Pasar Modal dan Kurs Rupiah Terjerembap
Tekanan pelemahan di pasar keuangan ini diperkirakan masih terus berlanjut setidaknya hingga pekan ini.
JAKARTA, KOMPAS — Meningkatnya ketegangan geopolitik Iran melawan Israel berikut inflasi di dalam negeri dan libur panjang Lebaran telah berdampak pada pasar keuangan dalam negeri. Pada perdagangan perdana pascalibur Lebaran, Selasa (16/4/2024), Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG terkoreksi lebih dari 100 basis poin dan nilai tukar rupiah melanjutkan tren depresiasi.
Tekanan pelemahan di pasar keuangan ini diperkirakan masih terus berlanjut setidaknya hingga pekan ini.
IHSG pada perdagangan perdana pascalibur Lebaran, Selasa, anjlok 1,68 persen. Pada penutupan perdagangan, IHSG merosot 122,075 basis poin ke posisi 7.164,807 setelah pada pembukaan perdagangan berada pada level 7.286.
Sejumlah saham papan atas melorot. Emiten BBCA, misalnya, pada pembukaan perdagangan Selasa, saham dibuka di harga Rp 9.350 per lembar, melorot dibandingkan penutupan perdagangan terakhir pada Jumat (5/4/2024) di harga Rp 9.825 per lembar. Pada Selasa kemarin, saham BBCA bergerak di angka Rp 9.250-Rp 9.575 per lembar dan ditutup pada angka Rp 9.475 per lembar.
Sementara BBRI dibuka di harga Rp 5.375 per lembar, melorot dibandingkan dengan harga pada penutupan perdagangan terakhir sebelum libur Lebaran di harga Rp 5.650 per lembar. Selasa ini, BBRI bergerak di kisaran Rp 5.350-Rp 5.575 per lembar dan ditutup di angka Rp 5.350 per lembar.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa, Bursa Efek Indonesia (BEI), Irvan Susandy mengatakan, pergerakan IHSG pada Selasa (16/4/2024) dipengaruhi faktor global dan domestik.
Dari sisi global, terjadinya peningkatan tensi politik di antara negara-negara Timur Tengah pascaserangan lebih dari 300 drone dan rudal oleh Iran ke Israel pada Sabtu (13/4/2024) waktu setempat. Selain itu, ada kenaikan US Treasury Yield seiring peningkatan inflasi Amerika Serikat dan dinamika geopolitik
Periode libur panjang Lebaran Idul Fitri 1445 H turut menyebabkan pelemahan IHSG di tengah berbagai sentimen ekonomi global yang terjadi.
Dari sisi domestik, beberapa rilis data ekonomi domestik dalam dua minggu terakhir turut memengaruhi terkoreksinya IHSG, yaitu inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Maret 2024 tercatat sebesar 3,05 persen secara tahunan, meningkat dibandingkan pada bulan Februari 2024 yang sebesar 2,75 persen secara tahunan. Cadangan devisa Maret 2024 tercatat sebesar 140,4 miliar dollar AS, turun dibandingkan pada bulan Februari 2024 yang sebesar 144 miliar dollar AS.
Selain itu, periode libur panjang Lebaran Idul Fitri 1445 H turut menyebabkan pelemahan IHSG di tengah berbagai sentimen ekonomi global yang terjadi. Periode libur panjang Lebaran di RI berlangsung selama 8-15 April 2024 sehingga penyesuaian pasar baru terjadi di hari ini, Selasa (16/4/2024).
Baca juga: IHSG ”Kebakaran” Jelang Libur Panjang Lebaran
Sebagai informasi, lanjut Irvan, indeks bursa-bursa global, seperti Vietnam, Taiwan, China, Korea Selatan, Jepang, Filipina, dan Australia, telah mencatatkan penurunan lebih dari 2 persen dalam dua hari terakhir sejak Jumat. Hal ini mengindikasikan adanya penyesuaian IHSG seiring dengan akumulasi risiko pasar selama periode libur.
Guru Besar Keuangan dan Pasar Modal Universitas Indonesia Budi Frensidy menjelaskan, terkoreksinya IHSG dipicu oleh berbagai sentimen negatif yang membuat arus modal keluar dari lantai bursa. Ketegangan geopolitik Iran melawan Israel menjadi pemicu timbulnya berbagai kekhawatiran yang menciptakan sentiment negatif.
Baca juga: Rupiah Anjlok 303 Poin, Dampak pada Daya Saing Industri Jadi Perhatian
Ia menjelaskan, ketegangan ini langsung mengerek naik harga minyak dunia. Bila harga minyak dunia terus merangkak naik, misalkan hingga 100 dollar AS per barel, akan menciptakan inflasi tak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia.
Dari dalam negeri, harga minyak yang mahal itu biasanya ditangkal dengan pemberian subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bila subsidi BBM dinaikan untuk mencegah inflasi dan menjaga daya beli masyarakat, ruang fiskal yang ada semakin terbatas.
Hal ini diperparah oleh depresiasi rupiah akibat menguatnya mata uang dollar AS dibandingkan dengan mata uang dunia. Dampaknya, utang negara bisa kian terbebani.
