Persinggungan antara militer Amerika Serikat dan China semakin sering terjadi di Laut China Selatan, halaman depan ASEAN dan Indonesia. Negosiasi kode perilaku tidak hanya harus dipercepat, tetapi juga diperluas.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·3 menit baca
Dalam sepekan terakhir, setidaknya ada dua persinggungan yang melibatkan militer Amerika Serikat dan China terjadi di Laut China Selatan. Peristiwa terkait kapal perang yang membawa peluru kendali di atasnya itu hanya berselang tiga hari.
Peristiwa serupa terjadi beberapa kali sebelumnya. Angkatan Laut China ”berhadapan” dengan pesawat pengintai militer milik AS yang terbang di atas Kepulauan Spratly yang disengketakan. Kejadian ini terekam kamera video milik stasiun televisi AS, CNN. Sebelumnya, patroli penjaga pantai China juga menggunakan sinar laser hijau terhadap para pelaut Filipina sehingga mereka kesulitan untuk melihat.
Tindakan militer China, terutama patroli penjaga pantai, yang semakin agresif terhadap berbagai pihak yang melintas di Laut China Selatan (LCS) membuat Filipina memilih memberikan akses lebih luas pada Departemen Pertahanan AS. Filipina mengizinkan Pentagon untuk menempatkan personel militer dan alat utama sistem persenjataan (alutsista) di wilayahnya. Ini termasuk penggunaan wilayah Filipina untuk mengawasi Selat Taiwan yang memanas selama beberapa waktu terakhir.
Tak sebatas itu, Filipina juga mengubah visi-misi angkatan bersenjatanya. Sebelumnya, visi militer Filipina lebih fokus mempertahankan kedaulatan terhadap serangan dari luar. Kini, dengan situasi di Laut China Selatan yang semakin panas, visi itu berubah menjadi pertahanan kedaulatan teritorial, terlebih yang sering terganggu oleh kehadiran kapal dan nelayan China.
Hal itu membuat situasi di Laut China Selatan menjadi tidak nyaman. Laut China Selatan sering disebut sebagai halaman depan negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia. Kekhawatiran akan terjadi salah perhitungan yang berujung pada konflik terbuka pun mengemuka.
Aturan main
Sejak lama negara-negara anggota ASEAN menyadari pentingnya menjaga situasi halaman depannya tetap kondusif. Laut China Selatan tidak berfungsi sebagai halaman belaka, tetapi tulang punggung perekonomian kawasan dan dunia karena jalur ini salah satu jalur distribusi barang dan jasa dunia. Pentingnya jalur ini membuat ASEAN mensponsori pembuatan kode perilaku (code of conduct/CoC) di Laut China Selatan.
Sejak tahun 2002, ASEAN dan China berupaya menyelesaikan berbagai aturan yang mendasari kode perilaku ini. Akan tetapi, hingga dua dekade kemudian, aturan ini sama sekali belum disepakati. Bahkan, tampaknya hingga saat ini pembahasan masih terkatung-katung.
Pertanyaan yang disampaikan Hikmahanto Juwana, Guru Besar Bidang Hukum Universitas Indonesia, saat diskusi soal kepemimpinan Indonesia di ASEAN, awal Februari 2023, menarik untuk dikaji kembali. Pertama, sampai di mana CoC berlaku di LCS? Kedua, dengan makin banyaknya aktor yang terlibat aktif di LCS, apakah aturan itu hanya mengikat ASEAN dan China saja? Bagaimana dengan negara-negara lain, seperti AS, Inggris, dan Australia yang membentuk AUKUS, pakta militer mini di halaman depan ASEAN?
Yang menjadi masalah dalam negosiasi soal CoC tidak hanya soal ketidakjelasan kapan negosiasi ini akan menemukan kata sepakat, tetapi juga karena sampai saat ini publik tidak mengetahui apa substansi draf CoC. Informasi yang beredar, pembahasan sudah sampai pada tahap pembacaan kedua. Meski pembicaraan sudah berlangsung dua dekade, tidak ada keterbukaan soal isi draf CoC.
Tentu saja banyak pihak bertanya-tanya, substansi apa yang ditawarkan CoC dan apa yang akan diterima para pihak? Pada saat yang sama, agenda dan aktor yang terlibat terus berkembang. Apakah hal ini juga bagian dari substansi yang diantisipasi para pihak?
Melihat situasi yang semakin dinamis, sebagai pengganti kata tidak menentu, hal ini harus disikapi dengan semakin intensnya negosiasi kode perilaku di LCS dengan para pihak. Jika memungkinkan, perluas para pihak yang terlibat dalam negosiasi ini. Diplomasi senyap yang biasa dijalankan ASEAN pada masanya bisa menghasilkan sesuatu.
Akan tetapi, tampaknya kini sudah saatnya memilih jalan diplomasi terbuka. Dengan demikian, para pihak yang tengah bermain-main bara di Laut China Selatan menyadari tidak ada manfaatnya apabila konflik benar-benar terjadi di perairan halaman depan ASEAN dan Indonesia.