Manipulasi Kapal Angkutan Dorong Revisi UU Pelayaran
Muncul indikasi, masih banyak manipulasi kepemilikan kapal angkutan dalam negeri yang dikuasai pemodal asing.
JAKARTA, KOMPAS — Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mendapat dukungan dari pelaku usaha. Salah satu isu pokok dalam revisi itu adalah penguatan asas cabotage. Muncul indikasi, masih banyak praktik manipulasi kapal pengangkutan niaga dalam negeri yang sebenarnya dimiliki asing.
Lahirnya prinsip asas cabotage tertuang di dalam UU No 17/2008 Pasal 8, yakni kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia. Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia.
Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Lasarus mengemukakan, perubahan kedua UU No 17/2008 tentang Pelayaran telah diusulkan dalam program legislasi nasional. Terdapat empat isu pokok revisi itu, di antaranya penguatan asas cabotage untuk meningkatkan kinerja sektor industri pelayaran, perbankan, asuransi, pelabuhan, ketenagakerjaan, perdagangan, logistik, dan tenaga kerja.
Penguatan asas cabotage diperlukan untuk mengatasi praktik manipulasi usaha kapal angkutan niaga yang sebenarnya tidak dilakukan oleh pengusaha dalam negeri. Kepemilikan kapal angkutan niaga oleh perusahaan dalam negeri ditentukan sekurang-kurangnya 51 persen, dan sisanya boleh dimiliki asing. Namun, dalam praktiknya masih banyak terjadi pinjam nama (nominee) perusahaan angkutan dalam negeri yang modalnya dimiliki asing. Akibat praktik itu, pemodal asing itu bisa menguasai seluruh saham perusahaan angkutan dalam negeri tersebut.
Baca juga: Industri Perkapalan Nasional Perlu Diperkuat
”Praktik manipulasi ini mau kita hapuskan dengan revisi UU Pelayaran. Penegakan asas cabotage dalam angkutan logistik diperlukan untuk membuka kesempatan seluas-luasnya bagi pengusaha dalam negeri dan kedaulatan negara. Selama (kapal dalam negeri) kita mampu, buat apa dikasih kesempatan ke pengusaha luar,” kata Lasarus dalam Rapat Dengar Pendapat Umum terkait Perubahan Kedua atas UU No 17/2008 yang digelar hibrida, di Jakarta, Rabu (3/4/2024).
Kepala Badan Keahlian DPR RI Inosentius Samsul, menambahkan, asas cabotage telah membawa banyak kemajuan bagi pelayaran Indonesia, tetapi dalam penerapannya masih banyak terjadi manipulasi berupa pinjam nama kepemilikan kapal angkutan. Dengan penguatan asas cabotage, kemandirian industri pelayaran nasional diharapkan bisa diperkuat.
Menurut dia, permasalahan lain asas cabotage juga mencakup lemahnya pengawasan, serta tidak ada kepastian biaya resmi terkait pengangkutan barang di bidang pelayaran sehingga menimbulkan pungutan liar. Selain itu, kurangnya dukungan pembiayaan untuk kepemilikan kapal nasional, tingkat komponen dalam negeri dalam industri perkapalan nasional masih rendah, serta kebijakan investasi yang belum mendukung penanaman modal dalam negeri untuk pemilikan kapal.
”Penguatan asas cabotage untuk meletakkan landasan politik dan hukum guna memperkuat industri pelayaran dalam negeri. Beberapa hal seperti kewajiban bekerja sama dan persyaratan permodalan perlu dipertajam dalam revisi UU Pelayaran,” ujarnya.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengusaha Pelayaran Niaga Nasional (INSA) Carmelita Hartoto, dalam kesempatan yang sama, mengemukakan, esensi penerapan asas cabotage merupakan kedaulatan negara terkait peran armada nasional sebagai komponen pertahanan dan keamanan negara, pendukung pertahanan negara dalam keadaan bahaya, serta jembatan penghubung dan pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tumbuh kembang usaha pelayaran nasional memiliki dampak positif terhadap ekosistem industri maritim nasional, seperti industri galangan kapal dan komponennya, asuransi, dan pembiayaan, serta kelancaran distribusi logistik nasional dan penunjang pertumbuhan ekonomi wilayah.
