Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual Masih Rawan Lukai Korban
Pemberitaan kasus kekerasan seksual rentan ikut melukai korban. Pemilahan diksi hingga seleksi ketat redaksi dibutuhkan untuk mencegah hal itu terus terjadi.
Kasus kekerasan seksual yang terus berulang membuat pemberitaan soal peristiwa itu kian marak di media. Sayangnya, masih ada saja peliputan yang melanggar kode etik jurnalistik. Alih-alih membantu korban, pemberitaan tersebut justru melukai korban untuk kedua kalinya.
Belasan awak media berkumpul di Markas Kepolisian Resor Kuningan, Jawa Barat, Jumat (14/7/2023), untuk mengikuti konferensi pers terkait kasus pencabulan bapak tiri terhadap dua anaknya. Polisi menghadirkan tersangka yang mengenakan topeng dengan tangan terborgol.
”Tersangka melakukan itu pada anak tirinya yang pertama selama lima tahun, dari 2012 sampai 2017. Waktu itu, usia anaknya 9 tahun,” ucap Kepala Polres Kuningan Ajun Komisaris Besar Willy Andrian. Pelaku juga mencabuli adik korban yang masih belasan tahun selama tiga tahun.
Ketika sesi tanya jawab, muncul pertanyaan yang membuat sejumlah jurnalis geleng-geleng kepala. ”Ndan, (pencabulan) itu, kan,sudah lebih dari empat tahun. Apa mungkin ada faktor suka sama suka (antara korban dan pelaku)?” tanya seorang perempuan wartawan kepada Kepala Polres.
Sontak, beberapa jurnalis menggerutu, pertanda keberatan dengan pertanyaan itu. Willy lalu menjelaskan, tersangka mencabuli dua anak sambungnya dengan modus memaksa. Bahkan, pelaku sempat mendorong dan mencengkeram kedua tangan korban yang berusaha melawan.
Sembilan hari sebelumnya, saat jajaran Polres Cirebon Kota merilis kasus pencabulan, seorang wartawan juga menanyakan kemungkinan korban dan pelaku saling suka. Padahal, tersangkanya adalah seorang guru sekolah dasar berusia 26 tahun dan korbannya ialah siswa di lembaga itu.
Baca juga : Cabuli Dua Anaknya, Bapak Tiri di Kuningan Terancam 20 Tahun Penjara
Pertanyaan itu menunjukkan belum semua awak media memahami peliputan kasus kekerasan seksual yang berperspektif jender. Perspektif ini dalam praktik jurnalistik, meminjam pendapat Nur Iman Subono, adalah pemberitaan yang tidak menyudutkan perempuan dan korban.
Pandangan ”suka sama suka” dalam kasus itu bahkan kesalahan mengartikan kekerasan seksual. Komnas Perempuan mengungkapkan, kekerasan seksual berakar dari ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Misalnya, guru lebih punya kuasa dibandingkan siswanya.
Komnas Perempuan juga menyebutkan 15 bentuk kekerasan seksual, mulai dari pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan seksual, hingga kontrasepsi/sterilisasi paksa. Dari sini dapat ditarik benang merah bahwa kekerasan seksual erat kaitannya dengan paksaan (coercion).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 terkait Perlindungan Anak juga melarang kekerasan seksual pada anak. Pelanggarnya dihukum penjara 5-15 tahun dengan denda paling banyak Rp 5 miliar. Pidananya bertambah sepertiga jika pelakunya orangtua, wali, aparat, dan tenaga pendidik.
Dalam kekerasan seksual, tidak ada consent atau persetujuan. Terlebih, terhadap anak berusia di bawah 18 tahun, yang belum matang mengambil keputusan. Pasal 288 KUHP melarang perkawinan bersetubuh dengan wanita yang belum waktunya kawin.
Itu sebabnya, menilai kasus kekerasan seksual sebagai peristiwa ”suka sama suka” tidak sesuai dengan peraturan. Dalam konteks jurnalistik, pandangan subyektif itu membuat stereotipe buruk dan menghakimi korban. Dalam penelitiannya pada 2015, Komnas Perempuan merekam hal itu.
