Daulat Pangan sebagai Jalan Kebudayaan
Selain urgensinya dalam hal kemandirian ekonomi, pangan lokal juga sangat erat dengan identitas budaya. Orang Mentawai tanpa sagu dan keladi tidak lagi orang Mentawai sepenuhnya.
Seusai dimantrai, dua piring berisi hidangan yang diramu dari hutan dan ladang itu diserahkan sikerei Aman Jemput kepada dua ibu muda yang duduk bersila memangku bayi masing-masing. Sikerei kemudian menjumput sebagian hidangan itu dan mengoleskannya ke mulut bayi secara bergiliran. Dia seperti ingin mengenalkan rasa alam sekitar kepada bayi-bayi itu.
Itulah ritual pemberkatan bayi dalam kebudayaan suku Mentawai itu di pedalaman Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada Selasa (26/9/2023). Acara diakhiri dengan jamuan makan bersama sikerei, keluarga, dan anggota suku.
”Acara ini yang ketiga dari lima tahap ritual pemberkatan terhadap bayi baru lahir di Mentawai. Semuanya melibatkan makanan,” kata Joel Salaise (46), kakek dari pihak ibu salah satu bayi yang menjalani ritual tersebut, di Dusun Salappa, Desa Muntei, Kecamatan Siberut Selatan.
Pada tahap ketiga, kata Joel, ritual mesti menyajikan salah satu hewan sejenis burung, termasuk kelelawar. Adapun pada puncaknya, tahapan kelima, ritual menyajikan hewan buruan besar, seperti monyet atau rusa untuk bayi laki-laki dan ikan untuk bayi perempuan.
Acara ini yang ketiga dari lima tahap ritual pemberkatan terhadap bayi baru lahir di Mentawai. Semuanya melibatkan makanan.
Di luar hewan-hewan tersebut, olahan keladi menjadi elemen kunci dalam ritual. Keladi harus ada di dalam setiap tahapan ritual itu. Sementara sagu lebih sebagai pelengkap untuk perjamuan.
Baca juga : Tradisi Makan Kacang Beracun, Penopang Ketahanan Pangan NTT
Dalam ritual kali itu, keluarga menyiapkan keladi tumbuk yang disebut subbet. Umbi keladi yang telah direbus dalam periuk kemudian ditumbuk, dibulatkan, dan ditaburi kelapa. ”Dalam ritual (tahap ketiga ini), wajib ada keladi, ini bagian dari burung. Tanpa keladi, bisa tidak berjalan acaranya,” ungkap Joel.
Acara tersebut secara tidak langsung juga menjadi momentum memperkenalkan bayi pada hidangan pangan lokal. Keladi, misalnya, akan menjadi makanan pertama pendamping air susu ibu (ASI) untuk bayi dalam keluarga suku Mentawai.
Baru setelah anak-anak mulai besar, orangtua akan mengenalkan sagu, yang biasanya diolah menjadi sagu bambu, yaitu pati sagu yang dimasukkan ke dalam batang bambu dan dibakar. Selain itu, juga kapurut atau sagu yang dibungkus daun dan dibakar. Orang Mentawai tidak mengenal bubur sagu atau papeda, seperti di Papua dan Maluku.
Peran keladi
Tidak hanya ritual pemberkatan bayi, Julius Tasiripoula (48), pemimpin suku, mengatakan, keladi nyaris selalu ada dalam berbagai ritual atau acara adat, seperti pesta perkawinan, pembuatan uma (rumah tradisional Mentawai), dan penarikan sampan.
Dalam ritual atau acara adat yang lebih besar, keladi untuk subbet tidak lagi direbus di dalam periuk, tetapi dibakar dalam bambu. Sebab, kapasitas periuk terbatas, sedangkan bambu tidak. Selain itu, rasa dan aroma keladi bakar bambu juga lebih enak.
Baca juga : Pangan Lokal, Masa Depan Kita
Karena menjadi elemen penting dalam berbagai ritual dan acara adat, setiap keluarga di suku Mentawai mempunyai tanaman keladi. Keladi ditanam di pekarangan rumah ataupun di ladang. ”Keladi bisa dipanen saat usia 6 bulan,” kata Julius.
Keladi termasuk tanaman tahan banting dalam berbagai kondisi cuaca. Keladi tidak mati karena kemarau ataupun musim hujan. Perbedaannya hanya umbi keladi lebih padat saat kemarau dan lebih berair saat musim hujan.
Hal serupa diungkapkan Joel. Tanaman keladi di Dusun Salappa nyaris tidak pernah gagal panen. ”Keladi juga lebih gampang ditanam dibandingkan dengan padi. Keladi asal sudah ditanam pasti berisi,” ujarnya.
Keharusan adanya keladi dalam ritual di Mentawai menunjukkan posisi penting tanaman ini dalam budaya Mentawai, bahkan melebihi sagu yang dianggap lebih bersifat fungsional. Hal ini kemungkinan juga terkait dengan sejarah dan asal-usul orang Mentawai.
Penelitian yang dilakukan ahli genetika Herawati Sudoyo Supolo dan tim menunjukkan, warga Kepulauan Mentawai memiliki genetika amat mirip dengan warga Pulau Formosa kuno di Selat Taiwan yang sebelumnya dipercaya sebagai asal penutur Austronesia.
