Dilema Kenaikan Tarif PPN, antara Penerimaan Negara dan Daya Beli Warga
Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai menjadi 12 persen pada 2025 perlu mempertimbangkan daya beli warga.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto melempar sinyal bahwa pemerintahan baru akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025. Menurut dia, hal itu tidak terelakkan karena masyarakat telah memilih rezim baru yang mengusung narasi keberlanjutan.
Keputusan soal kenaikan tarif PPN itu akan ikut dibahas dalam tahap awal penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang saat ini sudah mulai dibahas pemerintahan Joko Widodo dan akan disahkan pada Oktober 2024.
"Masyarakat Indonesia sudah menjatuhkan pilihan dan pilihannya adalah keberlanjutan. Kalau keberlanjutan, tentu berbagai program yang dicanangkan pemerintahan ini akan tetap dilanjutkan, termasuk kebijakan (kenaikan tarif) PPN,” kata Airlangga, Jumat (8/3/2024), dalam konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta.
Baca juga: Setoran PPN Jadi Andalan, Konsumsi Perlu Dijaga
Airlangga mengacu pada pasangan calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang saat ini unggul di berbagai versi hasil hitung cepat Pemilu 2024. Berbeda dari kandidat lain yang menawarkan narasi perubahan dan perbaikan, Prabowo-Gibran mengangkat narasi keberlanjutan, alias berjanji melanjutkan program dan kebijakan Presiden Jokowi.
Sebelumnya, kebijakan menaikkan tarif PPN secara bertahap menjadi 12 persen pada 2025 memang sudah diatur oleh rezim Jokowi. Tepatnya, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) atau ”omnibus law perpajakan”.
UU tersebut mengatur, tarif PPN naik dari semula 10 persen menjadi 11 persen pada 2022, kemudian naik menjadi 12 persen paling lambat 1 Januari 2025. Sejak April 2022, tarif PPN sudah naik menjadi 11 persen. Saat itu, keputusan pemerintah menaikkan tarif PPN sempat memancing protes dari masyarakat yang daya belinya masih tertekan pandemi Covid-19.
Awalnya, muncul spekulasi bahwa pemerintah akan melanjutkan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen lebih cepat pada 2024. Namun, berkali-kali kebijakan itu tidak jadi diambil karena kondisi perekonomian dinilai belum stabil dan daya beli masyarakat belum benar-benar kuat. Menaikkan tarif PPN juga dianggap kurang strategis di tengah momen pemilu.
Sebagai gambaran, PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual-beli dan konsumsi barang dan jasa. PPN merupakan pajak tidak langsung karena dibayar oleh wajib pajak sebagai pembeli, tetapi disetorkan dan dilaporkan melalui pihak lain, seperti penjual atau pedagang.
PPN adalah pungutan pajak yang regresif. Ada potensi dampak sosial bagi masyarakat bawah.
Konsumen terdampak
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan, kebijakan kenaikan tarif pajak akan selalu memunculkan pro dan kontra. Di satu sisi, kenaikan tarif PPN dianggap perlu oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat selaku regulator untuk meningkatkan penerimaan negara dan mengerek rasio pajak (tax ratio).
”Kalau rasio pajak meningkat, pemerintah berharap bisa lebih leluasa mengalokasikan kebutuhan anggaran untuk membiayai pembangunan tanpa perlu bergantung pada utang,” katanya saat dihubungi, Minggu (10/3/2024).
Baca juga: Tantangan Rumit Mengerek Penerimaan Pajak
Di sisi lain, ada masyarakat dan pengusaha dalam negeri yang menjadi pihak terdampak karena harus menanggung beban pembayaran pajak lebih mahal. Reaksi kelompok ini terhadap kenaikan tarif pajak penting dipertimbangkan karena bisa memengaruhi laju konsumsi masyarakat yang merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi.
”Ketika beban meningkat karena harus menanggung pajak lebih tinggi, konsumsi masyarakat bisa saja menurun dan penjualan ikut terdampak. Ujung-ujungnya, laba pengusaha tergerus. Jadi, di satu sisi pencapaian PPN bisa meningkat, tetapi Pajak Penghasilan (PPh) Badan bisa menurun,” kata Prianto.
