Kecemasan masyarakat telah bergeser dari pandemi Covid-19 ke biaya hidup yang semakin tinggi. Hal itu terjadi di saat penghasilan usaha dan upah atau gaji masih tertatih-tatih mengisi dompet bahkan tabungan.
Oleh
HENDRIYO WIDI
·4 menit baca
Tren penurunan inflasi akibat kenaikan harga komoditas pangan domestik dan global tengah terjadi. Kendati begitu, kenaikan harga beras tengah menghantui Indonesia. Meskipun tingkat inflasi tidak akan setinggi sebelumnya, di balik angka inflasi itu dompet masyarakat, khususnya kelas bawah, merana.
Dalam Asian Development Outlook Edisi September 2023 yang dirilis pada Rabu (20/9/2023), Bank Pembangunan Asia (ADB) menurunkan proyeksi inflasi Indonesia. Tingkat inflasi Indonesia pada 2023 direvisi menjadi 3,6 persen dari perkiraan sebelumnya yang 4,2 persen pada proyeksi April 2023.
Kendati begitu, ADB juga mengingatkan, laju penurunan inflasi itu dapat terhambat gegara dampak El Nino. Fenomena pemanasan suhu muka laut di atas kondisi normal itu dapat menyebabkan kekeringan panjang. Pada 29 September 2023, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi fenomena El Nino di Indonesia masih berlangsung hingga awal Januari 2024.
Kementerian Pertanian memperkirakan, dampak El Nino sedang dapat menyebabkan produksi beras berkurang sekitar 380.000 ton beras. Namun, jika yang terjadi El Nino kuat, produksi beras yang hilang bisa mencapai 1,2 juta ton.
Laju penurunan inflasi itu dapat terhambat gegara dampak El Nino.
Tim Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk bahkan menyebut, kekeringan panjang akibat El Nino akan berpengaruh terhadap penurunan produksi beras. Untuk setiap kenaikan suhu sebesar 1 derajat celsius, diperkirakan akan menurunkan produksi beras sebesar 3,2 persen dari total produksi beras. Pada tahun ini, produksi beras dalam negeri turun 3-6 persen.
Penurunan produksi itu akan diikuti dengan kenaikan harga gabah dan beras sehingga akan berujung pada kenaikan inflasi. Hal itu terindikasi dari kenaikan harga beras yang terjadi sejak Juli 2023. Hingga September 2023, Badan Pusat Statistik mencatat, harga rata-rata beras secara nasional di tingkat pengilingan Rp 12.708 per kilogram, grosir Rp 13.037 per kg, dan eceran Rp 13.799 per kg.
Kenaikan harga beras tertinggi terjadi di tingkat penggilingan, yakni sebesar 10,33 persen secara bulanan dan 27,43 persen secara tahunan. Adapun di tingkat konsumen, harga beras naik 5,61 persen secara bulanan dan 18,44 secara tahunan.
BPS juga menyebutkan, kenaikan harga beras yang tajam justru terjadi di sentra-sentra produksi padi nasional, seperti di Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan pasokan beras akibat penurunan produksi padi di sentra-sentra produsen beras tersebut.
Hal itu menjadikan beras sebagai penyumbang utama inflasi September 2023 yang sebesar 0,19 persen secara bulanan dan 2,28 persen secara tahunan. Andil beras terhadap inflasi bulanan dan tahunan itu masing-masing 0,18 persen dan 0,55 persen. Inflasi beras juga tinggi, yakni 5,61 persen secara bulanan dan 18,44 persen secara tahunan.
Inflasi beras juga tinggi, yakni 5,61 persen secara bulanan dan 18,44 persen secara tahunan.
Pada tahun ini, pemerintah optimistis inflasi akan terkendali dan terjaga sesuai target Bank Indonesia dan pemerintah, yakni di kisaran 2-4 persen. Kendati begitu, di balik optimisme dan angka inflasi itu masyarakat kelas bawah paling menanggung kenaikan harga beras tersebut.
Masyarakat kelas menengah juga harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli beras. Bahkan, petani yang merupakan produsen padi, terpaksa harus membeli beras dengan harga lebih mahal di saat stok gabah di rumah habis.
Meroketnya harga beras pada tahun ini juga bakal berkontribusi besar pada garis kemiskinan September 2023. Dalam penghitungan garis kemiskinan Maret 2023 yang mencapai Rp 550.458 per kapita per bulan, beras berkontribusi terbesar, yakni 19,35 persen di perkotaan dan 23,73 persen di perdesaan. Waktu itu, harga beras belum setinggi September 2023.
Kenaikan harga beras bukan satu-satunya penyebab tergerusnya dompet masyarakat. Akumulasi kenaikan sejumlah harga barang dan jasa, termasuk bahan bakar minyak, minyak goreng, dan tarif angkutan umum, belum sebanding dengan kenaikan upah atau gaji.
Pemerintah kerap menyatakan, dampak kenaikan harga BBM subsidi pada September 2022 terhadap inflasi bakal mereda bahkan menghilang pada tahun ini. BPS, Senin (1/10/2023), mengonfirmasi hal itu bahwa efek dasar kenaikan harga BBM subsidi pada tahun lalu sudah menghilang per Agustus 2023. Sementara kenaikan harga BBM nonsubsidi per 1 September 2023 lebih kecil dampaknya dari tahun lalu.
Hal serupa juga akan berlaku sama terhadap kenaikan harga beras. Selama harga beras dan BBM sudah telanjur naik atau membentuk harga baru yang lebih tinggi dari harga lama, hal itu bakal tetap langgeng menggerus dompet masyarakat. Seiring berjalannya waktu, efek dasar inflasi atas kenaikan harga itu akan menurun, tetapi tidak untuk pengeluaran masyarakat.
Saat ini, pemerintah gencar memberikan bantuan beras kepada keluarga berpenghasilan rendah. Pemerintah juga pernah memberikan bantuan langsung tunai kepada mereka untuk mengompensasi kenaikan harga BBM subsidi.
Kecemasan masyarakat telah bergeser dari pandemi ke biaya hidup yang semakin tinggi di saat penghasilan usaha, serta upah atau gaji, masih tertatih-tatih mengisi dompet bahkan tabungan.
Bantuan-bantuan itu bagus karena memberikan bantalan sosial. Namun, bantuan itu sifatnya hanya sementara. Ketika bantuan sudah tak lagi diberikan, masyarakat kembali mati-matian bertahan hidup di era barang dan jasa yang serba naik dan serba mahal.
Bagi para buruh atau pekerja formal, mau menuntut kenaikan upah atau gaji juga kesulitan. Sejak pandemi atau mungkin bahkan sebelum pandemi, tuntutan itu selalu terbentur dengan refrain ”perusahaan sedang tidak baik-baik saja”.
Di balik (angka) inflasi, entah itu rendah atau tinggi, bahkan deflasi, kenaikan harga barang dan jasa masih menjadi beban masyarakat. Kecemasan masyarakat telah bergeser dari pandemi ke biaya hidup yang semakin bertambah tinggi di saat penghasilan usaha, serta upah atau gaji, masih tertatih-tatih mengisi dompet bahkan tabungan.