William Wongso resah, makanan Jepang, Thailand, China, India, bahkan Korea Selatan bisa mendunia. Mengapa makanan Indonesia tidak?
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·4 menit baca
Keberagaman cita rasa makanan Nusantara masih belum bisa menggoyang lidah dunia di saat negara-negara Asia lainnya perlahan menggusur makanan khas Eropa. Gastrodiplomasi yang langsung menyentuh pada perasaan-perasaan terhalus dan sensasional dari lidah dunia belum diperkuat. Padahal, dengan modal nasi bungkus saja, kita bisa menancapkan makanan pada lidah dunia.
Pidato Kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2023 yang dibawakan William Wongso selama dua jam lebih di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Jumat (10/11/2023), setidaknya menyadarkan kita akan pentingnya memajukan negara melalui kebudayaan. Olahan bahan masak, bumbu, dan rempah di Tanah Air hingga menjadi rendang, soto, gohu, sei, rujak cingur, nasi gandul, ayam betutu, ayam tangkap, serta gudeg yang dibungkus dan disantap setiap hari di dalam negeri adalah potensi kemajuan bangsa.
William melihat nasi bungkus sebagai teman perjalanan, ia tumbuh bersama kebudayaan bangsa Indonesia. Sedari dulu, orang-orang pergi ke sawah ladang, ke hutan, hingga ke kantor selalu membawa nasi bungkus. Dia mungkin sesuatu yang sederhana, distigma sebagai street food, tetapi setidaknya bukan junk food, yang bisa merugikan kesehatan dan keuangan secara bersamaan.
Dalam nasi bungkus juga terdapat kekayaan budaya, keberagaman kuliner, sanitasi, dan simbol kesiapsiagaan orang Indonesia dalam menghadapi sesuatu yang tak terprediksi. Misalnya, nasi bungkus di tengah bencana gempa dan banjir yang melipur lapar para pengungsi.
Gagasan William mungkin bukan hal yang baru, tetapi mengapa sampai hari ini makanan Indonesia belum menjadi seperti makanan Jepang, Thailand, China, India, bahkan Korea Selatan yang baru-baru ini semakin menjamur. Sementara Indonesia dengan kekayaan pangannya belum bisa selevel atau melampauinya.
”Bangsa-bangsa lain sudah lama membuka pusat-pusat kebudayaan, mendampingi kedutaannya di negara kita. Sampai hari ini, saya kira apa yang pernah direkomendasikan oleh Kongres Kebudayaan kita belum terwujudkan secara baik. Kita belum memiliki pusat-pusat kebudayaan di negara lain,” kata William.
Tonggak diplomasi
Indonesia sebenarnya memiliki modal besar dengan jumlah warganya di luar negeri sebanyak 9 juta orang. Pembangunan pusat kuliner nasional di negara lain bisa menjadi tonggak diplomasi Indonesia menuju negara maju. Nasi bungkus yang praktis, beragam rasa, dan kekayaan narasi budayanya bisa menjadi agen kebudayaan untuk memperkenalkan Indonesia.
Namun, pada kenyataannya jumlah rumah makan Indonesia hanya sekitar 1.500 di seluruh dunia, kalah jauh dibandingkan Thailand yang berjumlah 25.000 di dunia. Bahkan, dengan rumah makan Vietnam yang sudah mencapai 7.730 di seluruh Amerika atau bahkan lebih banyak lagi di seluruh dunia, kita masih kalah.
Pusat kuliner nasional, yang masih dalam bentuk ide William ini, bisa menjadi pusat informasi, pusat studi, dapur pertukaran kuliner antardaerah di Indonesia, dan etalase promosi kekayaan kuliner Indonesia. Sebagai pusat informasi keberagaman kuliner, institusi ini menjawab begitu banyak pertanyaan pencinta, peneliti, dan pengkaji kuliner dari bangsa lain dari luar Indonesia.
Menurut William, makan bukan hanya proses naluriah dan kerja mengenyangkan perut, melainkan juga proses mendeteksi jati diri. Seperti peribahasa China yang berbunyi, ”katakan apa yang kamu makan, akan kukatakan siapa kamu”, begitu pula dengan konsep pusat kuliner nasional ini. Semakin terstruktur dan masif pengenalan nasi bungkus kepada dunia, maka semakin maju Indonesia.
”Maka, saatnya kita menikmati nasi bungkus. Mari taklukkan lidah dunia dengan menghormati, memberi harga yang pantas, serta mengangkat harkat dan martabat nasi bungkus,” ucapnya.
Chef dan pengusaha restoran
DKJ memilih William untuk menyajikan pidato kebudayaan membahas isu-isu kebudayaan ini karena ia adalah praktisi yang ulet, pemikir yang gelisah, dengan kedalaman dan keluasan wawasan tentang budaya makan Nusantara. Sebab, makanan adalah produk dan simbol budaya sebuah bangsa yang lekat dalam kehidupan keseharian, tradisi, dan ritual masyarakat.
”Berangkat dari situ, kita mengangkat isu gastrodiplomasi. Siapa lagi yang paling tepat bicara soal itu kalau bukan William Wongso? Dan beliau ternyata punya kegelisahan yang sama,” kata Hasan Aspahani, Wakil Ketua 1 DKJ.
William dengan segala upayanya menguasai masakan tradisional Nusantara dimulai tahun 1972 dengan membuka sebuah bakery di Jakarta Kota dan berlanjut hingga kini sebagai chef dan pengusaha restoran. Dia juga malang melintang di dunia televisi dengan program ”Cerita Rasa William Wongso”.
Pria kelahiran Malang, 12 April 1947, ini mengenyam pendidikan kuliner di beberapa sekolah di seluruh dunia, termasuk di École des Arts Culinaires et de l’Hôtellerie di Lyon, Perancis. la juga pernah menjabat sebagai ketua perhimpunan gastronomi Chaîne des Rôtisseurs dan ketua divisi Jakarta International Wine and Food Society.
Pidato Kebudayaan DKJ merupakan upaya untuk memperdengarkan suara jernih yang membawa gagasan bernas dari tokoh-tokoh terpilih. Pidato bertajuk ”Gastrodiplomasi Nasi Bungkus untuk Menaklukkan Lidah Dunia” ini digelar tanggal 10 November dan tahun ini bertepatan dengan perayaan 55 tahun Taman Ismail Marzuki sebagai pusat kesenian Jakarta.
DKJ juga menyuguhkan pertunjukan kolaborasi Davka_Art Movement x HMP Percussion yang membawakan karya berjudul ”Kesibukan Suara Dapur di Atas Meja Makan”. Pertunjukan kolaborasi memberikan gambaran terhadap kesibukan di meja makan yang melahirkan berbagai percakapan, mulai dari persoalan remeh-temeh keseharian, tren hari ini, politik, ekonomi, budaya, hingga persoalan perang di belahan negara lain.