Baca juga: Konsumsi Masyarakat Melemah, Tanda Ekonomi Tidak Baik-Baik Saja
Namun, ia menilai risiko itu sudah dipertimbangkan pemerintah saat merumuskan kebijakan kenaikan tarif PPN secara bertahap.”Kalau diperhatikan, pemerintah memang sudah mulai menggeser basis pemajakan kita dari yang awalnya ditopang PPh menjadi PPN,” ujarnya.
Senada, peneliti pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, mengingatkan, ada dampak kenaikan inflasi dan pelemahan daya beli masyarakat yang perlu diantisipasi jika pemerintah tetap akan menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen tahun depan.
Dampak kebijakan itu terhadap inflasi diperkirakan tidak akan terlalu besar. Sebab, saat ini masih banyak fasilitas PPN bagi obyek tertentu, seperti sembilan bahan kebutuhan pokok (sembako). Ambang batas pengusaha kena pajak (PKP) juga masih tinggi. ”Namun, kita tetap perlu waspada. Melihat pengalaman terdahulu, hasil estimasi kisarannya akan berkontribusi 0,4 persen (terhadap kenaikan inflasi),” kata Fajry.
Kenaikan tarif dan inflasi itu otomatis akan berdampak pada kelompok masyarakat menengah-bawah. Dengan demikian, pemerintah perlu memikirkan kebijakan bantalan sosial untuk mengimbangi potensi pelemahan daya beli masyarakat.
”PPN adalah pungutan pajak yang regresif. Ada potensi dampak sosial bagi masyarakat bawah. Namun, selama masih banyak fasilitas PPN bagi obyek tertentu, seperti sembako, dampaknya bisa dibatasi,” ujarnya.
Kenaikan tarif ini bisa memberi ’angin segar’ ke pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memenuhi janji kampanyenya.
Rasio pajak
Lantas, apakah kenaikan tarif PPN bisa efektif mengerek rasio pajak Indonesia yang saat ini masih stagnan dan jauh dari ideal?
Menurut Fajry, beranjak dari pengalaman pada 2022, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen sebenarnya tidak mampu mengerek rasio pajak secara signifikan. Bahkan, rasio pajak turun dari 10,39 persen pada 2022 menjadi 10,21 persen pada 2023. Semakin di bawah batas rasio pajak ideal negara berkembang yang sebesar 15 persen.
Baca juga: ”Putar Otak” Dongkrak Pajak, Prabowo Sasar Ekonomi Bawah Tanah
Hal itu terjadi karena upaya menaikkan rasio pajak tidak bisa ditempuh semata-mata lewat menaikkan tarif pajak tertentu. Ada beberapa faktor mendasar yang membuat level rasio pajak Indonesia terus rendah. Salah satunya, struktur ekonomi Indonesia yang terlalu didominasi oleh sektor informal dan kebocoran pajak yang masih tinggi.
Meski demikian, untuk jangka pendek, kenaikan tarif PPN bisa saja mengerek potensi penerimaan negara. Sebagai perbandingan, satu tahun sejak tarif PPN dinaikkan menjadi 11 persen pada April 2022, penerimaan PPN Dalam Negeri (PPN DN) tumbuh 24,91 persen secara tahunan. Kontribusi penerimaan PPN DN terhadap total penerimaan pajak pun naik tipis dari 22,7 persen (2022) menjadi 25,5 persen (2023).
”Kalau untuk menaikkan rasio pajak, tidak akan signifikan. Perlu bauran kebijakan lain. Tetapi, kenaikan tarif ini bisa memberi ’angin segar’ ke pemerintahan Prabowo-Gibran untuk memenuhi janji kampanyenya. Setidaknya, ada tambahan dana untuk memenuhi janji kampanyenya,” kata Fajry.
Baca juga: Masyarakat Belum Sejahtera, Rasio Pajak Sulit Naik