Kenaikan Tarif PPN Bisa Jadi Bumerang
Menaikkan tarif pajak adalah cara instan mendongkrak penerimaan negara. Namun, ada efek samping yang kontraproduktif.
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN menjadi 12 persen pada 2025 bisa dianggap sebagai ”jalan pintas” menaikkan penerimaan negara. Namun, akibatnya, langkah itu bisa menghambat pertumbuhan sejumlah indikator ekonomi nasional dan menekan kelompok masyarakat menengah-bawah.
Di satu sisi, pemerintahan ke depan memang mempunyai tanggungan janji-janji kebijakan baru yang ingin direalisasikan ketika menjabat. Namun, kondisi ekonomi masih serba tidak pasti. Daya beli masyarakat juga sedang lesu terimpit kenaikan biaya hidup. Ada langkah lain yang semestinya bisa diambil untuk mengerek penerimaan tanpa perlu menaikkan tarif pajak.
Baca juga: Dilema Kenaikan Tarif PPN, antara Penerimaan Negara dan Daya Beli Warga
”Menaikkan PPN memang langkah paling mudah dan cepat untuk mengerek penerimaan, apalagi sumber pemasukan lain sekarang lagi turun. Namun, dampaknya bisa jadi buruk bagi pertumbuhan ekonomi, pendapatan masyarakat, dan konsumsi rumah tangga,” kata ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad, Selasa (12/3/2024).
Sebagai gambaran, PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa. Oleh karena itu, kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen akan berdampak pada naiknya harga barang dan jasa tertentu di pasar. Ibaratnya, untuk barang seharga pokok Rp 10.000, dengan tarif 12 persen, harga yang dibayar konsumen menjadi Rp 11.200.
Menggerus pertumbuhan
Ketika tarif PPN pertama kali dinaikkan dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022, Indef pernah membuat simulasi perkiraan dampak kebijakan itu terhadap sejumlah indikator perekonomian nasional.
Saat itu, Indef mengandaikan tarif PPN pada 2025 akan naik dari 11 persen menjadi sebesar 12,5 persen. Bukan 12 persen seperti yang saat ini diatur di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Kenaikan tarif PPN juga bisa menaikkan harga produk akhir di pasar dan menghambat laju konsumsi rumah tangga yang selama ini jadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.
Hasilnya, dengan skenario tarif PPN naik menjadi 12,5 persen dan berlaku single tarif (tarif pajak bersifat seragam tanpa pengecualian), pertumbuhan ekonomi berpotensi tergerus 0,11 persen, konsumsi masyarakat melambat 3,32 persen, dan upah nominal pekerja turun 5,86 persen.
Kenaikan tarif PPN juga bisa menaikkan harga produk akhir di pasar dan menghambat laju konsumsi rumah tangga yang selama ini jadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional. Ketika harga barang dan jasa di pasar naik, ditambah stagnasi pendapatan dan naiknya harga kebutuhan pokok lain, masyarakat akan mengurangi konsumsi sejumlah barang-jasa.
Implikasi ke upah
”Masyarakat terutama kelas menengah ke bawah pasti akan menyesuaikan dengan harga barang yang ada. Kecuali itu memang kebutuhan pokok sehari-hari, jika harganya naik, masyarakat pasti akan mengurangi konsumsi. Ujung-ujungnya, demand berkurang, konsumsi turun, ekonomi tidak bergerak maksimal dan pertumbuhan bisa melambat,” tutur Tauhid.
Lebih lanjut, ketika tarif PPN yang lebih tinggi berlaku, pengusaha akan berusaha menahan harga produk akhirnya agar tidak naik terlalu mahal demi tidak kehilangan pelanggan. Konsekuensinya, biaya produksi mesti dipangkas dan komponencost yang paling mudah dipotong ketika arus kas (cashflow) terganggu adalah upah karyawan.
Baca juga: Setoran PPN Jadi Andalan, Konsumsi Perlu Dijaga
”Kalau tidak mauend product harganya terlalu mahal, apalagi ditambah dengan pajak PPN yang naik, memang paling mudah adalah menurunkan upah atau setidaknya menahan tingkat kenaikan upah menjadi lebih rendah. Ini berdampak ke upah riil dan daya beli pekerja,” kata Tauhid.
Menaikkan tarif pajak, menurut Tauhid, bukan solusi. Sebab, penerimaan pajak yang belum optimal selama ini bersumber dari masalah basis perpajakan yang tidak kuat, bukan akibat tarif yang rendah. ”Kalau tarif sudah tinggi, tetapi basis perpajakannya rendah, sia-sia. Optimalisasi pemungutan PPN tidak bisa hanya lewat penyesuaian tarif, tetapi berbasis kinerja,” ujarnya.
