Diaspora Kuliner Nusantara, Kaya Cita Rasa tapi Miskin Dukungan
Kuliner Nusantara di luar negeri belum dalam dan luas menyebar. Potensi besar, dukungan minimalis.
Kuliner Indonesia punya kekayaan citarasa, berlimpah rempah. Meski penetrasinya ke pasar internasional belum sedalam dan seluas kuliner Vietnam atau Thailand misalnya, kuliner Nusantara sudah hadir di sejumlah negara,
Apresiasinya lumayan. Potensinya untuk berkembang besar. Ini menciptakan peluang pasar bagi para pelaku usaha katering, warung makan, dan restoran di negeri orang. Namun tidak sekadar itu saja. Jaringan kuliner suatu bangsa di pasar global adalah instrumen soft power diplomacy yang efektif.
Bagi Indonesia, tantangannya adalah kemauan politik dan konsistensi kebijakan. Dampak dari kurangnya dua faktor ini sangat terasa dalam hal-hal teknis. Banyak pelaku usaha kuliner Indonesia misalnya yang mengeluhkan sulit dan mahalnya mendapatkan bahan baku dari Tanah Air.
Baca juga: Ekonomi Kreatif, Sektor Menjanjikan dengan Ragam Batu Sandungan
Toh warga negara Indonesia diaspora pelaku bisnis kuliner Nusantara terus mengenalkan Indonesia dengan berbagai tantangan itu. Bahkan tak sedikit yang mendapat apresiasi dari komunitas setempat.
Restoran Toba, misalnya, rumah makan khas Indonesia yang berhasil menarik perhatian di kawasan St James’s Market, London, Inggris. Sesuai namanya, restoran ini menawarkan beragam menu makanan Indonesia mulai dari harga 8 euro hingga 20 euro.
Menggunakan kurs Rp 17.009 per euro, harganya Rp 136.100 hingga Rp 340.200 per porsi. Ini belum termasuk minuman dan makanan pendamping, jajanan khas Nusantara.
Restoran Toba didirikan dengan kecintaan untuk menampilkan kekayaan dan keberagaman citarasa masakan Nusantara. Warisan kebudayaan Indonesia menjadi inspirasinya.
“Keinginan memperkenalkan makanan-makanan otentik Indonesia ke audiens global, kami menciptakan pengalaman santap yang baru dan unik. Hal ini menggambarkan esensi kuliner tradisional kami,” ujar pendiri sekaligus Kepala Chef Toba Restoran dan Pino’s Warung, Pino Edward Sinaga, saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Keinginan memperkenalkan makanan-makanan otentik Indonesia ke audiens global, kami menciptakan pengalaman santap yang baru dan unik.
Sebelum mendirikan Restoran Toba pada 2023, Pino telah membangun Pino’s Warung dengan konsep serupa. Warung makan di pinggir jalan (street food) ini bisa ditemukan di Camden Market, London.
Restoran Toba bahkan diulas media kawakan Inggris, The Guardian. Sebagai penulis, Grace Dent sempat khawatir Restoran Toba lebih mementingkan tampilan yang mewah, ketimbang citarasa makanannya. Namun, ia mengakui salah.
“Awalnya, saya khawatir citarasa makanan tidak menjadi prioritas, seperti tempat lain yang hanya mementingkan visual yang bagus untuk difoto sebelum pergi ke klub malam Boujis. Namun, Toba sangat baik,” ulas Dent di The Guardian.
Dent menilai, makanan Indonesia luput dari perhatian warga Inggris karena kelezatannya terletak pada detailnya yang begitu apik. Misalnya adalah unsur-unsur yang biasa ditaburkan seperti saus kacang, bawang goreng, jagung goreng, dan sambal.
Baca juga: Manis Legit Kue Warisan Nenek
Cerita lainnya datang dari Tokyo, Jepang. Ada Warteg Tokyo di negara itu. Usaha bisnis katering di Tokyo ini adalah milik Indra Hutami Negoro, perempuan yang akrab disapa Imi.
Berawal dari rutinitas membuatkan bekal menu Indonesia bagi suami, Imi pun mulai mendapat pesanan dari rekan-rekannya. Pesanannya mulai meningkat pesat setelah promosi melalui beragam media sosial, antara lain Instagram dan X.
Masakan rumahan
Warteg Tokyo menawarkan makanakan sederhana khas masakan rumahan. Tiga macam makanan yang disediakan, yakni lauk matang dalam bentuk beku, bento nasi, dan lauk matang komplet. Produknya dijual satuan dan partai besar.
