Netralitas ASEAN Sangat Aktual
Di tengah tarikan dan adu pengaruh dua kekuatan dunia, ASEAN sahih untuk mempertahankan netralitasnya. Keberadaan ASEAN sangat relevan di era kini.
Salah satu rencana Amerika Serikat menghadapi China adalah meningkatkan kekuatan penangkal militernya di Asia. Penangkal ini tidak melulu bertujuan perang tetapi berfalsafah si vis pacem, para belum atau jika ingin damai, siaplah perang. Namun, rencana AS itu sekaligus membuat ASEAN dilematis karena berpotensi terseret.
Maka secara formil, ASEAN teguh dengan netralitas. Pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 di Labuan Bajo, 9 – 11 Mei 2023, ASEAN menekankan tidak memilih China atau AS. Netralitas ini sangat aktual dan mengena. ASEAN dekat dekat China, episentrum pertumbuhan global.
Baca juga: Peta Tantangan Keketuaan Indonesia di ASEAN 2023
Namun, ASEAN tidak berada pada hubungan internasional yang linear. Seperti kata mantan Presiden AS Barack Obama kepada CNN, 22 Juni, relasi internasional itu tidak pernah jernih. ASEAN telah “sakit hati” dengan dominasi China di Laut China Selatan.
Lagi, kekuatan geopolitik itu anarkis. Jika harus keras ia akan bertindak keras. China dan AS tidak ada bedanya, telah menunjukkan diri sebagai kekuatan pemaksa. Netralitas ASEAN itu akan diuji di depan.
Netralitas yang buram
Garisan tentang netralitas ASEAN sekarang ini juga bersifat ambigu. Tidak jelas, apakah netralitas itu termasuk tak boleh berpihak pada AS atau China? Keberpihakan sudah dilakukan anggota-anggota ASEAN sebelum kekuatan bipolar AS-China terjadi.
Filipina dan Thailand sudah menjadi sekutu AS. Singapura menjadi pangkalan angkatan laut AS. Economist Intelligence Unit (IEU) edisi 10 Agustus 2022 menuliskan, diyakini Kamboja, Myanmar, dan Laos akan mendukung China. Indonesia, Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunai Darussalam memiliki sengketa wilayah dengan China, yang bisa mengubah netralitas ke depan. Myanmar dalam perkembangan terbaru “sudah dicengkeram” oleh China.
Ketidakjelasan netralitas ASEAN ini rentan. Terkait rencana AS menempatkan kekuatan penangkal di Asia, kemungkinan ASEAN akan terseret. Kekuatan penangkal ini AS ini akan ditempatkan di Asia Timur, kata Ketua Select Committee, Mike Gallagher (Republikan), yang gencar memikirkan ancaman China.
Baca juga: Meredam Bara di Laut China Selatan
“Tugas mendesak sekarang adalah memproduksi dan menempatkan sejumlah rudal dan amunisi teknologi tinggi ke Asia Timur,” kata Gallagher (Politico, 9 Juni 2023). Senjata penangkal yang diperlukan adalah rudal-rudal kategori Joint Air-to-Surface Standoff Missiles (JASSMs), Long Range Anti-Ship Missiles (LRASMs), rudal anti-kapal (Harpoon), rudal jelajah (Tomahawk) dan munusi-munisi lainnya.
Jika ini diwujudkan, maka ASEAN akan ada di antara titik-titik pajangan rudal. Di sisi lain, China sudah memiliki rudal-rudal di wilayah kedaulatannya sendiri.
Tong mesiu
AS akan turut mengubah Asia menjadi tong-tong mesiu, istilah yang dituliskan Van Jackson, 22 Oktober 2021 di situs Foreign Affairs dalam artikel berjudul “America Is Turning Asia Into a Powder Keg”. Ini merupakan reaksi terhadap China yang menguat. Jackson adalah peliti di Asia Pacific Foundation of Canada, dan dosen hubungan internasional di Victoria University of Wellington (Selandia Baru).