Resistensi
Dengan berbagai pertimbangan di atas, sebagian kalangan pun menilai kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen tidak diperlukan. Co-founder kantor konsultan pajak, Botax Consulting Indonesia, Raden Agus Suparman, mengatakan, alih-alih dinaikkan, sebaiknya tarif PPN justru diturunkan ke tarif semula, yaitu 10 persen.
Apalagi, kondisi ekonomi domestik ataupun global hingga satu tahun ke depan masih akan dibayangi ketidakpastian. Bank Dunia, misalnya, memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,9 persen pada 2025, di bawah ”batas aman” pertumbuhan 5 persen selama ini.
”Tidak ada keperluan yang mendesak atas kenaikan tarif itu. Dari sisi penerimaan pajak, memang kenaikan tarif PPN akan meningkatkan penerimaan. Tetapi, ada banyak cara untuk meningkatkan penerimaan tanpa berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa,” ujar Raden.
Baca juga: Tantangan Rumit Mengerek Penerimaan Pajak
Ia menilai, kenaikan tarif PPN justru meningkatkan resistensi pengusaha kecil untuk masuk ke sistem pemungutan PPN. Pengusaha kecil akan terus ”menyembunyikan” omzetnya agar tetap masuk dalam kategori pengusaha dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun yang tidak diwajibkan memungut PPN (non-pengusaha kena pajak/non-PKP).
”Kenaikan harga 12 persen bagi pengusaha kecil akan sangat berarti. Dia tentu tidak ingin konsumennya lari dan berpindah ke toko lain. Akhirnya, banyak pengusaha (yang sebenarnya tidak kecil) menyembunyikan omzet agar dia tetap bisa menjual barang dengan harga sama tanpa pajak. Kalau memang Rp 100, dijual Rp 100, bukan Rp 112 (setelah dipungut PPN),” ucap Raden.
Ada cara lain
Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan, kenaikan tarif pajak tetap perlu mempertimbangkan daya beli masyarakat dan kondisi ekonomi suatu negara. ”Menurut teori ekonomi publik, jika tarif pajak dinaikkan, tetapi tidak optimal, itu berpotensi menurunkan penerimaan negara dari pajak karena ada potensi terjadinya praktik-praktik ilegal,” ujarnya.
Menaikkan penerimaan pajak dan rasio pajak (tax ratio) memang penting. Namun, ada cara lain yang bisa ditempuh tanpa perlu menaikkan tarif pajak yang memberatkan masyarakat dan pelaku usaha. Salah satunya, menurut Raden, adalah mengevaluasi dan meniadakan beberapa insentif PPN yang selama ini banyak ”diobral” oleh pemerintah.
Jika tarif pajak dinaikkan, tetapi tidak optimal, itu berpotensi menurunkan penerimaan negara dari pajak karena ada potensi terjadinya praktik-praktik ilegal.
Dengan adanya pemberian insentif PPN, pemerintah melepaskan potensi pajak yang sebenarnya dapat dipungut. Beberapa di antaranya PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), PPN Tidak Dipungut, dan PPN Dibebaskan.
Raden mencontohkan insentif PPN di sektor jasa keuangan dan sektor kelautan dan perikanan yang potensinya besar, tetapi selama ini tidak terpungut. Berdasarkan Laporan Belanja Pemerintah Tahun 2022, insentif PPN untuk jasa keuangan pada 2025 diproyeksikan sekitar Rp 19,8 triliun. Sementara insentif PPN atas hasil kelautan dan perikanan pada 2025 diproyeksikan Rp 26,5 triliun.
”Jadi, lebih baik pemerintah ’melepaskan’ beberapa insentif PPN saja daripada menaikkan tarif PPN. Langkah ini pasti memicu gejolak di sektor tersebut. Namun, biasanya hanya sementara. Ke depannya, mereka akan terbiasa dengan sistem PPN seperti sektor usaha lainnya,” kata Raden.
Saat dihubungi, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Ferry Irawan mengatakan, kenaikan tarif PPN secara bertahap ke 12 persen pada tahun 2025 memang telah diatur dalam UU HPP. Kebijakan itu menjadi bagian tidak terpisahkan dari reformasi perpajakan dan upaya konsolidasi fiskal.
Menurutnya, kenaikan tarif PPN tetap dibutuhkan untuk mengoptimalkan penerimaan negara dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum. Namun, potensi efek sampingnya akan ditekan agar tidak memberatkan sebagian masyarakat.
"Kebijakan penyesuaian tarif PPN tersebut akan tetap diiringi dengan ruang pemberian fasilitas PPN," kata Ferry.
Fasilitas PPN yang dimaksud antara lain seperti pengecualian pengenaan pajak untuk barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, dan telur, yang meskipun termasuk barang kena pajak, namun dibebaskan dari pengenaan PPN. "Jenis jasa tertentu, seperti jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, dan jasa angkutan umum juga tetap dibebaskan dari pengenaan PPN," ucapnya.