Tantangan Kesetaraan Perempuan di Komunitas Nelayan
Kesetaraan perempuan dalam peran di sektor kelautan dan perikanan akan mendorong pengembangan usaha.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kesenjangan perempuan dalam komunitas nelayan masih menjadi persoalan. Perempuan merupakan salah satu tulang punggung penghidupan rumah tangga nelayan, tetapi masih kerap mengalami ketimpangan akses dan sumber daya di sektor kelautan dan perikanan.
Nirda Bugis, perwakilan Kelompok Perempuan Pengolah Ikan dan Pemasaran Lestari di Desa Kawa, Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku, menuturkan, perempuan di komunitas nelayan mengalami banyak tantangan. Tantangan itu, antara lain, ialah hasil ikan yang bergantung cuaca, kekurangan listrik dan air bersih, kekurangan sumber daya penghasilan, serta minimnya akses kesehatan dan pendidikan.
”Sementara itu, suara perempuan pesisir masih tidak banyak terdengar di forum-forum perikanan,” ujarnya dalam Pertemuan Nasional Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial, yang digelar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerja sama dengan USAID, secara hibrida, di Jakarta, Selasa (19/3/2024).
Upaya menyuarakan kebutuhan kelompok perempuan mulai diinisiasi, antara lain, oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) Indonesia melalui USAID Bersama Kelola Perikanan (USAID Berikan). Kerja sama telah dilakukan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat lokal untuk mengambil langkah penting meningkatkan kesetaraan jender dalam penyusunan kebijakan perikanan.
Susan Telingator, Senior Gender Advisor USAID Berikan, mengemukakan, di dunia, sebanyak 45 juta perempuan berpartisipasi dalam penangkapan ikan skala kecil dan rantai pasok dan ekonomi atau sekitar 40 persen dari total partisipasi dalam perikanan skala kecil.
Partisipasi perempuan dalam penangkapan ikan skala kecil itu mencakup 15 persen untuk partisipasi sebelum masa panen, 19 persen dalam masa panen komersial, 50 persen partisipasi pascapanen, dan 45 persen sisanya dalam pelengkapan usaha penangkapan ikan skala kecil.
”Sering kali perempuan berpartisipasi dalam kegiatan informal dan tidak dibayar,” ujarnya.
Wakil Direktur USAID Indonesia,Erin Nicholson mengemukakan, kesesenjangan jender di sektor kelautan dan perikanan masih menjadi kendala masyarakat dalam mewujudkan potensinya. Kesenjangan itu telah membatasi akses terhadap sumber daya, pelatihan dan peluang bagi banyak perempuan yang tinggal di daerah pesisir Indonesia.
”(Kesenjangan) ini tidak hanya berdampak pada penghidupan individu, tetapi juga menghambat keberlanjutan perekonomian kelautan dan pesisir, serta jutaan orang yang hidup dari sumber daya laut,” ujar Erin.
Erin menambahkan, kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan dan anak perempuan merupakan hak asasi manusia mendasar dan kunci pembangunan keberlanjutan. Kesetaraan jender adalah langkah penting untuk membuka potensi ekonomi biru bagi pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Masyarakat yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama, baik laki-laki dan perempuan, serta akses yang aman terhadap sumber daya untuk menuju perubahan positif.
”Keseteraan jender bukan hanya keharusan moral, hal ini juga merupakan investasi strategis demi masa depan yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan bagi rakyat Indonesia,” ujarnya.
Program kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan merupakan salah satu investasi terbesar USAID secara global dan merupakan pembelajaran bagi program lainnya di seluruh dunia. USAID berkomitmen menjadi mitra terdepan dan melakukan advokasi untuk memajukan kesetaraan jender.
Pusat kemiskinan
Kepala Biro Perencanaan KKP Andy Artha Donny Oktopura mengemukakan, sebanyak 140 juta penduduk dari total 270 juta penduduk Indonesia hidup di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupan pada sumber daya laut. Meski demikian, mengacu data Badan Pusat Statistik, sebanyak 40 persen pusat kemiskinan ada di kawasan pesisir.
”Ini menjadi paradoks negara kepulauan karena pusat kemiskinan ada di kawasan pesisir. Tantangannya adalah mendorong kesejahteraan melalui pengarusutamaan jender,” ujar Andy.
Pelaku usaha perikanan dipetakan menjadi enam aktor, yakni nelayan, pemasar ikan, pemasar antarpelabuhan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, dan petambak garam. Namun, kesenjangan partisipasi antara laki-laki dan perempuan masih sangat tinggi, terutama di lapangan usaha nelayan, pemasar antarpelabuhan, pembudidaya ikan, dan petambak garam. Adapun partisipasi perempuan yang lebih besar hanya terlihat di usaha pengolah ikan dan pemasar ikan.
Ini menjadi paradoks negara kepulauan karena pusat kemiskinan ada di kawasan pesisir.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, pengarusutamaan jender menjadi salah satu kunci keberhasilan implementasi kebijakan ekonomi biru yang inklusif.
Pihaknya telah menetapkan lima arah kebijakan ekonomi biru, meliputi perluasan kawasan konservasi laut, penangkapan ikan di laut secara terukur berbasis kuota, pengembangan budidaya laut dan pesisir, serta budidaya air tawar berkelanjutan. Selain itu, pengawasan dan pengendalian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil, serta gerakan pembersihan sampah-sampah di laut melalui partisipasi nelayan.
KKP telah mengalokasikan anggaran pengarusutamaan jender yang terus meningkat setiap tahun, yakni dari Rp 288 miliar pada tahun 2021 menjadi Rp 662 miliar pada tahun 2024. Pembangunan ekonomi biru dan implementasi perangurustamaan jender memerlukan kolaborasi multipemangku kepentingan. Pihaknya mengajak kementerian/lembaga, pemda, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan kelompok masyarakat untuk bersinergi dalam program pengarusutamaan jender di sektor kelautan dan perikanan.