Menanti Nasib Pembentukan Badan Penerimaan Negara di Era Prabowo
Batal di era SBY dan Jokowi karena resistensi internal, pemisahan otoritas perpajakan dari Kemenkeu mau dikebut Prabowo.
Oleh
AGNES THEODORA
·4 menit baca
Setelah batal dieksekusi di era Joko Widodo, presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming berencana membentuk Badan Penerimaan Negara atau BPN untuk memusatkan penerimaan negara dari pajak, bea cukai, dan nonpajak lewat satu pintu. Lembaga baru itu juga akan menyasar aktivitas ekonomi yang selama ini bergerak di ”ruang-ruang gelap”.
Rencana membentuk BPN tertuang dalam dokumen visi-misi Prabowo-Gibran di Pemilu 2024 serta termasuk dalam daftar program prioritas Prabowo-Gibran begitu menjabat, alias Delapan Program Hasil Terbaik Cepat. Kehadiran lembaga baru itu diyakini bisa meningkatkan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional menjadi 23 persen. Saat ini, rasio perpajakan Indonesia masih sekitar 10 persen.
Menurut rencana, BPN akan terdiri dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang dipisahkan dari Kementerian Keuangan. Kementerian Keuangan akan tetap ada, tetapi fokus pada urusan fiskal di luar penerimaan, seperti belanja, pembiayaan, hubungan keuangan pemerintah pusat-daerah, dan lain-lain.
Ketua Dewan Pakar Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran, Burhanuddin Abdullah, saat memaparkan arah kebijakan ekonomi pemerintahan baru dalam Kompas Collaboration Forum (KCF) Afternoon Tea, Jumat (22/3/2024), mengatakan, saat ini pengumpulan penerimaan negara tidak maksimal karena masih tercerai-berai di banyak lembaga.
Bukan hanya DJP dan Bea Cukai, ada pula penerimaan negara yang masuk lewat Ditjen Anggaran melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP), termasuk dari kepolisian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dan kementerian/lembaga lain.
”Jadi, ternyata selama ini pemungutan penerimaan kita itu terdesentralisasi di banyak sekali institusi. Desentralisasi yang scattered (tercerai-berai) ini menyulitkan kontrol,” kata Burhanuddin.
Ia mengatakan, jika pengumpulan penerimaan negara dibuat terpusat lewat satu lembaga, penerimaan negara bisa bertambah signifikan dan target rasio penerimaan negara 23 persen bisa tercapai. ”Konon kabarnya, tanpa kita melakukan apa-apa pun, peningkatan penerimaan negara bisa kita dapat, dan jumlahnya akan cukup substantif,” ujarnya.
Menyasar ”shadow economy”
Dengan adanya lembaga baru yang fokus mengurusi penerimaan negara, berbagai ”kebocoran” pajak yang selama ini terjadi juga bisa dideteksi. Pungutan pajak dari aktivitas ekonomi yang bergerak di ruang-ruang gelap itu akan ikut menggerakkan penerimaan negara.
”Kalau BPN dibentuk, shadow economy (ekonomi bayangan atau ekonomi bawah tanah) yang disinyalir sekitar 30-40 persen dari perekonomian kita akan menciut dan akan menambah penerimaan,” ungkapnya.
Ekonomi bayangan pada dasarnya adalah kegiatan ekonomi yang tidak terdeteksi oleh pemerintah sehingga tidak bisa dipungut pajak, bea dan cukai, ataupun pungutan nonpajak lainnya.
Bentuknya bermacam-macam. Ada aktivitas ekonomi ilegal yang berdampak buruk bagi masyarakat, seperti judi dan prostitusi, serta produksi ilegal, seperti rokok ilegal dan hasil tambang ilegal. Contoh lain, aktivitas ekonomi bawah tanah (underground) berupa aktivitas ekonomi legal yang sengaja disembunyikan dari otoritas demi menghindari pajak.
Namun, ada pula aktivitas ekonomi bayangan yang berasal dari sektor informal atau usaha yang biasanya berskala produksi mikro-kecil dan usaha rumah tangga yang tidak berbadan hukum. Berdasarkan kajian Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, aktivitasshadow economy di Indonesia diperkirakan bisa mencapai kisaran 8,3 sampai 10 persen dari PDB nasional.
