Apakah problem kenaikan harga sejumlah pangan pokok akan terhenti seusai Lebaran?
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
Seusai Lebaran, harga sejumlah pangan pokok mulai turun. Cukup melegakan memang, kendati harganya masih tinggi ketimbang tahun lalu. Namun, apakah problem kenaikan harga akan berhenti seusai Lebaran?
Beras medium, misalnya, harga komoditas yang menjadi momok bagi pemerintah, terus turun dalam sepuluh hari terakhir. Berdasarkan Panel Harga Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga rerata nasional komoditas itu turun 0,36 persen dari Rp 14.450 per kilogram (kg) pada 11 April 2024 menjadi Rp 13.700 per kg pada 21 April 2024.
Begitu juga dengan harga telur dan daging ayam ras. Harga rerata nasional daging ayam ras yang sempat tembus Rp 39.800 per kg pada 12 April 2024, turun menjadi Rp 38.690 per kg per 21 April 2024. Adapun harga rerata nasional telur ayam ras per 21 April 2024 sebesar Rp 30.470 per kg. Harga telur tersebut sempat melejit Rp 32.150 per kg pada 11 April 2024.
Tahun lalu, harga rerata nasional beras medium tertinggi terjadi pada Oktober 2023, yakni Rp 13.210 per kg. Sementara itu, harga rerata daging ayam ras tertinggi terjadi pada Juni 2023, yakni Rp 37.950 per kg, dan telur ayam ras pada Juli 2023, yakni Rp 30.760 per kg.
Penurunan harga beras tidak terlepas dari panen raya padi yang semakin masif di sejumlah daerah pada Maret-April 2024. Panen raya jagung yang mulai merata di sejumlah daerah juga menjadi faktor utama penurunan harga daging dan telur ayam ras.
Kendati begitu, problem harga sejumlah pangan pokok masih bakal membayangi. Bapanas masih akan menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) di tingkat petani. Pada 3 April-30 Juni 2024, Bapanas telah memberlakukan HPP GKP sementara Rp 6.000 per kg dari sebelumnya Rp 5.000 per kg.
Sejumlah organisasi petani mengusulkan harga pokok penjualan (HPP) gabah kering panen (GKP), tetapi naik dari Rp 5.000 per kg menjadi Rp 7.000 per kg. Jika HPP GKP naik, biasanya akan diikuti dengan kenaikan HPP gabah kering giling dan harga eceran tetinggi (HET) beras. Pada 10 Maret-24 April 2024, Bapanas merelaksasi HET beras premium menjadi Rp 14.900-Rp 15.400 per kg. Hal itu agar beras premium dapat dijual di ritel modern mengingat harga beli sudah di atas HET sebelumnya.
Problem harga sejumlah pangan pokok masih bakal membayangi.
Di samping itu, Kementerian Perdagangan berjanji akan menyesuakan harga minyak goreng rakyat curah dan kemasan merek Minyakita paling lambat Oktober 2024. Per 19 April 2024, harga rerata nasional kedua jenis minyak goreng itu sama-sama sudah mencapai Rp 15.900 per liter atau di atas HET Rp 14.000 per liter.
Setiap musim giling tebu, Mei-Oktober, pemerintah biasanya memperbarui harga HPP gula di tingkat petani. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengusulkan HPP tersebut naik menjadi Rp 16.400 per kg. Hal itu tentu saja akan dibarengi dengan penetapan harga acuan penjualan (HAP) gula di tingkat eceran.
Tahun lalu, HPP gula di tingkat petani dipatok Rp 12.500 per kg, sedangkan HAP gula di tingkat eceran Rp 14.500-Rp 15.500 per kg bergantung wilayah. Lagi-lagi akibat harga beli sudah mencapai HAP sebelumnya, Bapanas merelaksasi sementara, 5 April-31 Mei 2024, HAP gula menjadi Rp 17.500-Rp 18.500 per kg.
Panel Harga Pangan Bapanas menunjukkan, harga gula konsumsi di tingkat eceran per 21 Arpil 2024 sebesar Rp 18.040 per kg. Kenaikan harga gula di atas HAP itu terjadi sejak Oktober 2023. Harga gula tersebut naik lantaran produksi turun akibat dampak El Nino dan mengalami fase paceklik produksi.
Daya beli
Rentetan rencana kenaikan HPP gabah dan HET beras, HPP dan HAP gula, serta HET minyak goreng sudah barang tentu akan mendorong kenaikan harga komoditas-komoditas itu. Belum lagi jika harga sejumlah pangan pokok dan energi turut terdampak ketidakpastian ekonomi global.
Sejumlah kalangan memperkirakan, jika konflik Iran-Israel kian meruncing, harga pangan dan energi global bakal kembali naik. Harga minyak mentah dunia diperkirakan akan menyentuh 100 dollar AS per barel. Hal itu berpotensi memicu kenaikan harga pangan dan bahan bakar minyak (BBM) di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Situasi dan kondisi itu akan kembali menempatkan Pemerintah Indonesia dalam posisi dilematis. Tak mudah menetapkan harga acauan pangan lantaran harus mewadahi kepentingan produsen, pelaku industri, dan konsumen.
Pasca lebaran, daya beli masyarakat, termasuk produsen pangan, sudah pasti turun. Belum benar-benar bernapas lega, masyarakat juga akan dihadapkan pada tahun ajaran baru pada Juni-Juli 2024. Dompet dan tabungan mereka yang sudah berkurang untuk belanja Ramadhan-Lebaran akan semakin tergerus untuk memenuhi biaya pendidikan.
Di sisi lain, pelaku industri, terutama makanan dan minuman jadi, sudah beberapa kali menunda menaikkan harga produk karena mempertimbangkan daya beli. Jika harga acuan pangan di dalam negeri berubah dan harga bahan baku pangan impor naik, bisa jadi harga produk jadi tak lagi segan naik.
Inflasi tahunan di Indonesia pada tahun ini memang diramalkan terkendali atau terjaga sesuai sasaran 2,5-3,5 persen. Namun, di balik angka-angka inflasi itu, daya beli masyarakat masih belum baik-baik saja. Daya beli tersebut telah mengalami berbagai ”kejutan” sejak pandemi Covid-19 hingga kenaikan harga BBM pada 2022 dan harga pangan pada 2024.
Kenaikan harga pangan, apa pun bentuknya, pada tahun ini, tetap akan berimbas pada daya beli masyarakat. Dibutuhkan kebijakan dan penghitungan yang benar-benar terukur dan tertakar baik agar produsen, pelaku industri, dan konsumen sama-sama legawa di saat harga acuan sejumlah pangan pokok naik.