Sembilan Tahun Tol Laut Melayani Pinggiran Negeri
Sembilan tahun sudah tol laut menjangkau masyarakat di pinggiran negeri. Berharap program itu terus berlanjut.
Sembilan tahun sudah program tol laut menjangkau masyarakat di pinggiran negeri. Berbagai jenis barang diangkut dari Pulau Jawa ke sejumlah daerah terpencil dan terluar demi menekan disparitas harga yang membebani masyarakat.
Sanjiwani Wattimena menghitung stok beras dalam gudang penyimpanan logistik tol laut, Lewoloba, Lembata, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/1/2024) petang. Masih ada 120 karung. Namun, stok sebanyak itu diperkirakan bakal habis terjual paling lama satu pekan.
Dalam sebulan terakhir, permintaan beras melonjak. Itu lantaran harga beras medium di pasaran Lewoleba dan sekitarnya naik hingga Rp 18.000 per kilogram. Di tempat itu, harga beras medium Rp 15.000 per kilogram.
”Harga lebih murah karena beras di sini diangkut dengan kapal tol laut,” ujar Sanjiwani, koordinator gudang logistik tol laut.
Tak hanya beras, harga semua barang yang dijual di gudang tersebut juga lebih murah dari harga pasaran setempat. Daging ayam beku Rp 42.000, sedangkan di pasaran Lewoleba sudah mencapai Rp 70.000. Begitu pula harga minyak goreng dan gula pasir lebih murah sekitar 20 persen dari harga pasaran.
Tingginya harga barang di pasaran Lewoleba disebabkan mahalnya ongkos angkutan dari daerah pemasok. Sebagian besar barang kebutuhan pokok untuk kabupaten berpenduduk 144.000 jiwa itu disuplai dari Pulau Jawa. Pengiriman menggunakan kapal laut dengan waktu pelayaran paling cepat lima hari.
Kami rasakan manfaat tol laut ini. Harga ayam beku di Lewoleba hampir sama dengan harga di Surabaya. (Supardi)
Dengan adanya tol laut, disparitas harga di kawasan timur Indonesia, termasuk di Lewoleba, dapat ditekan. Dalam program tol laut tersebut, pemerintah memberikan subsidi bagi angkutan barang kebutuhan pokok dan barang penting lainnya. Berkat subsidi, ongkos angkutan diringankan hingga 50 persen.
Keringanan itu diharapkan berdampak pada harga barang yang dijual ke masyarakat tidak beda jauh dari harga di Jawa. ”Kami rasakan manfaat tol laut ini. Harga ayam beku di Lewoleba hampir sama dengan harga di Surabaya (Jawa Timur),” ujar Supardi (45), penjual ayam goreng.
Lewoleba merupakan satu dari 115 titik yang dijangkau program tol laut. Ide tol laut pertama kali diucapkan Joko Widodo ketika berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2014. Program itu dimulai tahun 2015.
Secara khusus, Kementerian Perhubungan diberi tugas menjalankan program dengan merangkul berbagai pihak, seperti PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero) untuk jasa angkutan. Program itu sudah berlangsung sembilan tahun dan masih terus berlanjut pada tahun ke-10.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan, program tol laut fokus pada daerah dengan tingkat kemahalan tinggi, seperti di pulau-pulau terluar dan wilayah pedalaman. Sebagian besar daerah itu di kawasan timur Indonesia.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, kapal tol laut awalnya menyinggahi 11 pelabuhan pada 2015. Persinggahan bertambah menjadi 115 pelabuhan hingga akhir 2023. Kapal pengangkut dari semula 3 unit kini menjadi 39 unit.
Baca juga: Disparitas Harga Indonesia Barat dan Timur Masih Terjadi
Volume barang yang diangkut juga meningkat. Tahun 2015, sebanyak 88 peti kemas serta 30 ton barang non-peti kemas. Tahun 2023, sebanyak 31.878 peti kemas serta 989,7 ton barang non-peti kemas. Selama sembilan tahun, total barang yang diangkat kapal tol laut sebanyak 110.971 peti kemas dan 557.959 ton barang non-peti kemas.
Subsidi untuk angkutan tol laut pun meningkat. Tahun 2015 sebanyak Rp 71,8 miliar, sedangkan tahun 2023 sebanyak Rp 586,3 miliar. Total keseluruhan anggaran subsidi tol laut selama sembilan tahun Rp 2,828 triliun. Subsidi bersumber dari APBN.
Belum merata
Berbeda dengan Lembata, harga barang di banyak daerah lain yang disinggahi kapal tol laut masih tetap tinggi, seperti di Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku. Padahal, Kisar yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste itu rutin disinggahi kapal tol laut.
Ada kesan bahwa subsidi ini tidak betul-betul dinikmati masyarakat. ( Alex Franz)
Alex Franz (45), warga setempat, mengatakan, lemahnya pengawasan menjadi penyebab tingginya harga barang. Contohnya, harga beras Rp 18.000 per kilogram. Di daerah itu tidak ada gudang logistik untuk tol laut.
Baca juga: Perempuan Pelaut di Kapal Perintis
Seharusnya, kata Alex, setiap barang tol laut wajib diberi label agar harga jualnya pun menyesuaikan. ”Ada kesan bahwa subsidi ini tidak betul-betul dinikmati masyarakat,” ujarnya.
Anos Yeremias, anggota DPRD Provinsi Maluku, berjanji akan mengajak para pihak terkait agar bersama melakukan pengawasan. Peran pemerintah daerah serta kementerian dan lembaga diperlakukan untuk mengontrol harga barang yang diangkut menggunakan kapal tol laut. Pedagang yang tidak melakukan penyesuaian harga perlu diberi peringatan.
Menurut Anos, idealnya program tol laut dapat membantu masyarakat di pinggiran negeri yang selama ini menderita dengan tingginya harga barang kebutuhan. Sebagian dari mereka masuk kategori hidup di bawah garis kemiskinan. Badan Pusat Statistik mencatat, persentase kemiskinan di sana menembus 25 persen.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Widya Mandira Kupang, Tuti Lawalu, berpendapat, kehadiran tol laut tak hanya menekan disparitas harga. Lebih dari itu, tol laut bisa membuka akses pasar bagi petani dan nelayan.
Komoditas lokal, seperti ikan dan hasil pertanian, bisa dijual ke Pulau Jawa. Sayangnya, volume barang yang dikirim ke Pulau Jawa masih minim.
Sebagaimana data Direktorat Perhubungan Laut, sepanjang program tol laut dijalankan selama sembilan tahun, barang yang dibawa dari Pulau Jawa ke daerah tujuan sebanyak 84.609 peti kemas serta 530.403 ton barang non-peti kemas. Adapun kiriman balik sebanyak 26.362 peti kemas serta 27.561 ton barang non-peti kemas.
”Karena itu, produksi di daerah perlu didorong lewat hadirnya industri berbasis potensi lokal, seperti perikanan dan pertanian. Wilayah kepulauan seperti NTT dan Maluku punya potensi itu, sayangnya belum banyak yang dimanfaatkan,” kata Tuti.
Sembilan tahun sudah program tol laut melayani masyarakat di pinggiran negeri. Banyak suara dari sana yang menginginkan agar program itu terus berlanjut dengan sejumlah evaluasi agar masyarakat betul-betul menikmati manfaatnya.
Baca juga: Tol Laut dan Pelayaran Perintis Mengemuka di Markas IMO