“Potensi dan perputaran ekonominya (masakan Indonesia) sangat menjanjikan. Dari yang kami rasakan, sebagian besar teman Indonesia di sini selalu rindu masakan Indonesia. Banyak dari mereka yang muslim dan muslimah, sehingga membantu juga menyediakan masakan halal,” tutur Imi.
Kalau di perantauan melihat makanan Indonesia kayak emas, jadi senang sekali.
Bisnis masakan Indonesia juga hadir di Incheon, Korea Selatan. Adalah diaspora Riema Moedjiono (Lee) yang menjalankan lewat usaha katering. Awalnya, pasarnya adalah pekerja migran Indonesia di Incheon.
“Kalau di perantauan melihat makanan Indonesia kayak emas, jadi senang sekali. Saya awal buka, tak memikirkan untungnya,” katanya.
Lambat laun, usahanya makin dikenal. Pangsa pasarnya akhirnya meluas. Beberapa di antaranya warga negara Korea Selatan, Vietnam, Thailand, dan China.
Dalam sebulan, Riema dapat mengantongi omzet sekitar 1 juta won hingga 2 juta won. Nominal itu setara Rp 11,7 juta sampai Rp 23,5 juta dengan kurs Rp 11,7 per won.
Bahan baku sulit
Besarnya potensi kuliner Indonesia yang digerakkan para diaspora terlihat dari kontribusi mereka terhadap ekspor bahan baku, termasuk ragam bumbu, dari Indonesia. Hanya untuk Amerika Serikat saja, sumbangannnya pada 2022 adalah 17 juta dollar AS atau Rp 265,6 miliar dengan kurs Rp 15.624 per dollar AS.
Menurut pakar gastronomi Indonesia dari Universitas Pendidikan Indonesia, Dewi Turgarini, konsep gastrodiplomasi terdiri atas aktor pemerintah dan nonpemerintah. Data di atas menunjukkan, pergerakan justru didominasi nonpemerintah. Selain para pemilik usaha kuliner, para pengusaha Indonesia yang melakukan ekspor dan impor juga tak kalah berjasa.
Para diaspora pengusaha kuliner mengaku masih kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku yang ajek karena minimnya dukungan sistem ekspor Indonesia.
Dengan segala potensinya yang besar, kuliner Nusantara di luar negeri banyak terkendala pasokan bahan baku, termasuk, bumbu dapur. Para diaspora pengusaha kuliner mengaku masih kesulitan mendapatkan pasokan bahan baku yang ajek karena minimnya dukungan sistem ekspor Indonesia.
Ini misalnya dialami Imi. Bahan baku rempah dan bumbu dapur Indonesia harganya berlipat-lipat dari harga di Tanah Air. Itu sebabnya, ia menetapkan harga sesuai dengan harga bahan baku di Tokyo, walau masih dalam jangkauan rerata harga makanan Indonesia di Jepang.
Harga mahal
Riema juga menghadapi persoalan sama. Ia kesulitan mendapatkan buah-buahan serta rempah-rempah asal Indonesia. Padahal, negara-negara tetangga lain, seperti Vietnam, Thailand, Filipina, dan Sri Lanka, bisa memasok buah dan rempah dengan mudah ke Korea Selatan.
“Toko-toko Asia di Korea Selatan menyediakan beberapa bahan yang saya butuhkan. Tapi kadang-kadang yang bikin kita nyesek, barang Indonesia tak bisa masuk. Justru dari negara lain itu yang bisa,” ujarnya.
Cara lain mendapatkan bahan baku langsung dari Indonesia, menurut Riema, adalah lewat jasa titip legal dan ilegal. Ujung-ujungnya, harga bahan baku menjadi lebih mahal. Padahal, banyak bahan baku Indonesia yang tak mudah disubstitusi dengan bahan lain, antara lain gula merah.
Baca juga: Seksinya Bisnis untuk Pemakan Tumbuhan
Tantangan lainnya adalah beradaptasi dengan preferensi pasar setempat. “Kami menghadapi perbedaan budaya antara Indonesia dan Inggris. Kami juga menghadapi tantangan asimiliasi terhadap budaya internasional,” kata Pino.
Keluhan para pelaku usaha kuliner ini terefleksi dalam survei oleh program pemerintah, Indonesia, Spice Up The World (ISUTW). Program ini diharapkan mendongkrak pemasaran produk bumbu atau pangan olahan dan rempah Indonesia.