Laporan berjudul Analisis Media: ”Sejauh Mana Media Telah Memiliki Perspektif Korban Kekerasan Seksual” itu menganalisis berita kekerasan seksual yang terbit di sembilan media cetak serta daring, seperti Kompas, Republika, Indo Pos, Media Indonesia, dan Tempo.co.
Hasilnya, pemberitaan soal pemerkosaan mencapai 45 persen, lalu pelecehan (34 persen), perdagangan perempuan untuk tujuan seksual (10 persen), dan seterusnya. Pelanggaran pemberitaan terbanyak adalah mencampurkan opini dan fakta, yakni 38 persen.
Tidak hanya itu, penelitian juga menunjukkan 31 persen pemberitaan masih mengungkap identitas korban. Hal ini tidak sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ) Pasal 5. Dalam Pasal 4 KEJ juga diatur agar wartawan tidak menampilkan foto hingga tulisan yang memicu nafsu birahi.
Laporan penelitian terbaru oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tidar serta Dewan Pers tahun 2022 juga mencatat temuan penting. Tim peneliti, yakni Triantono, Muhammad Marizal, Fitria Khairun, dan Wahyu Eka Putri, mengecek pemberitaan di 10 media.
Media siber itu antara lain Okezone.com, Detik.com, Kompas.com, Tribunnews.com, Kumparan.com, Merdeka.com, dan Pikiran-rakyat.com. Dari penelitian itu, media masih mengungkap identitas korban. Bahkan, ada satu media yang pemberitaannya 65 persen melakukan hal tersebut.
Identitas di sini merupakan semua informasi dan data yang menyangkut diri seseorang sehingga orang lain mudah melacaknya. Tidak hanya KEJ, UU No 11/2012 tentang Peradilan Anak juga melarang pengungkapan identitas anak. Pelanggarnya terancam penjara maksimal 5 tahun.
Baca juga : Diduga Mencabuli Siswi SD, Guru di Cirebon Terancam 15 Tahun Penjara
Penelitian tersebut juga menemukan pemberitaan kekerasan seksual yang belum responsif jender. Misalnya, penggunaan diksi yang diskriminatif, seperti ”digilir” yang menggambarkan korban tidak berdaya dan menyamakan dengan piala. Seharusnya, pemerkosaan secara bergantian.
Begitu pula dengan diksi ”menodai” atau ”menggagahi” yang mereduksi makna pemerkosaan serta tidak empati kepada korban. Penelitian ini menemukan tiga media yang terindikasi mencantumkan diksi diskriminatif dengan porsi 31-48 persen dari pemberitaan.
Ada juga diksi yang mengundang stereotyping, seperti ”ibu muda”, ”seksi”, dan ”kebaya merah”. Sejumlah pemberitaan pun masih kerap menyalahkan korban atau victim blaming, seperti korban yang mengenakan pakaian seksi, berbadan montok, dan jalan malam.
Tim peneliti menemukan lima media yang menyudutkan korban dengan porsi 41 persen hingga 58 persen dalam pemberitaannya. Salah satu media bahkan melakukan stereotyping hingga 60 persen dari pemberitaannya. Data itu menunjukkan belum semua media responsif jender.
Selain ketidakpahaman redaksi terhadap peliputan yang responsif jender, penelitian ini juga menyebutkan kecenderungan media menggunakan berita yang kontroversial atau clickbait. Tujuannya, meraup audiens sebanyak-banyaknya. Apalagi, jumlah klik mendatangkan cuan.
Oleh karena itu, penelitian tersebut menyarankan redaksi melakukan seleksi ketat, termasuk soal diksi, dalam pemberitaan kekerasan seksual. Organisasi wartawan juga perlu terus memberikan pelatihan jurnalistik yang berperspektif pada perlindungan korban dan responsif jender.
Jangan sampai, peliputan dan pemberitaan kekerasan seksual oleh media tidak melindungi korban, tetapi melukainya lagi dan lagi.
Baca juga : Modus Kenalan via Medsos, Seorang Pria Perkosa Anak di Cirebon