Politik Sulit Ditebak, Investasi Tahun Depan Serba Tidak Pasti
Pertumbuhan investasi dikhawatirkan melambat di tengah akrobat politik nasional yang sulit ditebak jelang Pemilu 2024.
Para pekerja menaiki anak tangga jembatan penyeberangan orang di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, saat jam pulang kerja, Senin (19/6/2023). Ekonomi Indonesia pada triwulan I-2023 tumbuh sebesar 5,03 persen dibandingkan dengan triwulan I-2022 secara year on year.
JAKARTA, KOMPAS — Laju investasi tahun 2024 diliputi ketidakpastian tinggi akibat gejolak politik yang sulit ditebak menjelang pemilihan umum di dalam negeri serta berlanjutnya kebijakan pengetatan moneter Amerika Serikat. Pelemahan investasi itu patut diwaspadai mengingat komponen tersebut menyumbangkan dampak multiplier yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Ketidakpastian tahun depan diperkirakan bisa terjadi pada segala jenis investasi, baik investasi langsung (direct investment) di sektor riil maupun investasi portofolio di pasar modal.
Menurut praktisi pasar modal dan pengajar Magister Ekonomi Terapan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Yohanis Hans Kwee, Kamis (16/11/2023), nasib pertumbuhan ekonomi tahun 2024 masih akan dihadapi ketidakpastian tinggi. Salah satu faktor utamanya adalah risiko politik akibat perhelatan pemilihan umum yang bisa melambatkan laju investasi.
Baca juga: Proyeksi Tahun 2024, Ekonomi Dua Cerita
Ia memperkirakan ekonomi tahun depan hanya akan tumbuh di kisaran 4,8 persen sampai 5,0 persen secara tahunan (year on year). ”Ekonomi kita akan melambat karena politik. Memang biasanya yang pertumbuhannya bagus pas pemilu itu belanja pemerintah dan konsumsi, tetapi investasi justru akan tertahan,” kata Yohanis dalam diskusi ”Economic and Financial Market Outlook 2024” yang digelar secara daring.
Perlambatan investasi diduga kuat akan terjadi akibat fragmentasi politik nasional yang sulit ditebak dengan akrobat politik yang tinggi, mulai dari majunya putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, dipasangkan dengan Prabowo Subianto sampai dinamika terbaru yang membuat saudara ipar Jokowi, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman, diturunkan dari jabatan.
”Hal-hal yang sulit ditebak seperti itu akhirnya membuat pasar sulit menghitung siapa pemenang pemilu tahun depan. Sebab, pasar saham itu takut pada perubahan ekstrem dan ketidakpastian. Kalau ada yang ’belok kanan’ secara tiba-tiba, pengusaha akan wait and see lebih lama dan investasi akan menurun,” ujarnya.
Ia mencontohkan, pada Pemilu 2019, pasar saham sempat anjlok signifikan karena Prabowo yang saat itu menjadi kandidat calon presiden tidak bisa menerima kekalahannya dari Jokowi. Saat itu, pergerakan IHSG cenderung tinggi dan stabil sepanjang masa kampanye pemilu sampai penyelenggaraan pemilu. Namun, akibat ketidakpastian saat pengumuman hasil pemilu, IHSG merosot tajam.
Kalau kita dianggap tidak cukup baik menjaga tatanan demokrasi kita, dana asing bisa keluar dari Indonesia.
Ia juga menyoroti narasi publik internasional terhadap perhelatan pemilu Indonesia yang cenderung negatif sehingga bisa memengaruhi minat investor asing untuk menanamkan modalnya di pasar portofolio dalam negeri. Dalam perspektif ekonomi, kualitas demokrasi penting dijaga untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi.
”Ada calon kita yang dianggap pelanggar HAM berat, ada yang dianggap mengakali konstitusi, ada yang dianggap memenangi pemilihan gubernur dengan politik pecah belah. Sentimen ini perlu diperhatikan karena bisa membawa risiko. Ini jadi pelajaran, kalau kita dianggap tidak cukup baik menjaga tatanan demokrasi kita, dana asing bisa keluar dari Indonesia,” kata Yohanis.
Risiko The Fed
Risiko kedua terhadap pasar investasi portofolio tentu adalah arah kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed). Perkembangan terbaru, inflasi tahunan AS sudah menurun dari 3,7 persen pada September 2023 menjadi 3,2 persen pada Oktober 2023, lebih rendah dari ekspektasi pasar.
Namun, inflasi yang turun itu belum tentu diikuti dengan penurunan suku bunga acuan. Pasar memprediksi, meski inflasi mulai turun, kenaikan suku bunga acuan AS akan terus berlanjut setidaknya sampai semester I tahun 2024 dan baru melandai pada semester II tahun 2024 ketika tingkat inflasi AS sudah menurun mendekati 2 persen sesuai target The Fed.
Baca juga: Ketidakpastian Bayangi Perekonomian Indonesia di 2024
Ekonom senior dan Rektor Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko, mengatakan, tren inflasi yang masih tinggi di negara-negara maju akan diikuti dengan respons kebijakan kenaikan suku bunga. Ketika suku bunga tinggi, penyaluran kredit akan menurun. Ketika itu terjadi, laju pertumbuhan investasi pun akan turun.
”Karena itu, kalau kita lihat pola dari tren ekonomi global, memang pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan akan merosot, dan gejala itu bisa berdampak pada perekonomian kita,” kata Prasetyantoko.
Arah politik dalam negeri dan kebijakan The Fed yang tidak bisa ditebak itu juga bisa berdampak pada investasi langsung di sektor riil. Sepanjang Januari-September 2023, realisasi investasi masih terjaga kencang meski di tengah dinamika tahun politik.
Pada periode itu, realisasi investasi sudah mencapai 75,2 persen dari target atau sebesar Rp 1.053,1 triliun. Laju investasi masih mampu tumbuh 18 persen secara tahunan. Namun, untuk tahun depan, laju investasi diperkirakan bisa melambat akibat faktor pemilu.
PMTB ini harus lebih digenjot lagi karena akan menyumbangkan dampak ikutan multiplier yang lebih besar ketimbang konsumsi rumah tangga.
Ekonom dan pengajar Magister Ekonomi Terapan Unika Atma Jaya, YB Suhartoko, menambahkan, laju investasi langsung yang melambat itu perlu diwaspadai mengingat investasi atau pembentukan modal tetap bruto (PMTB) adalah salah satu komponen utama yang membentuk produk domestik bruto (PDB) nasional. Pada triwulan III-2023, misalnya, PMTB berkontribusi 29,68 persen terhadap PDB.
”Konsumsi rumah tangga pasti akan tetap jadi kontributor utama ekonomi kita, tetapi PMTB ini harus lebih digenjot lagi karena akan menyumbangkan dampak ikutan (multiplier) yang lebih besar ketimbang konsumsi rumah tangga,” ujarnya.
Sebelumnya, Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi Yuliot Tanjung mengatakan, laju investasi kemungkinan baru akan sedikit melambat pada akhir 2023, khususnya pada triwulan IV-2023, serta pada awal 2024 seiring dengan iklim politik yang semakin memanas. Namun, ia meyakini perlambatan itu hanya sementara.
Meski menantang, target investasi senilai Rp 1.650 triliun tahun depan diyakini masih bisa tercapai. ”Kita akan lebih mengandalkan investasi dalam negeri selama tahun politik, karena biasanya investor kita sudah lebih kebal dengan dinamika politik dalam negeri,” kata Yuliot.