Survei menunjukkan, banyak pelaku usaha menilai harga bumbu atau rempah dari Indonesia mahal. Akses memperoleh bahan-bahan itu pun sulit. Padahal, 32,4 persen responden mengimpor langsung bahan baku dari Indonesia.
Gandeng maskapai
Persoalan-persoalan ini diakui Adyatama Kepariwisataan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Nia Niscaya. Ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus dijalankan pemerintah untuk mendukung penyebaran kuliner Nusantara di pasar global.
Berkaca dari negara tetangga, hal ini antara lain ditempuh dengan bekerja sama dengan maskapai penerbangan. Di beberapa negara misalnya, sejumlah maskapai penerbangan wajib membawa bumbu dapur serta bahan baku makanan ke negara lain guna menjaga ketersediaan rantai pasok.
“Produk-produk juga sudah diciptakan dalam bungkusan (sachet), sehingga rasanya akan sama,” katanya.
Baca juga: Sahur Rasa Wisata Kuliner
Hingga saat ini, baru sekitar 2.000 bisnis kuliner Indonesia yang tersebar di luar negeri. Persebaran terbanyak ada di Belanda (295 restoran), Australia (162 restoran), AS (89 restoran), Malaysia (70 restoran), serta Jepang (66 restoran).
Pemerintah menargetkan berdirinya 4.000 bisnis kuliner Indonesia di berbagai negara pada 2024. Salah satu harapannya, ekspor terkait kuliner bisa mencapai 2 miliar dollar AS atau Rp 31,25 triliun.
Banyak fasilitas yang perlu diberikan pemerintah guna menjamin keberlangsungan bisnis para diaspora sebagai pelaku usaha kuliner di luar negeri.
Masih tertinggal
Menurut Dewi, saat ini teridentifikasi restoran Indonesia di mancanegara mencapai 1.200 restoran. Sementara, mengutip The Economist, restoran Thailand sudah mencapai 2.000 outlet pada 2002 di Amerika Serikat saja. Bahkan Thailand sudah menargetkan pertumbuhan hingga 8.000 restoran pada 2003 di seluruh dunia
“Jadi memang sangat jauh tertinggal dengan apa yang dilakukan negara lain. Jadi dalam hal ini, bukan tidak ada kemajuan, tapi mereka (negara lain) bisa menjadi ujung tombak gastrodiplomasi. Namun, pemerintah Indonesia yang terintegrasi itu bukan hanya satu kementerian saja,” tutur Dewi.
Baca juga: Menancapkan Nasi Bungkus ke Lidah Dunia
Salah satu isu yang kerap jadi masalah, menurut Dewi, adalah standar kelayakan produk yang belum dipenuhi Indonesia. Dua di antaranya soal kehigienisan serta teknis pencantuman informasi produk dalam bahasa (multilanguage) negara tujuan.
Ini antara lain menghambar ekspor bahan baku dan bumbu dapur dari Indonesia. Padahal, kualitasnya barang dari Indonesia bisa bersaing di kancah internasionaI. Bicara kuliner berbicara dari hulu ke hilir, dari peternakan atau pertanian hingga ekspor produk sampai di tangan para pelaku usaha.
Berbagai persoalan yang dialami para pelaku usaha kuliner di luar negeri, menurut Dewi, disebabkan belum adanya kebijakan yang terintegrasi di antara pejabat instansi terkait di pemerintahan, termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Indonesia.
Oleh sebab itu, Dewi menekankan, para pemangku kepentingan di pemerintahan mestinya mendengarkan dan mencari tahu kesulitan para pelaku usaha. Selanjutnya, otoritas lintaskementerian dan lembaga memberikan solusi.
Ia berharap, pemerintah dapat membangun platform berupa kebijakan publik yang legal dan berkelanjutan. Artinya, siapapun pemimpinnya, rencana kerja tetap berjalan, bukan berubah-ubah.
Baca juga: Kuliner Indonesia Mendunia, Asa Mendongkrak Pariwisata
“Karena di mancanegara, platform tak berubah-ubah siapapun pemimpinnya. Platform kebijakan itu harus diikuti terus-menerus, kalau enggak, (ekosistem) akan terus tertinggal,” ujarnya.
Akhirnya, para diaspora Indonesia menjadi ujung tombak diplomasi Indonesia. Tak sekadar memperkenalkan masakan khas Nusantara dengan kekayaan rempahnya tetapi merekalah instrumen soft power diplomacy Indonesia. Tanpa dukungan pemerintah, instrumen itu hanya sebatas usaha kuliner semata yang tak akan jauh membawa Indonesia ke pergaulan global.