logo Kompas.id
RisetMenakar Arah Kebijakan Pajak...
Iklan

Menakar Arah Kebijakan Pajak Para Calon Pemimpin Indonesia

Reformasi pajak menjadi benang merah sekaligus strategi capres-cawapres guna meningkatkan sumber pendapatan negara.

Oleh
ANTONIUS PURWANTO
· 5 menit baca
Tiga pasangan calon berfoto bersama setelah rapat pleno terbuka pengundian dan penetapan nomor urut dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2024 di kantor KPU, Jakarta, Selasa (14/11/2023). Berdiri dari kiri ke kanan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (nomor urut 1), pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (nomor urut 2), dan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (nomor urut 3).
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Tiga pasangan calon berfoto bersama setelah rapat pleno terbuka pengundian dan penetapan nomor urut dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Pemilu 2024 di kantor KPU, Jakarta, Selasa (14/11/2023). Berdiri dari kiri ke kanan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (nomor urut 1), pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (nomor urut 2), dan pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD (nomor urut 3).

Tiga pasang calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilihan Umum 2024 menawarkan beragam program untuk meningkatkan penerimaan pajak. Reformasi pajak menjadi benang merah sekaligus strategi yang ditempuh semua kandidat guna meningkatkan sumber pendapatan negara.

Di Indonesia, penerimaan pajak masih menjadi penopang terbesar terhadap total pendapatan negara. Dalam lima tahun terakhir, porsi penerimaan pajak terhadap pendapatan negara selalu di atas 60 persen. Sisanya disumbang oleh penerimaan dari kepabeanan dan cukai, penerimaan perpajakan lainnya, penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan hibah.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Dalam APBN 2024, misalnya, pendapatan negara yang dipatok senilai Rp 2.802,3 triliun itu, sekitar 70 persennya berasal dari pungutan pajak. Besarnya kontribusi penerimaan pajak terhadap total pendapatan negara itu menunjukkan besarnya peran pajak dalam pembangunan nasional. Tanpa penerimaan pajak yang memadai, program-program pembangunan akan sulit dijalankan pemerintah.

Namun, di sisi lain, tingginya penerimaan pajak ini tidak sebanding dengan rasio pajak (tax ratio) yang masih relatif rendah. Tidak seimbang dengan kinerja produk domestik bruto (PDB) yang trennya meningkat. Rasio pajak terhadap PDB adalah perbandingan antara penerimaan pajak secara kolektif dan PDB pada periode yang sama. Secara umum, rasio pajak merepresentasikan kinerja pajak dan perekonomian suatu negara.

Rendahnya rasio pajak itu tampak dari data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang dipublikasikan 2022. OECD mencatat rasio pajak Indonesia ada di angka 10,1 persen. Dalam satu dasawarsa terakhir, rasio pajak Indonesia berada di kisaran 9 persen hingga 11 persen.

Di antara negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN), rasio pajak Indonesia termasuk golongan terendah bersama Laos dengan rasio pajak 10,1 persen. Meski naik dari tahun 2020 (8,33 persen) dan 2021 (9,12 persen), angka itu tetap terhitung rendah di bawah rata-rata kawasan. Sementara itu, negara ASEAN yang rasio pajaknya tercatat melampaui level ideal adalah Kamboja (20,2 persen), Vietnam (15,8 persen), Thailand (15,5 persen), dan Filipina (15 persen).

Baca juga: Perpajakan dalam Pilpres

https://cdn-assetd.kompas.id/1eh-CnxNyI_SKRIqBBqXosH7CXo=/1024x3287/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F12%2F11%2F7ef71cab-d8e4-4c0f-8e2a-3cba1d050d35_png.png

Rendahnya rasio pajak di Indonesia itu terjadi lantaran tingkat pemungutan pajak yang rendah dan banyaknya kasus kebocoran pajak. Hal itu juga mencerminkan ketergantungan pendapatan Indonesia dari sumber lain, seperti utang, yang bisa membebani keuangan negara dan cenderung tidak stabil.

Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), tinggi rendahnya rasio pajak sangat menentukan nasib keberlangsungan pembangunan di suatu negara. Semakin tinggi rasio pajak, ketergantungan terhadap utang semakin rendah.

Di tengah tantangan penerimaan pajak tersebut, ketiga pasang capres-cawapres, yakni Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, menawarkan beragam program untuk meningkatkan penerimaan pajak, seperti tercantum dalam dokumen visi-misinya.

Peningkatan pajak

Dengan mengusung tema ”Indonesia Adil Makmur untuk Semua”, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar atau Amin menawarkan sejumlah janji yang berkaitan dengan pajak.

Dalam dokumen visi-misinya, pasangan nomor urut 1 ini ingin meningkatkan penerimaan negara melalui perluasan basis dan perbaikan kepatuhan pajak untuk meningkatkan rasio pajak dari 10,4 persen pada 2022 menjadi 13,0 persen-16,0 persen pada 2029.

Pasangan ini akan memastikan seluruh insentif pajak, termasuk tax holiday dan tax allowance, dilaksanakan secara terencana dan terkendali untuk menghasilkan manfaat ekonomi yang optimal dengan risiko fiskal yang minimal.

Mereka juga akan membangun kelembagaan yang berintegritas dan akuntabel melalui pembagian kewenangan yang harmonis antar-instansi dengan merealisasikan Badan Penerimaan Negara langsung di bawah presiden. Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai tidak lagi di bawah Kementerian Keuangan.