Jika rudal-rudal AS ini hendak bertujuan menakut-nakuti China, maka Asia Timur tidak memadai. China, dengan kekuatan besar dan penempatan militer meluas, terbentang dari Asia Timur hingga bertetangga langsung dengan ASEAN. AS lewat AUKUS (AS, Inggris, Australia) akan menempatkan empat kapal selam kelas Virginia AS (kapal selam serang canggih) dan satu kapal selam kelas Astute Inggris di Australia pada 2027.
Ini tidak akan memadai juga. Dengan demikian ada potensi penempatan rudal-rudal AS di luar itu. Jepang telah didorong oleh AS mengembangkan persenjataan hipersonik. Tersebut juga pembentukan basis militer baru AS di Papua Nugini, penempatan radar di Palau (dari artikel “Who’s to Blame for Asia’s Arms Race? Debating the Source of Growing U.S.-Chinese Tensions By Thomas Shugart; Van Jackson, 1 Desember 2021, Foreign Affairs).
Semua ini mengingatkan rencana yang pernah diperjuangkan keras oleh Jenderal AS Douglas MacArthur, yang berniat menguasai Taiwan. Tujuannya adalah agar AS mudah menaklukan China dari jarak dekat. Niat ini dulu diprotes PBB dan dibatalkan oleh Presiden AS Harry S Truman, termasuk dengan memecat MacArthur.
Baca juga: China "Usir" Kapal Perang AS dari Laut China Selatan
Akan tetapi pola pemikiran MacArthur itu tidak surut. AS ingin membendung dengan premis menakut-nakuti China. Alokasi penempatan senjata harus lebih luas.
Masuki Asia tenggara
Akhirnya Asia tenggara tersentuh juga. Tidak dalam konteks ASEAN, tetapi secara individu Filipina bersepakat lagi dengan AS tentang kerja sama militer. Istana Malacanang, 3 April 2023 mengumumkan empat lokasi bagi kerja sama militer bilateral.
Empat lokasi itu adalah pangkalan Camilo Osias di Sta Ana, Cagayan, Bandara Lal-lo di Lal-lo, Cagayan, Kamp Melchor Dela Cruz di Gamu, Pulau Isabela dan Balabac di Palawan. Semua lokasi ini terdekat dengan wilayah China.
Kerja sama ini bertujuan meningkatkan Kesepakatan Kerja Sama Peningkatan Pertahanan (Enhanced Defense Cooperation Agreement/EDCA). Lokasi-lokasi itu jadi basis penanganan bencana di Filipina, juga tindakan kemanusiaan dan pertolongan darurat.
Baca juga: Akses Militer AS di Filipina Diperluas, Kawasan Utara Indonesia Kian Bergejolak
Jubir Departemen Pertahanan Nasional (DND) Filipina, Arsenio Andolong, mengatakan lokasi-lokasi itu bukan sebagai pangkalan militer AS. DND menyebutkan lokasi itu hanya sebagai gudang penyimpanan logistik militer.
Presiden Marcos Jr turut mengatakan pangkalan itu bukan bertujuan menghadapi China. Akan tetapi seperti diberitakan Reuters, 4 Mei, AAS dan Filipina menyusun petunjuk baru kerja sama bilateral yang pernah ada, disebut 1951 Mutual Defense Treaty. Pembaruan ini dimintakan Presiden Ferdinand Marcos Jr.
Petunjuk baru telah dikeluarkan Pentagon dan menyebutkan komitmen pertahanan bersama jika ada serangan pada dua negara ini di Laut China Selatan. Tujuan komitmen ini tak pelak lagi terarah ke China.