Antara perppu atau UU baru
Ketua Dewan Pakar Partai Amanat Nasional Drajad Wibowo, yang tergabung juga dalam Dewan Pakar TKN Prabowo-Gibran, mengatakan, nasib pembentukan BPN akan bergantung pada proses transisi pemerintahan dari rezim Jokowi ke Prabowo.
Ada dua opsi yang bisa ditempuh, yaitu pembentukan BPN melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang dikeluarkan oleh pemerintahan Jokowi atau pembentukan BPN melalui penyusunan undang-undang baru.
”Kalau lewat UU, paling butuh waktu setidaknya satu tahun untuk dibahas bersama DPR. Kalau lewat perppu bisa lebih cepat, beberapa bulan selesai. Kalau Pak Jokowi berkenan, bisa saja dimulai oleh beliau persiapannya. Toh, ide ini juga pernah ada dalam Nawacita (visi-misi) Presiden Jokowi saat maju di pemilu dulu,” kata Drajad.
Menaikkan rasio perpajakan menjadi 23 persen tidak mungkin tercapai hanya dengan sekadar membentuk otoritas pajak baru.
Catatan Kompas, ide ini memang sempat muncul saat Jokowi maju di Pemilu 2014. Saat itu, ada dua opsi nomenklatur yang muncul, yaitu Badan Otoritas Pajak dan Badan Penerimaan Negara. Badan Otoritas Pajak hanya memisahkan DJP dari Kemenkeu. Sementara Badan Penerimaan Negara menggabungkan DJP dan Bea Cukai terpisah dari Kemenkeu.
Konsepnya mirip-mirip dengan negara maju yang telah memisahkan badan otoritas pajaknya dari Kemenkeu. Amerika Serikat, misalnya, memiliki Internal Revenue Service (IRS). Sementara Singapura mempunyai Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS).
Pernah ditolak Sri Mulyani
Sepanjang Jokowi menjabat, sembilan tahun terakhir ini, ide pembentukan BPN beberapa kali dikaji pemerintah, tetapi tak kunjung direalisasikan.
Co-founder Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, yang pernah 29 tahun bertugas di DJP, menuturkan, rencana pembentukan otoritas pajak atau penerimaan yang terpisah dari Kementerian Keuangan sudah muncul sejak Sri Mulyani pertama kali menjabat menteri pada 2005. Namun, wacana itu ditolak Sri Mulyani.
Saat itu, tutur Raden, Sri Mulyani mengatakan ”tidak pada zaman saya”. Mantan direktur Bank Dunia itu juga memberi syarat ”tunggu penerimaan negara lebih dari Rp 1.000 triliun”. Alasan yang diungkap ke publik adalah isu koordinasi yang bisa lebih sulit jika otoritas penerimaan negara dipisahkan dari struktur Kemenkeu.
Wacana ini kembali dikaji pada masa Menkeu Bambang Brodjonegoro. Bahkan, saat itu hendak ditambahkan satu pasal tentang pembentukan Badan Penerimaan Perpajakan (BPP) dalam Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
”Setelah digantikan oleh Sri Mulyani, nasib RUU KUP di DPR tidak jelas. Sri Mulyani tidak berniat melanjutkan pembahasan RUU KUP. Secara internal, di DJP waktu itu dimunculkan lagi kata-kata beliau, ’tidak pada zaman saya’. Konsisten dengan pendirian sebelumnya,” tutur Raden.
Sampai sekarang, di lingkup internal Kemenkeu, masih ada pro-kontra terkait pemisahan otoritas pajak dari Kemenkeu. Bahkan, grup Whatsapp bernama BPP for Kemandirian APBN yang diisi oleh para petugas pajak propemisahan DJP dari Kemenkeu masih aktif sampai hari ini.
”Yang pro-BPP berpendapat, posisi otonom di luar Kemenkeu paling baik. Ini disebut otonom penuh. Untuk yang kontra, alasannya karena koordinasi dengan DJP itu penting untuk menjaga fiskal. Selain itu, ada anggapan kalau otoritas pajak keluar dari Kemenkeu, Kemenkeu menjadi kurang powerful,” kata Raden.
Secara umum, berdasarkan kajian yang dilakukan DJP, otoritas pajak yang otonom memang bisa berdampak pada kenaikan penerimaan dan rasio perpajakan. ”Namun, kenaikannya tidak signifikan, hanya sekitar 3 persen saja. Jadi, menaikkan rasio perpajakan menjadi 23 persen tidak mungkin tercapai hanya dengan sekadar membentuk otoritas pajak baru. Perlu upaya lain,” ucapnya.