Skenario kondisi perekonomian yang seperti ini, lanjut Budi, tidak menguntungkan di mata investor. Akhirnya, investor pun mencabut modalnya dari lantai bursa untuk dialihkan ke kelas aset yang mempunyai risiko lebih kecil dan mempunyai imbal hasil yang lebih menguntungkan.
”Berbagai sentimen negatif inilah yang membuat IHSG terkoreksi cukup tajam,” ujar Budi, Selasa.
Ia memperkirakan sampai setidaknya sepekan ke depan, IHSG masih akan dalam zona merah. Adapun IHSG diperkirakan bergerak di rentang 7.050-7.150 hingga sepekan ke depan. Tekanan di lantai bursa, lanjut Budi, masih akan berlanjut selama belum ada tanda-tanda akan berakhirnya konflik Iran melawan Israel.
Kurs rupiah
Mengutip kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada perdagangan Selasa ditutup pada level Rp 16.176. Rupiah melemah 303 basis poins atau 1,90 persen dibandingkan perdagangan terakhir sebelum libur lebaran pada 5 April 2024 yang berada di level Rp 15.873. Selama 6 April-15 April tidak tercatat JISDOR karena libur Lebaran.
Seperti dikutip Google Finance, nilai tukar rupiah sendiri sudah menyentuh level Rp 16.000 sejak perdagangan pada 10 April 2024. Saat itu, nilai tukar rupiah ditutup pada level Rp 16.002.
Peneliti bidang Makroekonomi dan Keuangan di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) Teuku Riefky menjelaskan, depresiasi sejatinya sudah terjadi sejak sebelum konflik Iran dan Israel pecah.
Bank sentral AS, The Federal Reserves (The Fed), mengatakan akan menurunkan suku bunga acuan di pertengahan tahun ini. Namun, hal ini kemungkinan akan tertunda karena berbagai data perekonomian AS menunjukkan data yang tak mendukung penurunan suku bunga itu.
Akhirnya, terjadilah arus modal keluar di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia. Arus modal keluar itu membuat pasokan dollar AS di dalam negeri berkurang, sementara permintaan tetap. Akibatnya, nilai tukar dollar pun menguat dan rupiah melemah.
Mengutip data teranyar kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) yang dirilis Direktorat Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, pada 5 April kepemilikan asing pada SBN mencapai Rp 807,20 triliun atau setara dengan 14,14 persen dari total SBN. Tren kepemilikan asing di SBN ini terus menurun bila dibandingkan dari akhir Maret yang sebanyak Rp 810,71 triliun atau 14,20 persen dari total SBN.
Baca juga: Keperkasaan Emas dan Sejarah Panjang Posisinya sebagai Alat Lindung Nilai
Imbal hasil SBN dengan tenor 10 tahun meningkat pada perdagangan Selasa, meningkat menjadi 6,97 persen setelah sebelumnya pada posisi 6,72 persen. Kenaikan imbal hasil ini menunjukkan harga yang turun. Adapun harga yang turun ini menunjukkan investor asing menjual kepemilikannya di SBN.
Selain itu, dengan munculnya konflik Iran melawan Israel, ada kemungkinan dollar AS akan kian menguat. Sebab, pemodal akan mengalihkan dananya ke instrumen yang punya risiko lebih kecil dan punya imbal hasil yang lebih menguntungkan (safe haven). Dua instrumen itu adalah dollar AS dan SBN AS.
Suku bunga acuan bank sentral AS yang masih tinggi membuat menyimpan dana di dua kelas aset itu lebih menguntungkan dan berisiko rendah. Di tengah ketidakpastian global, aset yang berisiko rendah jadi tujuan para pemodal.
”Ini disebut fenomena flight to safety, di mana investor akan pindah dari aset berisiko tinggi menuju aset berisiko lebih rendah,” ujar Riefky.
Riefky menjelaskan, sampai dengan pekan depan, pasar keuangan baik dollar AS maupun SBN masih berpotensi dalam tekanan sampai dengan adanya tanda-tanda ketegangan geopolitik bisa mereda sehingga semuanya kembali tenang.
Tenangkan pasar
Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia, Ryan Kiryanto, memperkirakan, sepanjang ketegangan geopolitik Iran dengan Israel belum mereda, maka tekanan itu akan terus datang.
Dampaknya bisa merembet ke berbagai hal. Dimulai dari potensi kenaikan harga minyak, tren depresiasi rupiah, hingga merembet ke inflasi, mengurangi daya beli masyarakat, hingga perlambatan ekonomi.
Oleh karena itu, lanjut Ryan, dia mengusulkan agar pemerintah bersama Bank Indonesia harus hadir memberikan pernyataan resmi kepada publik tentang apa yang sedang terjadi dan apa saja langkah yang akan ditempuh untuk menanggulangi kondisi ini.
”Pernyataan bersama ini penting untuk menciptakan ketenangan di pasar. Ini bisa memberikan rasa confident kepada pelaku ekonomi kita,” ujar Ryan.
Baca juga: Antisipasi Iran-Israel, Pemerintah Akan Evaluasi Ulang Anggaran Subsidi