ASEAN lainnya tidak tertutup kemungkinan bergabung dengan militer AS. Harian The South Morning Post, 11 Februari 2023, mengutip survei oleh ASEAS Yusof Ishak Institute Singapura terhadap 1.308 para pembuat kebijakan di Asia Tenggara. Hasilnya, popularitas Washington naik menjadi 61 persen dari 57 persen pada 2022. “Mayoritas anggota ASEAN diam-diam menyambut keberadaan militer AS untuk menandingi China,” kata Carl Thayer, profesor emeritus bidang politik dari University of New South Wales, Australia, dengan spesialisasi Asia Tenggara.
Ideologi itu relatif
Mungkin China akan berpikir dua kali jika Asia jadi lokasi pajangan rudal-rudal AS. Akan tetapi China juga bisa mencobai batas komitmen pertahanan AS dan melemahkan aliansi. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Mao Ning, 4 April, mengatakan fakta sudah jelas bahwa AS meningkatkan pengerahan militer di kawasan dengan mentalitas zero-sum dan mengejar ambisi diri.
“Negara-negara di kawasan harus berpikir tentang apa yang benar bagi kawasan,” kata Mao. Ia meminta kawasan memikirkan aksi yang saling menguntungkan sehingga memberi perdamaian dan stabilitas sembari mendapatkan kepentingan bagi diri sendiri.
Baca juga: Indonesia Serukan Penguatan Arsitektur Perlucutan Senjata Nuklir
Dengan garis pertahanan maritimnya yang tidak lagi sebatas rantai pulau pertama (first island chain), bahkan sudah mencapai rantai pulau kelima, China bisa dikatakan akan mudah menangkal keberadaan militer asing. Taring China sangat kuat, jika tujuannya adalah perang.
Di tengah semua faktor itu, nuansa netralitas ASEAN tetap urgen. Tidak akan pernah jernih atau tegas, netralitas relatif tetap mutlak. Lagi, AS adalah kekuatan yang sedang cemburu. Strategi AS yang melawan dua kekuatan sekaligus, yakni China dan Rusia, akan membuatnya sulit membela sekutunya. Ukraina menjadi contoh yang jelas tentang ini.
Ketimbang menjadikan ASEAN seperti Taiwan, Jepang, Korea Selatan yang sekarang menjadi sandera kekuatan China-AS, ASEAN tetap sahih untuk mempertahankan nuansa netralitas. Jackson menilai, pendekatan AS di Asia terlalu militeristik. Ini sangat riskan dan terlalu menonjolkan supremasi AS di tengah era yang berubah.
Negosiasi dan diplomasi merupakan langkah penting di tengah kekuatan yang berimbang, kata Zhang Yun, profesor dari National Niigata University (Jepang) dalam tulisannya berjudul “Militarizing East Asia” di situs China US Focus, 19 Januari 2023.
Mantan Menlu AS dan mantan Penasihat Keamanan Nasional AS, Condolezza Rice kepada CBS, 22 Juni mengatakan, tuduhan impulsif Presiden Joe Biden seperti cap diktator terhadap Presiden Xi Jinping, di tengah senjata yang berseliweran, akan berpotensi membuat seseorang cedera. Obamanya juga merespons Biden dengan mengatakan, ideologi itu tidak sederhana. Menyetarakan komunisme dengan kediktatoran, layak ditelaah.
“Ketika saya menjabat Presiden AS, saya berhadapan dengan figur-figur dari sekutu kita. Jika Anda bertanya pada saya, apakah mereka benar-benar memimpin secara demokratis. Apakah partai-partai politik mereka juga menjalankan demokrasi yang ideal. Saya harus berkata, tidak!” kata Obama.
Menteri Keuangan Janet Yellen menekankan meski ada kalimat Presiden Biden pada Presiden Xi, tetap penting bagi AS untuk berunding dengan China. Faktor-faktor ini harus menjadi pertimbangan. ASEAN berpotensi kuat menjadi pendorong negosiasi diplomatis, ketimbang buru-buru menjadikan diri sebagai tuan rumah bagi persenjataan AS. (AFP/Reuters)