Menghalau ”Hantu-hantu” Investasi Mangkrak
Menjelang akhir pemerintahan Jokowi, masih ada rencana investasi senilai Rp 149 triliun yang mangkrak.
Pemerintahan Joko Widodo sudah hampir berakhir. Namun, rezim ini masih memiliki ”utang” penyelesaian ”investasi mangkrak” senilai ratusan triliun rupiah. Apa yang perlu diantisipasi agar ke depan tidak ada lagi rencana investasi yang batal terealisasi alias mangkrak hingga bertahun-tahun?
Investasi mangkrak yang dimaksud adalah investasi yang batal terealisasi. Posisi batalnya beragam, mulai dari yang berhenti di minat atau komitmen saja, mandek atau bahkan batal saat pengurusan perizinan, hingga ”putar balik” setelah perizinan selesai.
Total nilai investasi mangkrak yang sempat ”diwariskan” dari periode pertama ke periode kedua pemerintahan Jokowi itu adalah Rp 708 triliun. Isu soal investasi besar yang mangkrak alias berjalan di tempat tanpa direalisasikan itu diungkap Bahlil Lahadalia pertama kali saat menjabat Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 2019.
Baca juga: Banyak Ketidakpastian, Target Investasi Cuma Naik Tipis
Saat itu, Bahlil menyebut ada rencana-rencana investasi yang mangkrak 4-6 tahun. Sebagian investasi itu mandek karena memang tidak ditindaklanjuti pemerintah. Sebagian lagi karena adanya ketidakpastian regulasi di pusat dan daerah serta tumpang-tindih perizinan.
Akibatnya, investor yang awalnya sudah berkomitmen menanamkan modalnya di Indonesia pun memindahkan proyeknya ke negara lain dengan birokrasi lebih mudah. Ini tentu merugikan Indonesia. Sebab, investasi berperan penting mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka banyak lapangan kerja.
Bermain-main regulasi
Bahlil saat itu mengibaratkan persoalan investasi mangkrak ini seperti ”hantu”. Alias, dapat dirasakan, tetapi tidak bisa dipegang dan disentuh. Mereka yang menghambat masuknya investasi itu pun ibarat hantu.
Mereka, menurut Bahlil, memainkan berbagai regulasi, mempersulit izin, atau melakukan pungutan liar (pungli). Namun, aksinya ini tidak terlihat dan bergerak diam-diam.
”Banyak 'hantu' di lapangan. Ada hantu-hantu berdasi yang mengganggu investasi. Ini hanya dapat diselesaikan oleh orang-orang yang pernah menjadi bagian dari kelompok itu,” kata Bahlil saat itu.
Isu mengenai investasi mangkrak ini pun sempat panas di masa kampanye Pemilihan Umum 2024.
Deretan kasus investasi mangkrak itu adalah salah satu pemicu yang membuat pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Cipta Kerja secara omnibus law yang kontroversial pada 2020. Diharapkan, dengan perizinan usaha yang sinkron dan satu pintu, investor tidak ragu berinvestasi di Indonesia.
Isu mengenai investasi mangkrak ini pun sempat panas di masa kampanye Pemilihan Umum 2024. Saat itu, Bahlil dan mantan Kepala BKPM Thomas ”Tom” Lembong saling sindir dan bersilat lidah soal investasi mangkrak.
Tidak tuntas
Kebetulan, keduanya berada di dua kubu politik yang berseberangan. Bahlil di pihak pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang menawarkan narasi keberlanjutan rezim Jokowi.
Sementara Tom Lembong adalah penggawa tim Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Pasangan nomor urut 1 dalam Pemilu 2024 menawarkan antitesis Jokowi dengan narasi perubahan.
Baca juga: Peningkatan Investasi: Nilai atau Kualitas
Seiring berjalannya waktu, BKPM sudah merampungkan sebagian dari daftar investasi mangkrak itu. Selama periode kedua Jokowi, ada 78,9 persen atau Rp 558,7 triliun rencana proyek investasi (dari total rencana investasi Rp 708 triliun) yang akhirnya berhasil direalisasikan.
