengingat Jokowi dua kali memenangi pilpres, mesin politik berupa sukarelawan, termasuk kecenderungan partai politik untuk merapat ke Jokowi merupakan faktor-faktor yang memperlihatkan pentingnya arah dukungan Jokowi.
Arah dukungan Jokowi tetap harus diperhitungkan sebagai faktor pendongkrak elektabilitas bakal capres.
Masih terkait Jokowi, pengujian terhadap batas bawah usia seorang bakal cawapres di MK juga menjadi variabel baru yang mesti dicermati. ”Kalau Gibran jadi bakal cawapres, maka badannya Pak Jokowi pasti di situ,” ujar Hanta.
Guru Besar Ilmu Sosial dan Politik Universitas Airlangga Kacung Marijan pun menyampaikan pandangan hampir serupa. Menurut dia, meski saat ini partai politik telah mengelompok menjadi tiga poros, bukan berarti tidak ada kemungkinan perubahan. Beberapa hal yang dapat memengaruhi peta politik Pemilu 2024 adalah masih adanya pengujian batas usia seorang capres dan cawapres di MK yang berpeluang dikabulkan atau digugurkan. Faktor berikutnya adalah arah dukungan Jokowi yang tetap memiliki pengaruh penting.
Jawa Timur semakin penting
Di sisi lain, wilayah Jawa Timur kini menjadi semakin penting karena di situ terletak sekitar 15 persen pemilih serta merupakan basis utama organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Ketika seorang tokoh NU yang berasal dari Jatim dipilih sebagai bakal cawapres, hal itu dinilai akan memiliki dampak berganda ke anggota NU yang tersebar di banyak provinsi, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan.
Faktor lain yang dapat mengubah kontestasi adalah peristiwa tertentu yang bisa memengaruhi persepsi pemilih, semisal peristiwa ekonomi atau hukum yang menimpa kubu tertentu. ”Untuk pemilih yang masih mengambang atau belum memutuskan pilihannya itu akan melihat rasionalitas program yang ditawarkan saat kampanye,” ujar Kacung.
Pada kesempatan itu, Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk berpandangan, politik di Indonesia didominasi oleh sikap pragmatis. Sebab, yang dibicarakan dalam kontestasi menjelang pemilu bukanlah terkait platform, ideologi, tradisi, dan budaya politik, melainkan adu popularitas bakal capres dan bakal cawapres.
”Yang membedakan adalah popularitas individual atau mengapitalisasi sesuatu yang sifatnya personal. Semisal, orang memersepsikan (calon) ini baik, bagus merakyat, ini calon disenangi orang. Dan itu, kan, dipertajam lembaga survei,” tutur Hamdi.
Oleh karena itu, menurut Hamdi, berbagai analisis yang mempertimbangkan faktor-faktor seperti tidak adanya petahana, adanya efek Jokowi, hingga narasi perubahan sebagai antitesis Jokowi pada akhirnya bermuara pada perhitungan rasional yang bersifat pragmatis. Dengan demikian, otak-atik bakal cawapres yang hingga saat ini masih belum final, baik di kubu Prabowo maupun Ganjar, tidak lebih dari pertimbangan mana yang berpeluang lebih besar untuk menang.
Demikian pula di sisi pemilih, menurut Hamdi, tidak banyak masyarakat Indonesia yang mengerti dan memahami tentang visi dan misi seorang cawapres. Bagi mereka, kepopuleran lebih menjadi pertimbangan dalam menentukan calon pemimpinnya.