Iklan

Selain itu, mereka akan mengimplementasikan nilai ekonomi karbon melalui penerapan pajak karbon, penerapan sistem perdagangan karbon yang inklusif dengan standar dan kriteria yang jelas, serta instrumen lainnya memastikan penurunan bersih emisi gas rumah kaca.

Pada sektor agraria, ada janji untuk menyusun kebijakan dan regulasi perpajakan yang berkeadilan serta tidak membebani masyarakat dalam rangka penggunaan dan pemanfaatan tanah.

Upaya akselerasi penerimaan pajak berikutnya diutarakan oleh pasangan nomor urut 2. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka ingin mendirikan Badan Penerimaan Negara yang baru dalam mendongkrak penerimaan. Sementara rasio penerimaan pajak ditargetkan hingga mencapai 23 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Baca juga: Insentif Pajak Dinaikkan

Wajib pajak mengantre untuk dilayani di kantor KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta Selatan, Senin (20/11/2023). Target penerimaan pajak pada tahun ini naik Rp 1 triliun dari Rp 1.718 triliun menjadi Rp 1.818 triliun.
KOMPAS/PRIYOMBODO

Wajib pajak mengantre untuk dilayani di kantor KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Satu, Jakarta Selatan, Senin (20/11/2023). Target penerimaan pajak pada tahun ini naik Rp 1 triliun dari Rp 1.718 triliun menjadi Rp 1.818 triliun.

Pasangan tersebut menjanjikan perubahan besar bagi pajak di Indonesia. Mereka ingin menaikkan batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh 21 jika nanti terpilih.

Janji berikutnya adalah mencegah kebocoran pendapatan negara serta pajak di bidang sumber daya alam dan komoditas bahan mentah, menghentikan praktik manipulasi (misinvoicing) dalam pelaporan kegiatan ekspor, serta mewajibkan pengolahan bahan mentah di dalam negeri (smelter, kilang minyak, dan industri pengolahan lainnya).

Selanjutnya, mereka ingin memperbaiki birokrasi dan manajemen ekspor-impor nasional serta mewajibkan penyimpanan devisa hasil ekspor di bank-bank dalam negeri dalam waktu yang optimal, menciptakan pemerintahan yang berbasis digitalisasi untuk menciptakan pemerintahan yang transparan, inklusif, dan efisien.

Langkah berikutnya yang cukup berbeda akan dilakukan pasangan capres-cawapres nomor urut 3. Ganjar Pranowo-Mahfud MD tidak mencantumkan strategi kebijakan fiskal yang detail dalam dokumen visi-misi. Namun, mereka menjanjikan akan mewujudkan fiskal yang tangguh lewat anggaran negara yang memadai dan transparan serta optimalisasi sumber pendapatan. Penguatan ruang fiskal ini mencakup sisi belanja dan pendapatan negara.

Dalam visi-misinya, pasangan ini berkomitmen untuk melanjutkan program pembangunan nasional. Mereka juga menjanjikan memberikan insentif perpajakan pada usaha rintisan digital (start up) dan insentif perpajakan untuk Papua.

Target pajak 2045

Terlepas dari beragam program yang ditawarkan capres-cawapres tersebut, pemerintah sebenarnya telah merampungkan Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Dalam RPJPN 2025-2045, rasio pajak pada 2045 ditargetkan sebesar 18 persen hingga 20 persen dari PDB. Target itu sedikit lebih rendah dibandingkan dengan target dalam Rancangan Awal RPJMN 2025-2045 yang sebesar 18 persen hingga 22 persen.

Baca juga: Visi-Misi Capres: Ambisi Besar, Uangnya dari Mana?

https://cdn-assetd.kompas.id/kPqkqxy03VPcvre0BnAchqpW8mg=/1024x640/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F06%2F11%2F20210611-H09-ARJ-rasio-pajak-mumed_1623422113_png.png

Untuk mencapai target rasio pajak itu, Indonesia perlu terus memperkuat dan mempercepat reformasi pajak, baik dari sisi administrasi maupun kebijakan. Berdasarkan perkiraan IMF, reformasi administrasi mampu memberikan peningkatan rasio pajak sebesar 1,5 persen, sedangkan reformasi kebijakan bakal memberikan tambahan rasio pajak sebesar 3,5 persen. Dengan menjaga keberlanjutan reformasi perpajakan, target tersebut diharapkan tercapai dan pada akhirnya akan semakin mengerek perpajakan Indonesia.

Selain itu, ada sejumlah cara lain yang dapat ditempuh guna mendorong penerimaan sektor perpajakan nasional. Bank Dunia menyebutkan setidaknya ada tiga cara untuk mengungkit penerimaan pajak suatu negara.

Pertama, menghilangkan pengecualian dan tarif pilihan atas PPN untuk berbagai barang dan jasa. Kedua, menaikkan pajak atas alkohol, tembakau, gula, dan karbon. Peningkatan pajak atas barang-barang itu akan mengurangi konsumsinya sehingga menghemat biaya untuk sistem kesehatan publik, sekaligus menghasilkan penerimaan pemerintah.

Ketiga, penerapan pajak karbon yang dapat meningkatkan penerimaan negara sekaligus merangsang investasi di sektor ramah lingkungan menjadi semakin menarik. Hal tersebut akan membantu meningkatkan daya saing Indonesia di ranah global, terutama terkait komitmen menuju target emisi nol bersih (net zero emission) global 2050.

Dengan penerapan pajak karbon, ekonomi hijau menjadi tumbuh dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang lebih luas. Ekonomi menjadi lebih inklusif dan sekaligus meningkatkan pendapatan negara dari sisi perpajakan. (LITBANG KOMPAS)

Editor:
BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000