Sebagian besar realisasi atas investasi mangkrak itu dikebut di masa-masa pandemi Covid-19. Bahlil mengklaim capaian itu sebagai prestasi yang berhasil dituntaskan pemerintah di ujung masa jabatannya.
Akan tetapi, pekerjaan rumah BKPM sebenarnya belum sepenuhnya tuntas. Masih ada rencana investasi senilai Rp 149,3 triliun yang belum terealisasi.
Sudah jadi bubur
Bahlil mengakui, komitmen investasi yang tersisa itu terlalu sulit untuk direalisasikan. Ada beberapa perusahaan yang memilih untuk menarik diri karena keuangannya sempat terpukul pandemi.
”(Investasi) yang sisanya itu kami sudah tidak bisa lagi melakukan perbaikan karena sudah tidak bisa dieksekusi lagi. Perusahaannya pun memang sudah mengalami kesulitan secara internal,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (18/3/2024).
(Investasi) yang sisanya itu kami sudah tidak bisa lagi melakukan perbaikan karena sudah tidak bisa dieksekusi lagi.
Nasi sudah menjadi bubur. Sebagian rencana investasi yang sudah tidak bisa terealisasi pun akhirnya direlakan lepas. Namun, menurut Kepala Center of Trade, Investment and Industry di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mengatakan, kasus serupa bisa dicegah agar tidak lagi terulang di kemudian hari.
Menurut dia, tantangan saat ini memang sudah berbeda. Di satu sisi, urusan administrasi dan perizinan usaha kini relatif lebih terarah dan terpusat sehingga memudahkan investor. Namun, masih banyak masalah lain yang berpotensi membuat investor berpaling dari Indonesia.
Biaya investasi mahal
Terlebih, Indonesia masih dikenal sebagai negara dengan biaya investasi yang mahal. ”Masih banyak persoalan. Sebut saja, ketersediaan dan pembebasan lahan, biaya logistik yang tinggi, infrastruktur yang belum memadai, pasokan bahan baku, sampai aksesibilitas untuk energi,” kata Andry.
Guna menghindari investasi menjadi mangkrak, pemerintah perlu tahu apa yang menjadi kebutuhan investor. Ia pun mengusulkan pemerintah melakukan ”intelijen investasi” atau investment intelligence.
Baca juga: Politik Sulit Ditebak, Investasi Tahun Depan Serba Tak Pasti
Tugasnya menyerupai intelijen pasar (market intelligence) yang biasanya dilakukan pemerintah untuk memetakan komoditas atau produk yang akan diminati di negara tujuan ekspor. Intelijen investasi bertugas memetakan investor-investor yang bisa disasar untuk masuk ke Indonesia berikut kebutuhan-kebutuhannya.
”Misalnya, mereka butuh lebih banyak insentif fiskal atau non-fiskal, atau ternyata mereka butuh jaminan pasokan listrik yang besar. Dari situ kita bisa mencegah mereka berpindah atau membangun fasilitas produksi di negara lain,” ujarnya.
Intelijen investasi ini juga bisa ikut memetakan alasan sebenarnya mengapa rencana investasi senilai Rp 149,3 triliun sampai sekarang masih saja mangkrak. Sebab, menurut Andry, pemerintah perlu membuka seutuhnya alasan di balik investasi mangkrak yang tersisa itu.
”Apa betul mereka kesulitan finansial sehingga tidak ada cara lain yang bisa dilakukan? Siapa tahu, kendalanya adalah isu lama dari domestik, seperti kerumitan birokrasi dan perizinan yang masih saja terjadi. Sebab, investasi mangkrak yang masih tersisa ini bisa mengganggu tingkat kepercayaan investor asing ke Indonesia,” ujarnya.
Indonesia membutuhkan investasi besar untuk memacu pertumbuhan ekonominya keluar dari orbit stagnasi 5 persen yang telah berlangsung selama 10 tahun terakhir. Sepanjang hantu-hantu investasi bergentayangan, realisasi investasi hanya akan minimalis.