Baca juga: Industri Pelayaran Menanti Pinjaman Berbunga Rendah
Penyempurnaan terkait asas cabotage dinilai diperlukan terkait badan usaha patungan antara badan usaha asing dengan badan usaha nasional guna mencegah praktik-praktik investasi dengan pinjam nama kepemilikan. ”Investasi dengan nominee memicu persangan tidak sehat yang merugikan industri pelayaran nasional dan tidak memberikan manfaat pada perekonomian nasional,” ujarnya.
Carmelita menambahkan, angkutan pelayaran hanya salah satu mata rantai dari rangkaian rantai logistik nasional. Ketentuan tarif penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa kepelabuhanan juga dinilai sangat penting untuk menjamin terjadinya praktik usaha yang seimbang antara pemberi jasa dan pengguna jasa, menghindari praktik monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat, serta menelan biaya logistik nasional.
Sementara itu, pengajar Institut Transportasi dan Logistik Trisakti, Capt Muhammad Thamrin, dalam paparannya, menyebutkan, penerapan asas cabotage bertujuan melindungi industri pelayaran domestik, serta pengembangan kapasitas maritim nasional. Selain itu, membantu meningkatkan keamanan maritim dan mengurangi risio kegiatan ilegal seperti penyelundupan.
Dua lembaga ini mengklaim sebagai penjaga laut dan pantai. Ini harus diselesaikan agar tidak mencoreng nama Indonesia di dunia internasional.
Di sisi lain, regulasi asas cabotage menimbulkan kontroversi terkait potensi peningkatan biaya dan pengurangan fleksibilitas dalam pelayaran. Beberapa pihak juga mengkritik asas cabotage karena dapat menghambat perdagangan internasional dan meningkatkan biaya transportasi.
Ia menilai, penerapan asas cabotage dapat dilakukan melalui berbagai kebijakan, antara lain hanya kapal berbendera negara tersebut yang diizinkan melakukan pelayaran dalam negeri, atau memberlakukan pajak atau tarif impor yang tinggi untuk kapal asing yang melakukan pelayaran di dalam negeri.
Efisiensi logistik
Selain penguatan asas cabotage, isu pokok lain yang didorong dalam revisi UU Pelayaran adalah efisiensi biaya angkutan losgitik, serta dihapuskannya beberapa pungutan agar tidak terlalu membebani pengusaha. Lasarus menilai, kehadiran logisitik merupakan urusan wajib pemerintah. Sampai saat ini, belum ditemukan formula untuk menekan harga barang secara signifikan di sejumlah daerah. Diperlukan norma yang mengatur keringanan biaya angkut pelayaran agar bisa lebih bersaing dan lebih murah yang pada akhirnya berimbas pada rendahnya harga-harga kebutuhan pokok.
Selain itu, dibutuhkan pengaturan tentang penyelenggaraan pelayanan publik terkait trayek tol laut, baik komersial dan nonkomersial, serta peran pemerintah dalam mendukung sistem transportasi yang efektif dan efisien.
Baca juga: Bisnis Logistik Terpukul Banjir dan Pembatasan Angkutan Selama Masa Lebaran
Pembenahan substansi yang juga didorong dalam revisi UU No 17/2008 adalah kejelasan kelembagaan penjaga laut dan pantai (sea and coast guard). Selama ini, terjadi tumpang tindih kelembagaan penjaga laut dan pantai dengan kewenangan masing-masing, sehingga kapal bisa ditangkap oleh beberapa instansi dan mengalami pemeriksaaan berulang-ulang.
Terkait penjaga laut dan pantai, Staf Ahli Intelijen Dewan Pertimbangan Presiden Laksamana Muda TNI (Purn) Soleman B Ponto, menyampaikan, saat ini ada dua kompetensi berbeda terkait pejaga laut dan pantai, yakni Badan Keamanan laut (Bakamla) dan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai Republik Indonesia (KPLP). Kesimpangsiuran terkait kelembagaan penjaga laut dan pantai itu menyebabkan ketidakpastian hukum.
”Dua lembaga ini mengklaim sebagai penjaga laut dan pantai. Ini harus diselesaikan agar tidak mencoreng nama Indonesia di dunia internasional,” ucap Soleman.
Baca juga: Sembilan Tahun Tol Laut Melayani Pinggiran Negeri