Keperkasaan Emas dan Sejarah Panjang Posisinya sebagai Alat Lindung Nilai
Status investasi sebagai ”safe haven” atau aset pelindung nilai telah disandang emas sejak lama, sepanjang sejarah peradaban manusia. Jika awalnya berkaitan dengan estetika, emas lalu berubah fungsi sebagai nilai tukar.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
TOKYO, SELASA — Emas menyentuh rekor tertinggi di harga 1.944,71 dollar AS per troy ons di Asia pada perdagangan Senin (27/7/2020) kemarin. Para investor dan pemburu emas beralih ke aset investasi itu di tengah tekanan ekonomi global, khususnya menghadapi pandemi Covid-19. Status investasi sebagai safe haven atau aset pelindung nilai telah disandang emas sejak lama sepanjang sejarah peradaban manusia.
Orang Mesir adalah yang pertama diduga menambang emas, yakni sekitar tahun 3000 sebelum masehi (SM). Distribusi emas yang cukup seimbang di seluruh planet ini menandakan banyak peradaban menggunakan logam itu dalam masyarakat mereka. Awalnya digunakan sebagai bagian dari keindahan atau menunjukkan sesuatu yang indah, sejak tahun 700 SM emas mulai digunakan sebagai mata uang, bersama dengan perak. Karena dinilai berharga, emas kemudian disebut sebagai logam mulia.
Karena sifatnya yang relatif langka, tetapi mudah diekstrak dan digunakan, sekaligus tahan karat, emas pun dinilai cocok untuk digunakan sebagai media pertukaran. Fungsi-fungsi itu mempertahankan peran sentral emas dalam sistem moneter selama berabad-abad.
Sejarah menyatakan, hanya kurang dari 50 tahun yang lalu emas kehilangan perannya yang menopang sistem moneter internasional. Hal itu terjadi pada tahun 1971 saat Presiden AS Richard Nixon meninggalkan sifat dapat ditukar (convertibility) dollar AS menjadi emas yang telah menopang sistem moneter internasional pasca-Perang Dunia II.
Saat emas kehilangan peran moneternya, hal itu tidak berarti emas kehilangan peran sebagai cara pelindung atau penyimpan nilai. Peran itu terutama terlihat saat aset investasi lain dapat dilanda resesi atau inflasi.
Keuntungan dari emas
Carlo Alberto De Casa, analis di ActivTrades dan penulis buku tentang logam mulia, mengatakan bahwa satu keuntungan dari emas adalah bahwa ”banyak nilai dapat disimpan di lingkungan yang kecil” karena kelangkaan dan harganya.
Produksi emas tetap relatif stabil dari waktu ke waktu dibandingkan dengan bahan baku lainnya. Ambil contoh minyak, yakni kartel minyak OPEC telah menggunakan kemampuannya untuk menghidupkan dan mengurangi produksi. Langkah itu diambil semata-mata demi kepentingan mendukung harga selama beberapa dekade.
Bandingkan dengan emas. Antara tahun 2018 dan 2019, produksi emas hanya naik tipis sekitar 1 persen, dan hanya untuk didaur ulang semata. Pasokannya, menurut data, meningkat total 3 persen saja. ”Fitur penting lainnya adalah bahwa emas, berbeda dengan greenback (dollar AS) dan mata uang lainnya, tidak dapat dicetak,” kata De Casa kepada kantor berita AFP.
Meski bank sentral, seperti Federal Reserve AS dan Bank Sentral Eropa, belum mencetak uang tunai, mereka telah melakukan hal yang hampir sama dengan menciptakan uang elektronik untuk membeli aset seperti obligasi pemerintah dan korporasi. Selama beberapa tahun terakhir, mereka telah menyuntikkan sejumlah besar uang ke ekonomi mereka dengan cara itu guna mendukung pertumbuhan.
Kondisi banjir likuiditas seperti itu cenderung menurunkan nilai mata uang. Bunga yang akan diperoleh dari obligasi pemerintah telah turun karena bank sentral cenderung melakukannya untuk mengurangi permintaan dari investor asing. Namun, berbeda dengan obligasi, emas tidak menawarkan bunga. Dan tidak ada dividen untuk investor, tidak seperti ketika mereka menempatkan uang mereka di aset seperti saham.
Bersinar saat krisis
Memang, dalam kondisi yang normal alias situasi ekonomi yang baik-baik saja, argumen berinvestasi emas mungkin tidak berkilauan mencolok mata. Namun, ketika dan selama masa krisis, harga emas akan bersinar. Nilainya benar-benar terputus dari ekonomi riil.
Nilai saham bisa jatuh selama resesi karena prospek keuntungan yang turun. Investor bisa kehilangan segalanya jika mereka memegang saham di perusahaan yang bangkrut. Inflasi pun menggerogoti nilai surat utang. Investor pun lalu memburu emas sebagai aset pelindung nilai selama masa krisis ekonomi atau volatilitas menghantam pasar keuangan.
Meski memiliki status pelindung nilai, logam mulia lainnya, seperti perak dan paladium, tidaklah sama dengan emas. Penggunaan perak dalam produk industri berarti bahwa selama resesi harganya cenderung turun karena permintaan dari produsen juga turun.
Para analis mengatakan, kekhawatiran tentang masa depan saat ini telah mendorong reli emas. Ipek Ozkardeskaya dari Swissquote Bank menyebutkan, ”Modal terus mengalir ke logam mulia di belakang risiko yang tidak menentu dan memudarnya kepercayaan mengenai kekuatan dan kenaikan dalam ekuitas global.”
Namun, ada juga yang tidak suka dengan emas dan statusnya sebagai pelindung nilai aset. Yang paling menonjol adalah investor legendaris Warren Buffett. Sebagai investor legendaris, pilihan investasi Buffett diikuti banyak orang. Penjelasannya soal emas kondang pada tahun 1998.
”Emas digali dari tanah di Afrika atau di suatu tempat. Kemudian kita meleburnya, menggali lubang lain, menguburnya lagi, dan membayar orang untuk berdiri di sekitarnya menjaganya,” katanya. ”Jelas tidak ada gunanya. Siapa pun yang menonton dari Mars akan menggaruk-garuk kepala.”
Jauh sebelum kala itu, ekonom John Maynard Keynes mencemooh standar emas sebagai ”peninggalan yang biadab”. Meski emas dinilai dapat memberikan atau menggantikan tempat yang aman, keamanan itu sebuah hal yang relatif. Investasi oleh spekulator dapat meningkatkan volatilitas jangka pendek dan dalam jangka panjang pemulihan pertumbuhan global akan membuat investor melakukan aksi jual dan harganya jatuh. (AFP)