Struktur genetika itu khas, berbeda dengan masyarakat Nusantara lain yang punya genetika lebih beragam. Migrasi Austronesia dari Formosa ke Kepulauan Nusantara diperkirakan terjadi 4.000-5.000 tahun lalu.
Publikasi Herawati bersama Tumonggor dan tim (Journal of Human Genetic, 2013) mengungkap, bauran genetika non-Austronesia pada populasi Mentawai dan Nias merupakan yang terendah di Indonesia. Bahkan, proporsinya serendah kelompok etnis Taiwan saat ini (0,838-0,924), termasuk dibandingkan dengan populasi garis keturunan Asia sekitarnya.
Baca juga : Pangan Instan Menggerus Pangan Lokal
Menurut Herawati, kemungkinan populasi Mentawai dan Nias yang bermotif Austronesia ini terisolasi sejak datang di pulau di Samudra Hindia itu sehingga minim percampuran dengan populasi daerah lain. Hal itu yang menyebabkan tipe genetika Mentawai itu amat mirip dengan populasi orang asli Formosa.
Seperti diketahui, keladi atau talas (Colocasia esculenta), juga disebut ”talas sejati”, merupakan salah satu tanaman budidaya yang menandai perluasan migrasi Austronesia. Hingga saat ini sebagian penduduk asli Taiwan, khususnya yang tinggal di Pulau Lanyu atau Orchid Island, juga masih membudidayakan tanaman talas dalam petak-petak sawah, sangat mirip di Mentawai.
Relasi dengan alam
Jika keladi harus ada dalam prosesi ritual, sagu seperti melengkapinya. Sekalipun tidak ikut dalam prosesi, sagu harus ada dalam perjamuan. ”Untuk ritualnya keladi, untuk mengenyangkannya sagu,” ujar Julius.
Pati dari batang sagu tersebut biasanya diolah menjadi sagu bakar bambu (sagu kaobbuk) dan sagu bakar daun (sagu kapurut). Olahan sagu ini cocok dimakan dengan lauk berkuah, seperti sup dan tumis, yang menjadi ciri khas masakan Mentawai.
Pius Sadodolu (72), warga Dusun Salappa lainnya, mengatakan, meskipun saat ini beras telah menjadi pangan pokok yang paling dikonsumsi orang Mentawai, keladi dan sagu tidak boleh hilang dalam ritual adat di Siberut.
Sebelum liat atau pesta adat, kata Pius, warga akan menyagu (mengolah batang sagu jadi pati) dan mengumpulkan keladi terlebih dahulu. ”Kalau tidak ada sagu dan keladi, tidak jadi liat,” ujarnya.
Menurut Pius, selain faktor adat dan budaya, pangan lokal tersebut jadi hidangan dalam pesta adat karena mudah didapat tanpa perlu dibeli. Tanaman sagu dan keladi tumbuh subur di alam Siberut. Sementara itu, liat menghadirkan banyak orang dan butuh biaya besar.
”Pangan lokal cuma butuh tenaga, tidak butuh uang. Makanya, beras tidak cocok untuk pesta adat di Mentawai, harganya mahal,” ungkapnya.
Sementara itu, Teondorus Samonganrimau (42), Sekretaris Desa Muntei, Rabu (27/9/2023), mengatakan, di masa lampau, berasnisasi disertai dengan stigma atau propaganda buruk terhadap sagu. Sagu dipersepsikan sebagai makanan orang hulu atau orang kuno.
Hal tersebut, kata Teondorus, sangat berdampak pada masyarakat suku Mentawai yang tinggal di kawasan pesisir, seperti di Desa Maileppet, Kecamatan Siberut Selatan. Mereka berhenti mengonsumsi dan mengolah sagu, bahkan menebangi ladang sagu keluarga.
”Kami sadar sagu untuk acara adat ritual, maka kami pertahankan. Orang pesisir telanjur menebang sagu karena dianggap makanan kolot. Sekarang (saat stigma mengendur), mereka mencari (membeli) sagu ke Puro,” kata pria yang mempunyai usaha pabrik sagu skala kecil di Dusun Puro, Muara Siberut, ini.
Menurut Teondorus, gejolak harga beras saat ini, yang membuat orang Mentawai harus membayar bahan makanan lebih mahal, seharusnya jadi titik balik untuk kembali ke pangan lokal, sagu dan keladi, yang tumbuh baik di alam mereka. Jalan itu tidak mudah, tapi menurut dia harus dilakukan jika hendak menyelamatkan budaya Mentawai.
Gerakan untuk mempertahankan pangan lokal seperti melawan upaya kolonialisasi jalan pangan yang dimulai Belanda bersamaan misi agama-agama di masa lalu. Selain urgensinya dalam hal kemandirian ekonomi, pangan lokal juga sangat erat dengan identitas budaya. Orang Mentawai tanpa sagu dan keladi tidak lagi orang Mentawai sepenuhnya.
Baca juga: Warisan Kolonial
Liputan ini didukung oleh Rainforest Journalism Fund-Pulitzer Center